Harian Kompas, 3/8, memuat tulisan Nusron Wahid, Mantan Ketua Umum GP Ansor bertajuk, “HTI, Perppu dan Pancasila”. Mungkin saat menulis artikel itu, detak jantung Nusron berdegup kencang, sebab tulisan itu nampak sekali unsur subyektifitasnya dan bahkan terkesan emosional. Meskipun sebuah tulisan harus tetap diapresiasi sebagai buah pemikiran anak bangsa, namun bukan berarti bisa terlepas dari kritik dan kesalahan.
Sebab masalah penerbitan Perppu Nomor 02 Tahun 2017 dan tafsir Pancasila adalah dua tema besar akhir-akhir ini yang menghiasai jagad perpolitikan dan hukum di negeri ini telah terbukti menimbulkan polemik di tengah masyarakat. Memang benar ada kalangan yang menyetujui perppu ormas, namun banyak juga kalangan yang tidak menyetujuinya, bahkan ada yang menggugat ke Mahkamah Konstitusi.
Sumber polemik terkait perppu dan pancasila bermuara kepada dua dimensi fundamental. Sebagai produk demokrasi yang satu sisi menjunjung kebebasan berserikat, berkumpul dan berpendapat, namun pemerintah justru mengeluarkan perppu yang akhirnya membubarkan HTI yang notabene baru sebatas gagasan dan pemikiran. ini dimensi fundamental pertama. Dimensi fundamental kedua adalah pertanyaan publik akan upaya perwujudan nilai-nilai esensial Pancasila dalam kehidupan masyarakat. Bahkan ada juga yang mempertanyakan terbitnya perppu apakah telah mencerminkan tindakan yang adil dan beradab, sesuai sila kedua Pancasila.
Diawal tulisan Nusron dengan tegas menyebutkan bahwa efek terbitnya perppu ormas adalah adanya sanksi kepada HTI dengan dicabutnya badan hukum ormas Islam ini. Argumen yang diutarakan Nusron adalah bahwa selama ini HTI adalah ormas Islam yang menentang Pancasila. Padahal faktanya hingga hari ini, pemerintah belum secara terbuka menyatakan unsur penentangan HTI terhadap esensi Pancasila. Lebih ironi, sebagai negara hukum, ormas HTI tidak diberikan ruang hak jawab untuk memberikan penjelasan tuduhan pemerintah. Disinilah esensi demokrasi seringkali dikebiri oleh hegemoni kekuasaan, tanpa mengindahkan hak asasi warga negara.
Nusron tanpa mencantumkan sumber referensi juga telah melakukan ujaran kebencian kepada HTI dengan melakukan tuduhan bahwa HTI sejak tahun 1990 telah mengkafirkan Pancasila. Bahkan di paragraf 18, Nusron juga menyebutkan bahwa HTI telah menistakan Pancasila. Tuduhan semacam ini bukanlah tradisi intelektual yang positif, sebab bukan memberikan solusi, melainkan akan menambah tensi polemik anak bangsa. Minimnya sumber refrensi, telah mengantarkan Nusron kepada kegagalan esensial terhadap HTI dan Pancasila.
Padahal sepanjang yang penulis perhatikan, HTI [sebelum dibubarkan] tidak pernah mempermasalahkan Pancasila. HTI justru fokus kepada permasalahan ideologi kapitalisme sekuler yang berlindung dibalik Pancasila, namun faktanya telah menjadikan negeri ini tak mampu menjamin kesejahteraan kepada rakyatnya sendiri. Kebebasan demokrasi justru digunakan oleh ideologi kapitalisme untuk melancarkan cakar neokolonialismenya yang menjadikan negeri ini hampir tidak memiliki kedaulatan lagi. Nampaknya, Nusron masih melihat Pancasila sebatas simbolistik, belum mendalami esensinya.
Secara de facto, Pancasila adalah seperangkat filosofi hidup (set of philosofy) yang sifatnya terbuka. Setiap orang dengan mudah bisa mengatakan bahwa dirinya adalah seorang pancasialis berdasarkan tafsiran masing-masing secara subyektif. Bahkan setiap orang juga bisa menilai orang lain tidak pancasilais dengan tafsiran yang subyektif pula. Namun secara esensial [de jure], dalam UU No 17/2013 tentang organisasi kemasyarakatan, ideologi komunisme, marxisme dan leninisme dengan tegas dinyatakan sebagai paham terlarang karena bertentangan dengan Pancasila. Sementara Islam bukanlah ajaran yang menyalahi Pancasila.
