Nyinyiran Hijab Manusia Gurun, Prof. Suteki: Rektor ITK Bisa Dipidana

 Nyinyiran Hijab Manusia Gurun, Prof. Suteki: Rektor ITK Bisa Dipidana

Mediaumat.id – Pakar Hukum dan Masyarakat, Prof. Dr. Suteki, S.H., M.Hum. mengatakan, berkenaan nyinyiran ‘hijab manusia gurun’, Rektor Institut Teknologi Kalimantan (ITK) Budi Santosa Purwokartiko semestinya bisa dijerat dengan pasal pidana terkait diskriminasi ras dan etnis.

“Kalau terbukti, itu bisa dipidana,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Ahad (8/5/2022).

Pasalnya, sebagaimana tulisan di akun Facebook miliknya yang telah tersebar luas di media sosial, rektor ITK ini pun diduga menyatakan tidak senang jika ada mahasiswi berhijab yang lolos seleksi beasiswa Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP).

Atau paling tidak, meski diketahui Budi diberhentikan sementara dari posisi reviewer Lembaga Pengelola Dana Pendidikan (LPDP) imbas unggahan rasialisme ‘hijab manusia gurun’, menurut Prof. Suteki harus ada teguran dari Kemendikbud-ristek misalnya.

“Harus ada peneguran, begini, atau di ITK sendiri mengadakan sidang namanya DKKE (Dewan Kehormatan Kode Etik), ini saya kira tindakan yang sudah rasis,” tegasnya.

Terlebih, narasi yang dibuat oleh Prof. Budi Santosa Purwokartiko, menurutnya juga bisa memecah belah bangsa Indonesia secara vertikal maupun secara horizontal.

Artinya, tulisan tersebut justru tidak menyatukan keragaman.

“Beliau itu mengotak-ngotakkan mahasiswa atau mungkin juga orang lain, yang terutama mahasiswa ini secara diametral antara yang moderat dengan radikal, antara yang tidak suka demo dengan yang suka demo, antara yang melangit dan membumi,” nilainya.

Dengan demikian sekali lagi, apabila sikap rasis tersebut dikaitkan dengan UU Nomor 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis, kata Prof. Suteki menjelaskan, rektor terkait bisa terjerat hukum. “Itu bisa kita lihat di pasal 15,” ujarnya.

‘Setiap orang yang dengan sengaja melakukan pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada ras dan etnis yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan atau pelaksanaan hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan di bidang sipil, politik, ekonomi, sosial, dan budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf a, dipidana dengan pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).’

“Lalu di pasal-pasal berikutnya (Pasal 16) diterangkan itu tentang bagaimana seseorang bisa dipidana karena melakukan juga kebencian,” tambahnya.

‘Setiap orang yang dengan sengaja menunjukkan kebencian atau rasa benci kepada orang lain berdasarkan diskriminasi ras dan etnis sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 huruf b angka 1, angka 2, atau angka 3, dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).’

“Ini kalau memperkarakan loh ya, kalau mau diteruskan itu,” tukasnya.

Pancasila

“Apalagi ini negara Pancasila katanya. Kalau sampai perbuatan rasis ini dibiarkan, jangan sampai itu,” imbuhnya dengan nada khawatir terjadi suatu hal yang tidak baik.

Bahkan ia mempertanyakan perihal keberadaan falsafah dimaksud maupun konstitusi yang berlaku. “Lalu di mana nih Pancasila? Lalu di mana konstitusi kita? Apa Pancasila itu mau diperas jadi ekasila namanya gotong royong?” bimbangnya.

Persoalannya, kata Prof. Suteki, kalau gotong royong apalagi sekadar persatuan berikut tujuan hedonisnya dengan menghalalkan segala cara tak akan bisa menyelesaikan masalah negeri ini.

“Bagaimana menyelesaikan masalah negeri ini, yang penting gotong royong. Tidak peduli soal ketuhanan, kemanusiaan, kerakyatan atau keadilan sosial, enggak penting,” geramnya.

Maka itu, selain bagian dari islamofobia, pemikiran rektor tersebut telah mengalami disorientasi serta menunjukkan adanya ketidakselarasan pemenuhan kebutuhan hakikat hidup manusia. “Pemikirannya menyimpang dari konsep Prof. Notonagoro tentang manusia Indonesia sebagai makhluk monopluralitas,” ujarnya seraya menerangkan keadaan demikian dengan sebutan disharmoni.

Dengan demikian, tandas Prof. Suteki, di samping sebagai makhluk sosial yang mandiri, manusia terutama Muslim, harus mendudukkan dirinya sebagai ciptaan Allah SWT yang semestinya tunduk dengan segala peraturan-Nya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *