Oleh: Aji Salam (Sohib Jatim)
Omnibus Law RUU Perpajakan dan RUU Cipta Kerja sedang digodog pemerintah, namun hingga hari ini menuai reaksi pro-kontra dari masyarakat. Undang-Undang yang ada terlalu kaku dan menghambat iklim investasi. Diharapkan dengan hadirnya Omnibus Law akan mempercepat kedatangan investor yang bisa menciptakan lapangan pekerjaan baru serta meningkatkan laju pertumbuhan ekonomi di Indonesia.
Menyoal RUU Cipta Kerja, sebagian pihak menilai, alasan investasi yang bisa menciptakan lapangan kerja hanyalah kamuflase dari proyek RUU Cipta Kerja ini. Kehadiran investor asing sejatinya tak berefek apapun pada lapangan pekerjaan. Buktinya, tenaga kerja asing justru mengalir deras mendatangi Indonesia semenjak kran investasi dibuka selebar-lebarnya. Malah yang ada angka pengangguran terbuka makin meluas.
Di satu sisi, strategi pembangunan yang ditempuh Pemerintah saat ini secara substansial tidak berbeda dengan rezim-rezim sebelumnya. Dengan berkedok mendorong investasi, Pemerintah justru semakin menjerumuskan negara ini dalam kubangan utang. Ketergantungan utang menyebabkan sebagian alokasi APBN terserap hanya untuk membayar utang dan bunganya dalam jangka waktu yang panjang.
Selain itu, kemandirian negara ini juga tergadaikan karena komitmen utang yang disepakati mensyaratkan berbagai hal yang menguntungkan negara pemberi utang, namun merugikan negara ini, baik dalam bidang ekonomi maupun dalam bidang politik, pertahanan dan keamanan.
Hal yang juga sangat mendasar adalah utang-utang yang ditarik oleh Pemerintah dan BUMN di atas merupakan utang ribawi yang diharamkan secara tegas oleh Allah SWT dan Rasul-Nya.
Sebelum RUU ini sah, PHK massal sudah terjadi di berbagai perusahaan. Bagaimana jadinya jika RUU ini disahkan? Lonjakan pengangguran sangat mungkin meningkat tajam. Hal ini beralasan. Dalam RUU Ciptaker memang memberi peluang perusahaan untuk tidak mengangkat pekerja menjadi karyawan tetap. Sistem kontrak putus berlaku di sini.
Apa yang terjadi? Generasi muda akan sulit mendapat pekerjaan stabil. Tidak menentu dan terombang ambing. Di sinilah potensi pengangguran terbuka itu terjadi.
Berikutnya, coba kita cermati soal proyek besar infrastruktur. Penyerahan sejumlah garapan untuk dikuasai pihak asing justru menyulitkan pengontrolan dan berpotensi mematikan perekonomian dalam negeri. Asing juga semakin menguasai Indonesia akibat terus membengkaknya utang luar negeri.
Salah satu bentuk jebakan neoliberalisme adalah dengan membuka seluas-luasnya kran utang luar negeri dan investasi asing. Dan hal ini termasuk dalam aktivitas keharaman, karena membuat sarana penjajahan gaya baru terhadap negerinya sendiri. Kerusakan ini bukan sekadar karena para pemimpin yang tidak amanah, tetapi karena pemberlakuan kapitalisme-liberalisme. Sistem batil inilah yang membuat negeri ini tak pernah merasakan kemakmuran, justru membuat rakyatnya seperti anak ayam yang mati di lumbung padi.
Dalam konteks Papua misalkan, investasi asing sebenarnya adalah kedok baru bagi imperialisme di bidang ekonomi. Dalam kasus Papua bisa kita saksikan kehidupan di kompleks Freeport tampak gemerlap, akan tetapi kontras dengan tingkat kemiskinan di Papua. Inilah salah satu penyebab rakyat Papua sangat mudah diprovokasi untuk melakukan tindakan separatisme oleh OPM karena mereka menyaksikan ketidakadilan akibat kebijakan Pemerintah.
Sungguh sesuatu yang sangat memilukan ketika gerakan OPM ini didukung oleh Inggris dan Amerika padahal selama ini perusahaan-perusahaan mereka dengan begitu mudahnya menjarah SDA Papua. Maka yang sebenarnya terjadi di Papua saat ini bukan saja penjajahan secara ekonomi tapi juga secara politik oleh Amerika dan Inggris.[]