Nuzulul Qur’an di Tengah Pandemi
Oleh: Achmad Fathoni (Direktur El Harokah Research Center)
Tak terasa, hari-hari shaum yang kita jalani sudah memasuki pertengahan Ramadhan. Sebagai Muslim kita meyakini, di antara malam-malam Ramadhan itu akan hadir Lailatul Qadar yang ditunggu-tunggu, karena nilai keutamaannya yang setara dengan seribu bulan. Selain itu, pada malam Lailatul Qadar ini pula al-Quran pertama kali diturunkan oleh Allah SWT dari Lauhil Mahfuzh ke Baitul ‘Izzah di Langit Dunia. Allah SWT berfirman:
إِنّا أَنزَلنٰهُ فى لَيلَةِ القَدرِ ﴿١﴾ وَما أَدرىٰكَ ما لَيلَةُ القَدرِ ﴿٢﴾ لَيلَةُ القَدرِ خَيرٌ مِن أَلفِ شَهرٍ ﴿٣﴾
Sesungguhnya Kami menurunkan al-Quran pada Lailatul Qadar. Apakah Lailatul Qadar itu? Lailatul Qadar itu lebih baik nilainya dari seribu bulan (QS al-Qadar [97]: 1-3).
Sebagian Muslim meyakini al-Quran pertama kali turun ke bumi tanggal 17 Ramadhan. Untuk itu, pada 17 Ramadhan mereka biasa memperingati peristiwa turunnya al-Quran atau mengadakan Peringatan Nuzulul Quran. Karena itu, tentu penting untuk memaknai kembali peristiwa Nuzulul Quran yang setiap tahun diperingati oleh kaum Muslim.
Allah SWT berfirman:
شَهرُ رَمَضانَ الَّذى أُنزِلَ فيهِ القُرءانُ هُدًى لِلنّاسِ وَبَيِّنٰتٍ مِنَ الهُدىٰ وَالفُرقانِ
Bulan Ramadhan, itulah bulan yang di dalamnya al-Quran diturunkan, sebagai petunjuk (bagi manusia), penjelasan atas petunjuk itu serta sebagai pembeda (QS al-Baqarah [2]: 185).
Ayat di atas tegas menyatakan bahwa al-Quran yang diturunkan oleh Allah SWT berfungsi sebagai hud[an], bayyinat dan furq[an]. Maknanya, al-Quran adalah petunjuk bagi manusia; memberikan penjelasan tentang mana yang halal dan mana yang haram, juga tentang berbagai hudud dan hukum-hukum Allah SWT; serta pembeda mana yang haq dan mana yang batil (Lihat: al-Baidhawi/I/220; Ibn Abi Salam, I/154; an-Nasisaburi, I/48; As-Suyuthi, I/381). Lebih tegas dinyatakan oleh Abu Bakar al-Jazairi dalam Aysar at-Tafasir, saat menafsirkan potongan ayat di atas, bahwa al-Quran merupakan petunjuk bagi manusia yang bisa mengantarkan mereka untuk meraih kesempurnaan dan kebahagiaan hidup di dunia dan akhirat. Maknanya, al-Quran turun dalam rangka: (1) memberi manusia petunjuk; (2) menjelaskan kepada mereka jalan petunjuk itu; (3) menerangkan jalan kebahagiaan dan kesuksesan mereka; (4) memandu mereka agar bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil dalam seluruh urusan kehidupan mereka (Al-Jazairi, I/82).
Dengan memahami maksud ayat di atas, jelas harus dikatakan bahwa al-Quran sesungguhnya sumber solusi bagi setiap persoalan hidup yang dihadapi manusia. Hal ini juga ditegaskan dalam ayat berikut:
وَنَزَّلنا عَلَيكَ الكِتٰبَ تِبيٰنًا لِكُلِّ شَيءٍ وَهُدًى وَرَحمَةً وَبُشرىٰ لِلمُسلِمينَ
Kami telah menurunkan kepadamu (Muhammad) al-Quran sebagai penjelas segala sesuatu; juga sebagai petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang Muslim (QS an-Nahl [16]: 89).
Menurut Al-Jazairi (II/84), frasa tibyan[an] li kulli syay[in] bermakna: menjelaskan segala sesuatu yang dibutuhkan oleh umat (Al-Jazairi, II/84). Ayat di atas juga menegaskan bahwa al-Quran merupakan petunjuk (hud[an]), rahmat (rahmat[an]) dan sumber kegembiraan (busyra) bagi umat.