Sebagai mantan Ketua Umum GP Ansor, Nusron semestinya jujur sejujur-jujurnya dan fokus perhatiannya kepada esensi Pancasila, bahwa sila persila Pancasila belum sepenuhnya bisa diwujudkan oleh pemerintah dari rezim ke rezim. Sebab sebagai falsafah hidup, Pancasila sangat bergantung kepada ideologi apa yang mampu mewarnainya. Sistem dan ideologi yang mendasari bangsa ini dalam mengelola bidang ekonomi, pendidikan, budaya, politik, dan sosial yang akan mampu mewarnai Pancasila. Kita mesti jujur, bahwa bangsa ini mengadopsi sistem kapitalisme sekuler dalam menjalankan roda pemerintahan ini. Sebab sebagai seperangkat falsafah, Pancasila masih membutuhkan underline system. Bangsa ini memilih sistem kapitalisme sekuler untuk menopang Pancasila. Adakah ideologi ini sejalan dengan pancasila ?.
Ideologi kapitalisme sekuler jika kita telisik lebih mendalam justru menjauhkan negeri ini dari nilai-nilai Pancasila di semua aspek berbangsa dan bernegara. Sila pertama yang menyatakan keesaan Tuhan (tauhid) justru dinodai oleh berbagai penyimpangan agama yang semakin tumbuh tak terkendali. Sila kedua yang menyatakan kemanusiaan dan keberadaban justru dinodai oleh segala bentuk kriminalitas dan kezaliman yang semakin mengkhawatirkan. Nampaknya Pancasila dalam konteks ini belum mampu menjadi penjaga kemanusiaan dan keadaban di negeri ini.
Sistem ekonomi kapitalisme yang tidak dianggap bertentangan dengan Pancasila juga telah melahirkan kesenjangan ekonomi. Kekayaan di negeri ini hanya dikuasai oleh segelintir konglomerat, sementara rakyat kecil mayoritas belum bisa beranjak dari status warga miskin. Kemiskinan dan ketidaksejahteraan inilah yang seringkali memicu kriminalitas dan bahkan upaya disintegrasi. Cita-cita persatuan Indonesia justru berada di ujung tanduk dibawah hegemoni kapitalisme yang tak berkeadilan.
Sila keempat yang memandatkan amanah rakyat kepada anggota dewan juga seringkali justru yang terjadi adalah semacam pengkhianatan. Oleh anggota dewan yang terhormat, aspirasi rakyat seringkali tidak terwakili. Buktinya, aturan dan perundang-undangan yang dihasilkan tak jarang merugikan kepentingan rakyat dan menguntungkan kepentingan cukong. Maraknya aksi-aksi rakyat yang mempertanyakan kebijakan pemerintah adalah bukti nyata dari tesis ini. Fenomena ini otomatis mereduksi cita-cita Pancasila dalam mewujudkan keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia. Sesungguhnya di tangan kapitalisme sekuler, nilai-nilai Pancasila belum mewujud dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Masih ada sederet fakta lagi. Produk perundang-undangan yang liberal, kapitalis dan menyengsarakan rakyat tak banyak dikritik dari sudut pandang ‘ideologi Pancasila’ ini oleh anggota dewan yang mengaku pancasilais. Karena sifatnya yang terbuka, akhirnya Pancasila sangat mudah ditafsir oleh siapapun, termasuk disalahgunakan dan ditunggangi untuk kepentingan yang sesungguhnya tidak pancasilais. Adalah kesalahan besar jika pemerintah memposisikan diri sebagai satu-satunya penafsir Pancasila yang benar, sebab ini bisa menumbuhkan benih otoriterisme.
Jadi, meski pada level filosofis, pemerintah mengaku melaksanakan Pancasila, underlying system atau sistem yang digunakan di negeri ini lahir dari sistem kapitalisme sekuler ala Barat (transnasional) yang bercorak sosialistik, kapitalistik maupun liberalistik. Kondisi ini sebenarnya tak terbantahkan, sebab rakyat sudah cukup merasakan bagaimana susahnya hidup di Indonesia yang sudah tujuh puluh dua tahun merdeka ini. Jadi sejujurnya, negeri ini masih belum merdeka sepenuhnya. Inilah permasalahan fundamental yang semestinya menjadi fokus pemikiran anak bangsa.
Sepanjang pemahaman penulis, HTI [sebelum dibubarkan] tidak pernah mempermasalahkan Pancasila, namun menanyakan apakah nilai-nilai Pancasila telah diwujudkan oleh pemerintah atau belum dengan terus menawarkan gagasan-gagasan intelektual tanpa memaksa siapapun, mau menerima ataukah tidak. Karena itu, catatan untuk Nusron Wahid, berfikirlah jernih dan jujur, jangan menebar kebencian tanpa bukti yang cukup. []
Ditulis oleh: Ahmad Sastra