Mediaumat.id – Terkait salah satu strategi pemerintah Indonesia membangun hilirisasi nikel pasca kalah dalam perselisihan dengan Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), yakni menaikkan pajak ekspor dinilai bukanlah jalan keluar yang sebenarnya.
“Bukan solusi, sebab bisa jadi pajak ekspor tersebut berpotensi kembali digugat,” ujar Peneliti Forum Analisis dan Kajian Kebijakan untuk Transparansi Anggaran (FAKKTA) Muhammad Ishak kepada Mediaumat.id, Jumat (2/12/2022).
Di sisi lain, sambungnya, kalaupun tidak dilarang, tetap tidak menyelesaikan masalah secara fundamental, yakni sama-sama menguntungkan perusahaan-perusahaan swasta lebih-lebih asing.
“Alasan pemerintah untuk melarang ekspor raw material (bahan baku mentah) agar bisa diolah di dalam negeri kenyataannya lebih banyak menguntungkan perusahaan-perusahaan Cina yang menguasai hingga 90 persen industri pengolahan nikel domestik yang mendapat banyak fasilitas pengurangan pajak,” bebernya, seraya memaknai itu dengan ungkapan Indonesia akhirnya lebih banyak mendapatkan ampasnya saja.
Seperti disampaikan Menteri Investasi/Kepala BKPM Bahlil Lahadalia, pemerintah menyiapkan sejumlah strategi dalam membangun hilirisasi nikel setelah Indonesia kalah dalam perselisihan dengan Uni Eropa di WTO (World Trade Organization). Salah satu strategi yang disiapkan yakni menaikkan pajak ekspor.
Lebih lanjut, Ishak memandang, WTO yang merupakan organisasi perdagangan berskala internasional pada prinsipnya mendorong liberalisasi pasar sehingga perdagangan digerakkan oleh pasar dengan intervensi minimal dari pemerintah.
Untuk diketahui, aturan itu diberlakukan sama antara negara maju dan berkembang. Bahkan beberapa negara berkembang yang mengikuti resep tersebut tidak malah maju namun justru terpuruk, seperti El-Salvador yang terpuruk setelah meliberalisasi ekonominya.
Sementara, negara yang melawan aturan itu, sebutlah Cina, justru menjadi lebih maju. “Dalam praktiknya WTO tidak mampu mengontrol negara-negara besar seperti Amerika Serikat (AS) dan Cina,” paparnya.
Malahan ia menambahkan, AS telah beberapa kali mengabaikan keputusan WTO meskipun dianggap bersalah oleh organisasi perdagangan dunia tersebut. Di antaranya pemerintah federal AS tetap memberikan subsidi pertanian dalam bentuk pembayaran dan jenis dukungan lain yang diberikan kepada petani dan agrobisnis tertentu.
Tak ayal WTO pun banyak dikritik karena lebih mengakomodasi kepentingan negara-negara besar yang dibelakangnya ada korporasi untuk memaksa negara-negara berkembang dan negara-negara miskin mengikuti kepentingan negara-negara maju tersebut.
“Mereka (negara-negara berkembang) menjadi tidak independen mengatur negara mereka,” tandasnya.
Pun demikian dengan protes negara-negara Eropa atas kebijakan Indonesia yang melarang ekspor nikel mentah ke Benua Biru tersebut.
Untuk diketahui pula, protes dimaksud berawal dari permintaan pabrik stainless steel Eropa yang kekurangan nikel. “Padahal Indonesia bermaksud meningkatkan nilai tambah ekspor nikel yang sebelumnya dalam bentuk mentah,” ucap Ishak.
Solusi
Oleh karena itu, berkaitan dengan polemik tersebut, Ishak menyampaikan jalan keluar yang benar. “Solusi yang benar adalah Indonesia harus mampu mengelola sendiri industri nikel domestik sehingga manfaatnya lebih besar untuk rakyat,” tuturnya.
Terlebih negeri ini pun semestinya keluar dari keanggotaan WTO. Pasalnya, organisasi perdagangan tersebut terbukti banyak mempromosikan liberalisasi perdagangan yang menurut Ishak, terkadang tidak sejalan dengan kemaslahatan negara tertentu, khususnya negara-negara berkembang seperti Indonesia.
Tak hanya dari keanggotaan WTO. Indonesia juga mestinya keluar dari cengkeraman lembaga-lembaga asing dunia yang lain. “Semua lembaga multinasional cenderung berada dalam kendali negara-negara besar, seperti IMF dan Bank Dunia,” imbaunya.
Celakanya, negara-negara maju hingga saat ini cenderung menerapkan standar ganda. “Mereka memproteksi ekonomi mereka jika dianggap menguntungkan,” jelasnya.
Namun ia sangat menyayangkan, pemerintah Indonesia tidak mempunyai nyali untuk itu. Lebih celaka lagi, Indonesia justru tampak sekali ingin diakui sebagai negara yang patuh pada regulasi lembaga-lembaga internasional.
“Inilah kalau negara tidak punya kedaulatan dan tidak punya visi untuk menjadi negara besar. Pemerintahnya merasa sudah bekerja, tetapi kenyataannya lebih banyak menguntungkan kepentingan para investor asing,” pungkasnya.[] Zainul Krian