Oknum Pemerintah Terlibat Tindak Pidana Ekspor CPO, HILMI: Kejahatan Luar Biasa
Mediaumat.id – Yang dilakukan empat oknum pihak pemerintah dan swasta yang baru ditangkap aparat dalam dugaan tindak pidana ekspor minyak sawit (crude palm oil/CPO) dinilai sebagai kejahatan yang luar biasa.
“Menurut saya, ini adalah sebuah kejahatan yang luar biasa,” tutur anggota Himpunan Intelektual Muslim Indonesia (HILMI) Dr. Riyan, M.Ag. dalam acara Kabar Petang: Membongkar ‘Pesta’ Mafia Migor di Tengah Kesusahan Rakyat, Kamis (21/4/2022) melalui kanal Youtube Khilafah Channel Reborn.
Menurutnya, kejahatan luar biasa itu karena terjadi persekongkolan antara penguasa dan pengusaha, yang sering disebut korporatokrasi.
“Pemerintah seharusnya memberikan pelayanan excellent (yang terbaik) untuk masyarakat dalam memenuhi salah satu kebutuhan pokok. Tetapi justru memanfaatkan kondisi yang menguntungkan kedua belah pihak (swasta dan pemerintah) untuk semakin menzalimi masyarakat,” tuturnya kesal.
Riyan menilai, pemerintah tidak mengatur mulai dari produksi sampai distribusi dari berbagai kebutuhan pokok dan dan tidak berorientasi pada pelayanan terhadap masyarakat.
“Saya melihat ada upaya sistematis untuk melepaskan tanggung jawab pemerintah dengan menyerahkan pada swasta. Data terkonfirmasi bahwa 46 % pasar minyak goreng dalam negeri hanya dikuasai empat pihak swasta,” ungkapnya.
Akar masalahnya, ungkap Riyan, adalah pembiaran pengelolaan minyak goreng ini mulai dari produksi hingga distribusi kepada swasta, sehingga swasta mendominasi bagaimana pengaturan harga di pasar yang membuat pemerintah seperti tidak berdaya.
“Jadi kalau sekarang ini tiba-tiba berdaya kita patut bertanya-tanya apakah ini berdaya beneran atau ada sebuah skenario lain? Itu yang harus dicermati,” tandasnya.
Langka
Menurut Riyan, produksi CPO ada dua. Satu untuk biodiesel, satu lagi untuk minyak goreng. “Ketika swasta itu menjual kepada pemerintah dalam bentuk biodiesel itu mendapatkan insentif, sehingga penjualan untuk biodisel lebih besar dibandingkan untuk produk minyak goreng,” terangnya.
“Karena kebutuhan biodisel lebih besar, menyebabkan minyak goreng langka dan harganya mahal. Yang memprihatinkan ketika ada subsidi dari pemerintah barangnya langka, begitu subsidi dilepas barangnya ada tapi mahal,” imbuhnya.
Riyan menilai, persoalan minyak goreng ini sangat struktural, bukan sekadar teknis. “Harus dibedah sehingga ada kondisi baru yang prinsipnya pemerintah harus mengambil tanggung jawab mulai dari produksi hingga distribusi. Sehingga semua pihak dalam hal ini swasta ada dalam kendali pemerintah,” tegasnya.
Untuk bisa keluar dari problem struktural ini, Riyan menawarkan solusi Islam. “Dalam pandangan Islam pemimpin itu mengurus, mengatur dan nanti akan dimintai pertanggungjawaban terhadap apa yang dia urus itu,” jelasnya.
Paradigmanya, lanjut Riyan, adalah pelayanan, bukan paradigma bisnis. “Ketika paradigma itu sudah ada maka di tingkat pelaksanaan siapa pun yang melakukan proses industrialisasi mulai dari aspek produksi hingga aspek distribusi semuanya dalam kontrol pemerintah,” ungkapnya.
Menurut Riyan, dengan paradigma ini diharapkan potensi besar Indonesia sebagai penghasil minyak kelapa sawit terbesar itu bisa kembali lagi kepada masyarakat. Karena minyak goreng merupakan kebutuhan pokok masyarakat.
“Kita berharap perubahan yang akan terjadi pasca penangkapan ini, menyentuh aspek yang sifatnya struktural, mendasar. Jangan hanya berhenti pada yang sifatnya kosmetik atau sekadar pencitraan,” harapnya.[] Irianti Aminatun