Serial “Ramadhan Karim” Hari Ketiga
Orang yang Berpuasa Lulus dari Sekolah Puasa dengan Memegang Sertifikat Takwa
Allah SWT berfirman:
﴿يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُتِبَ عَلَيْكُمُ الصِّيَامُ كَمَا كُتِبَ عَلَى الَّذِينَ مِن قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ﴾
“Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kalian berpuasa sebagaimana diwajibkan atas orang-orang sebelum kalian agar kalian bertakwa.” (TQS. Al-Baqarah [2] : 183).
Allah SWT memberitahu kita, bahwa umat Islam bukanlah umat yang bodoh di antara umat-umat yang ada, melainkan umat yang terbaik yang dikeluarkan untuk umat manusia. Allah SWT mewajibkan puasa kepada umat Islam sebagaimana dulu puasa juga diwajibkan kepada orang-orang sebelum mereka. Kemudian Allah SWT menyebutkan bahwa buah yang perlu untuk dipanen dengan sungguh-sungguh dari puasanya, yaitu buah ketakwaan. Takwa termasuk di antara jawāmi’ al-kalim, yaitu kata yang sedikit hurufnya namun banyak maknanya. Orang yang berpuasa diharapkan lulus dari sekolah puasa dengan memegang sertifikat takwa di tangan kanannya, dimana ketakwaan benar-benar terwujudkan dalam dirinya dan dengan kuat mempengaruhi tingkah lakunya, sehingga menjadikannya layak untuk meraih surga, dan selamat dati siksa neraka.
Takwa, sebagaimana dirumuskan oleh Imam Ali bin Abi Thalib karramallahu wajhah adalah:
الخَوفُ مِنَ الجَلِيلِ، وَالعَمَلُ بِالتَّنْزِيلِ، وَالرِّضَا بِالقَلِيلِ، وَالاسْتِعْدَادُ لِيَومِ الرَّحِيلِ
“takut pada yang agung (Allah), beramal sesuai dengan apa yang diwahyukan, merasa puas (ridha) dengan apa yang sedikit, dan bersiap untuk perjalanan panjang (akhirat).”
Seandainya setiap orang yang berpuasa sungguh-sungguh untuk mewujudkan keempat hal tersebut dalam dirinya dan masyarakat di mana ia tinggal, maka keadaan kita akan berbeda dengan keadaan yang kita rasakan sekarang!
Dengan al-khaufu min al-jalil, takut pada Dzat yang Agung (Allah), maka ini akan mendorong pemiliknya untuk menjadikan halal dan haram sebagai tolok ukur amal perbuatannya. Sedang al-‘amalu bi at-tanzil, beramal sesuai dengan apa yang diwahyukan, artinya adalah menerapkan syariat Allah yang digali dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, serta apa yang ditunjukkan oleh keduanya, yaitu Ijma’ Shahabat dan Qiyas yang sesuai syariat melalui ijtihad yang benar (shahih).
Tampak jelas bagi siapa saja yang berakal, yaitu tentang kebaikan dari menerapkan hukum-hukum Allah SWT. Sungguh Nabi kita al-Shādiq al-Mashdūq saw telah memberitahu kita bahwa “menegakkan satu had (hukuman) di antara hudud (hukuman-hukuman) dari Allah, hal itu lebih baik ketimbang umat manusia itu diguyur hujan selama empat puluh hari.” Rasulullah saw. tidak membatasi jumlah angka empat puluh, apakah sehari, sebulan, atau setahun? Bagaimana pendapat Anda tentang kebaikan yang akan kita rasakan jika sistem Islam diterapkan secara lengkap dalam segala urusan kehidupan?!
Sementara ar-ridhā bi al-qalīl, merasa puas (ridha) dengan apa yang sedikit dalam kehidupan dunia, maka artinya ia merasa puas dengan apa yang telah Allah bagikan, sehingga siapa pun yang melakukannya, maka dialah orang yang paling kaya, seperti yang disabdakan oleh Nabi kita saw. Dahulu orang berkata:
القَنَاعَةُ كَنْزٌ لَا يَفْنَى
“Qana’ah adalah harta karun yang tidak akan pernah sirna.”
Adapun isti’dad li yaumi al-rahil, bersiap untuk perjalanan panjang (akhirat), maka ia adalah langkah penyempurna untuk memperoleh kebahagiaan abadi di akhirat setelah memperoleh kebahagiaan sementara di kehidupan dunia. [] Al-Ustadz Muhammad Ahmad An-Nadi
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 13/3/2024.