Diasuh Oleh: Ust M Shiddiq Al Jawi
Tanya :
Ustadz, ibu mertua saya saat masih hidup telah membagikan hartanya kepada anak-anaknya. Ada 3 anak; anak pertama mendapat sebidang tanah, anak ke-2 dan ke-3 masing-masing mendapat satu rumah. Apakah itu boleh dan dapat dianggap hibah? (Mukhsin, Bantul).
Jawab :
Boleh hukumnya seseorang seperti seorang ayah atau ibu menghibahkan hartanya kepada anak-anaknya sebelum dia meninggal, asal memenuhi lima syarat sbb :
Pertama, pemberi hibah wajib berada dalam kondisi sehat ketika menghibahkan hartanya. Jika dia menghibahkan dalam kondisi sakit keras menjelang kematiannya (maradh al maut), hibahnya tidak boleh dilaksanakan. Karena hibah tersebut dihukumi sebagai washiyat, bukan sebagai hibah menurut ijma’ ulama. Padahal washiyat tak boleh diberikan kepada ahli waris sesuai sabda Nabi SAW, ”Tak ada washiyat kepada ahli waris.” (HR Ahmad, Abu Dawud, & Ibnu Majah). (Ibnul Mundzir, Al Ijma’, hlm. 120; Khalid Al Musyaiqih, Al Jami’ fi Ahkam Al Waqf wa Al Hibat wa Al Washiyyah, V/259).
Adapun jika hibahnya diberikan kepada selain ahlis waris, boleh dilaksanakan maksimal sepertiga dari total harta. Dari Abu Zaid Al Anshari ra bahwa seorang laki-laki telah memerdekakan enam orang budak miliknya pada saat menjelang kematiannya, dan dia tak punya harta selain mereka. Rasulullah SAW lalu mengundi di antara mereka kemudian memerdekakan dua orang budak dan tetap memperbudak empat budak lainnya. (HR Ahmad & Abu Dawud). (Imam Syaukani, Nailul Authar, VII/384).
Kedua, pemberi hibah wajib melakukan serah terima (al qabdhu) harta tersebut sehingga anak-anaknya dapat melakukan tasharruf terhadap harta itu, seperti memanfaatkan, meminjamkan, dsb. Jika hibah hanya formalitas dan tak ada serah terima sehingga anak-anaknya baru dapat melakukan tasharruf setelah pemberi hibah meninggal, maka pemberian harta itu tak dihukumi sebagai hibah, tapi sebagai washiyat. Padahal washiyat tak boleh diberikan kepada ahli waris (termasuk anak). (HR Ahmad, Abu Dawud, & Ibnu Majah).
Ketiga, pemberi hibah wajib berbuat adil dengan memberikan hibah yang sama kuantitasnya (at taswiyah) kepada anak-anaknya. Sebab memberikan hibah kepada anak-anak secara sama kuantitasnya (at taswiyah) hukumnya wajib, bukan sunnah (istihbab), sebagaimana pendapat yang dianggap rajih (lebih kuat) oleh Imam Syaukani, ”Maka pendapat yang benar, memberi hibah secara sama (at taswiyah) adalah wajib.” (Fa al haqq anna at taswiyah wajibah). (Imam Syaukani, Nailul Authar, VII/303).
Dari Nu’man bin Basyir ra, Rasulullah SAW bersabda,”Berbuat adillah di antara anak-anakmu (i’diluu baina abnaa`ikum).” (HR Ahmad, Abu Dawud, dan Nasa`i). (Sa’id Wajih Sa’id Manshur, Ahkam Al Hadiyyah fi Al Fiqh Al Islami, hlm. 64-65).
Keempat, pemberi hibah tak berniat untuk mencegah para ahli waris untuk mendapatkan harta waris. Sebab boleh jadi ada ahli waris lain selain anak-anaknya, seperti ibunya atau ayahnya. Jika tindakannya menghibahkan harta itu diniatkan untuk mencegah hak ahli waris lainnya di luar anak-anaknya, maka hibah itu termasuk hiilah (rekayasa hukum) yang haram hukumnya. (Lihat QS An Nisaa` [4]:7).
Kelima, hibah yang dilakukan tak mengakibatkan keharaman, misalnya tak tercukupinya kebutuhan dasar orang-orang yang menjadi tanggungan pemberi hibah. Dalilnya kaidah fiqih : al wasiilah ila al haraam haraamun (segala perantaraan menuju yang haram hukumnya haram).
Kesimpulannya, hibah yang diberikan orang tua kepada anak-anaknya seperti yang ditanyakan, sah hukumnya jika memenuhi kelima syarat tersebut. Jika tak memenuhi satu atau lebih dari kelima syarat tersebut, hibahnya tak sah dan haram dilaksanakan. Solusinya, hibah itu wajib dibatalkan dan harta tersebut wajib dibagi menurut hukum waris Islam. Wallahu a’lam.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 208