Sayang, meski Allah SWT secara tegas menyatakan al-Quran sebagai sumber solusi, kebanyakan kaum Muslim saat ini mengabaikan penegasan Allah SWT ini. Buktinya, hingga saat ini al-Quran tidak dijadikan rujukan oleh umat, khususnya para penguasa dan elit politiknya, untuk memecahkan berbagai persoalan hidup yang mereka hadapi. Padahal jelas, umat ini, khususnya di negeri ini, sudah lama dilanda berbagai krisis: krisis keyakinan (misal: munculnya banyak aliran sesat), krisis akhlak (munculnya banyak kasus pornografi/pornoaksi, perselingkuhan/perzinaan, dll), krisis ekonomi (kemiskinan, pengangguran, dll) krisis politik (karut-marut Pemilukada, separatisme, dll), krisis sosial, krisis pendidikan, krisis hukum, dll. Semua ini tentu membutuhkan solusi yang pasti, tuntas dan segera.
Memang, para penguasa dan elit politik negeri ini bukan tidak berusaha mencari solusi. Namun, solusi yang mereka gunakan alih-alih mampu mengatasi berbagai krisis tersebut, tetapi malah memperpanjang krisis dan menambah krisis baru. Ini karena solusi yang dipakai selalu merujuk pada ideologi sekular, yakni Kapitalisme. Untuk mengatasi krisis keyakinan, misalnya, mereka malah mengembangkan pluralisme. Untuk mengatasi krisis ekonomi, mereka mengembangkan ekonomi yang makin liberal antara lain dengan mengembangkan program privatisasi (penjualan aset-aset negara), terus menumpuk utang luar negeri yang berbunga tinggi, menyerahkan pengelolaan (baca: penguasaan) berbagai sumberdaya alam (SDA) kepada swasta/pihak asing, menyerahkan harga barang-barang milik rakyat (BBM, listrik, gas, bahkan air) kepada mekanisme pasar, dll. Akibatnya, kemiskinan dan pengangguran justru makin meningkat, dan krisis ekonomi makin parah.
Untuk mengatasi krisis politik mereka terus mengembangkan demokrasi yang justru menjadi akar persoalan politik. Untuk mengatasi krisis pendidikan mereka malah terus melakukan sekularisasi dan ‘kapitalisasi’ pendidikan. Akibatnya, sudahlah mahal, pendidikan tidak menghasilkan generasi beriman dan bertakwa serta berkualitas.
Lalu untuk mengatasi krisis hukum dan keadilan mereka malah memproduksi hukum buatan sendiri yang sarat dengan kepentingan para pembuatnya. Demikian seterusnya. Akibatnya, berbagai krisis tersebut bukan malah teratasi, tetapi malah makin menjadi-jadi. Semua itu jelas, karena mereka benar-benar telah mengabaikan al-Quran sama sekali.
Selain menjadikan berbagai krisis tidak pernah teratasi, mengabaikan al-Quran sesungguhnya merupakan dosa besar bagi kaum Muslim. Allah SWT berfirman:
وَقالَ الرَّسولُ يٰرَبِّ إِنَّ قَومِى اتَّخَذوا هٰذَا القُرءانَ مَهجورًا ﴿٣٠﴾
Berkatalah Rasul, “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku menjadikan al-Quran ini sebagai sesuatu yang diabaikan.” (QS al-Furqan [25]: 30).
Dalam ayat ini, Rasulullah saw. mengadukan perilaku kaumnya yang menjadikan al-Quran sebagai mahjûr[an], yakni melakukan hajr al-Qur’an (mengabaikan al-Quran).
Dulu ayat ini berkaitan dengan orang-orang kafir. Namun saat ini, tidak sedikit umat Islam yang bersikap abai terhadap al-Quran, sebagaimana kaum kafir dulu. Memang mereka tidak mengabaikan al-Quran secara mutlak. Namun, mereka sering memperlakukan ayat-ayatnya secara diskriminatif. Misal: mereka bisa menerima apa adanya hukum-hukum ibadah atau akhlak, tetapi menolak hukum-hukum al-Quran tentang kekuasaan, pemerintahan, ekonomi, pidana, atau hubungan internasional. Contoh, terhadap ayat-ayat al-Quran yang sama-sama menggunakan kata kutiba yang bermakna furidha (diwajibkan atau difardhukan), sikap yang muncul berbeda. Ayat kutiba ‘alaykum al-shiyâm (diwajibkan atas kalian berpuasa) dalam QS al-Baqarah [2]: 183 diterima dan dilaksanakan. Namun, terhadap ayat kutiba ‘alaykum al-qishâsh (diwajibkan atas kalian qishash; dalam QS al-Baqarah [2]: 178), atau kutiba ‘alaykum al-qitâl (diwajibkan atas kalian berperang; dalam QS al-Baqarah [2]: 216), muncul sikap keberatan, penolakan bahkan penentangan dengan beragam dalih; apalagi ketika semua itu diserukan untuk diterapkan secara praktis. Sikap ini jelas terkategori ke dalam sikap mengabaikan al-Quran dan karenanya merupakan dosa besar.[]