Oleh: Hadi Sasongko (Direktur POROS)
Tertulis “Premium habis”. Sejumlah warga mengeluhkan sulitnya memperoleh bahan bakar minyak jenis bensin Premium. Ada banyak stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU), sebagian besar tidak menjual BBM jenis Premium.
So, Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Premium saat ini yang masih sulit dicari, membuat sebagian masyarakat terpaksa membeli BBM yang lebih mahal. Masyarakat tentu berharap Pertamina tidak mengurangi pasokan Premium ke beberapa daerah. Dengan tidak tersedianya Premium, dugaan sebagian masyarakat menilai jika Pertamina memaksa masyarakat untuk menggunakan Pertalite dan Pertamax.
Adapun alasan para pemilik Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) mengungkapkan penjualan Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis Pertalite lebih menguntungkan dibandingkan Premium. Margin keuntungan menjual Pertalite bahkan tembus Rp750 per liter. Sementara margin keuntungan dari penjualan premium maksimal hanya Rp270 per liter.
Sejumlah SPBU yang ‘malas’ menjual Premium karena margin atau keuntungan dari penjualan Premium sangat kecil. Perbedaan dengan margin bahan bakar jenis lain cukup jauh sehingga mereka lebih memilih menjual jenis bahan bakar lain seperti Pertalite dan Pertamax.
Kenyataan lain adalah Pemerintah sekarang sudah meminimalisir menyubsidi premium. Subsidi solar pun hanya diberikan secara terbatas. Namun, bersama minyak tanah, premium dan solar merupakan jenis BBM yang harganya diatur pemerintah. Dengan demikian, untuk mengisi selisih harga keekonomian dengan harga jual yang tidak naik, Pertamina melakukan subsidi silang dari pendapatan bisnis lain. Otomatis, langkah itu membuat keuntungan perusahaan migas pelat merah tersebut tergerus.
Rakyat berharap minyak bumi, gas dan kekayaan yang terkandung di dalam bumi merupakan hak milik seluruh rakyat. Dalam hal ini pengelolaannya dilakukan oleh pemerintah melalui BUMN seperti PT Pertamina. Dimana tetap memperhatikan kepentingan rakyat sebagai pemilik utama minyak dan gas bumi tersebut. Namun kenyataannya PT Pertamina sendiri telah berubah menjadi perseroan terbatas sejak 2003 yang bertujuan untuk mendapatkan keuntungan sebanyak-banyaknya.
Pertamina adalah perusahaan energi nasional yang 100% kepemilikan sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Republik Indonesia, melalui Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (BUMN) selaku Kuasa Pemegang Saham. Keuntungan usaha migas itu akan sepenuhnya masuk ke Negara dalam bentuk deviden ke APBN. Masalahnya apakah APBN itu sampai ke tangan rakyat, itu masih menjadi tanda tanya besar. Meski sesuai dengan UU Migas sejak 2006 PT Pertamina menjadi public service obligation (PSO) yaitu suatu kebijakan baru tentang kewajiban BUMN untuk melayani kebutuhan publik dimana Pertamina diberikan kewajiban dalam pendistribusian BBM bersubsidi. Namun kebijakan tersebut menyisakan banyak permasalahan. Hal ini disebabkan tugas PSO bertumpuk, sementara dukungan dari pemerintah amat minim, baik dari sisi peraturan sebagai captive market maupun dari sisi bantuan anggaran.
Dilihat dari sisi kepemilikan, meski migas hakikatnya milik rakyat namun kenyataannya 85% ladang minyak dan gas dikuasai oleh pebisnis asing. Semua sumber gas bumi dengan cadangan besar juga telah dikuasai modal asing. Tentu hal ini berpengaruh terhadap harga minyak dunia yang lebih banyak ditetapkan oleh para kapitalis dunia.[]