Mediaumat.id – Pakar Hukum Pidana Dr. H. Mispansyah, S.H., M.H., menilai Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seharusnya tidak meminta maaf atas operasi tangkap tangan (OTT) dan penetapan Kepala Badan Pencarian dan Pertolongan Nasional (Kabasarnas) sebagai tersangka korupsi kepada Tentara Nasional Indonesia (TNI).
“Seharusnya, KPK tidak minta maaf. Karena, kalau kita lihat, ada beberapa hal yang harus dipenuhi dalam peradilan koneksitas saat ini,” tuturnya dalam Persprektif PKAD Dr. Mispansyah: Korupsi Basarnas, Bagaimana Pengadilan Koneksitas dalam Islam? di kanal YouTube Pusat Kajian dan Analisis Data, Senin (7/8/2023).
Dosen Universitas Lambung Mangkurat tersebut menjelaskan isi pasal 198 ayat 1, 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer. Dalam pasal-pasal tersebut dijelaskan, tindak pidana yang dilakukan bersama-sama oleh mereka yang termasuk dalam lingkungan peradilan umum dan peradilan militer, maka diperiksa dan diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan umum.
“Jadi, Undang-Undang Peradilan Militer itu menyebutkan bahwa kalau terjadi tindak pidana yang dilakukan oleh mereka yang tunduk dalam peradilan umum dan peradilan militer, maka mereka diperiksa dan diadili dalam lingkup peradilan umum,” jelasnya.
Sementara itu, dalam proses penyelidikan, penyidikan dilakukan oleh tim gabungan yang disebut dengan istilah peradilan koneksitas. Jadi, menurutnya, ketika suatu kasus melibatkan pihak militer dalam peradilan militer dan peradilan umum, maka mereka tergabung dalam tim penyidik yang terdiri dari polisi militer, auditor dan penyidik umum.
“Tim ini dibentuk berdasarkan Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan, dan dengan persetujuan Menteri Hukum dan HAM,” tegasnya.
Mispansyah tidak melihat adanya Keputusan Menteri Pertahanan dan Keamanan maupun persetujuan Menteri Hukum dan HAM.
Oleh karena itu, menurutnya, penanganan kasus korupsi Kabasarnas ditangangani oleh KPK walaupun tersangka merupakan militer aktif.
Hal ini menurutnya, karena kasus korupsi terjadi dalam lembaga atau badan umum, bukan di dalam militer.
“Berdasarkan Undang-Undang Komisi Pemberantasan Korupsi pasal 42 disebutkan bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengkoordinasikan dan mengendalikan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang dilakukan bersama-sama oleh orang yang tunduk kepada peradilan militer dan peradilan umum,” jelas Mispansyah.
Jadi, menurutnya, memang sudah seharusnya KPK yang menangangi kasus korupsi tersebut. Apalagi, menurutnya, KPK sudah sejak awal melibatkan Polisi Militer TNI.
“Jadi, sebenarnya KPK berwenang,” pungkasnya.[] Ikhty