4 September 2015, dalam sebuah sesi kampanye pemilihan presiden AS, Donald J Trump memberikan sanjungan tinggi kepada Setya Novanto (62), “This is a very amazing man. He’s a Speaker of The House Indonesia. Novanto, one of the most powerful man, a great man, and his whole group is here to see me today and we will do great things for The United States.” Sebuah pujian eksplisit yang menunjukkan siapa dan bagaimana sepak terjang sang Ketua DPR sekaligus Ketua Umum Golkar.
Harus diakui Novanto adalah politikus yang licin dan menarik. Situs berita Kumparan.id mengidentikkan Novanto dengan Don Carleone, tokoh utama novel bestseller The Godfather. Dalam novel karya Mario Puzo yang rilis 1969 itu, ada kalimat yang berbunyi, ”Di balik setiap kekuasaan besar, ada sebuah kejahatan.” Kalimat tersebut sebenarnya pertama kali ditulis oleh Honoré de Balzac (1799-1850). Balzac adalah pengarang yang menulis sejumlah novel dan cerita pendek. Salah satu kumpulan cerpennya diberi judul La Comédie humaine atau Komedi Manusia. Kalimat tersebut direproduksi Mario Puzo dalam novelnya The Godfather. Novel ini lalu difilmkan dengan sutradara Francis Ford Coppola dan dirilis tahun 1972 dengan bintang Al Pacino serta Marlon Brando.
Media kerap menggunakan analogi kisah dalam novel The Godfather untuk menakar kekuatan dari Setya Novanto yang terlibat dalam belasan kasus hukum salah satunya skandal korupsi e-KTP. Novanto disangkakan sebagai dalang yang mengatur skenario penilepan uang e-KTP senilai Rp 2,3 triliun.
Di era Demokrasi tidaklah mudah menjadi pejabat publik, apalagi pejabat publik yang jujur, politisi jujur. Dalam praktiknya hampir semua politikus yang terjun ke dunia politik masih dengan mentalitas animal laborans, yakni memiliki orientasi kebutuhan hidup dan obsesi akan siklus produksi-konsumsi sangat dominan. Politikus cenderung menjadikan politik tempat mata pencaharian utama. Sindrom yang menyertai salah satunya adalah korupsi (Haryatmoko: 2014).
Walhasil, yang muncul adalah politisi-politisi semu (pseudo-politician), yang jauh dari kualitas dan kredibilitas. Daoed Joesoef, Menteri Pendidikan (1978-1983), dalam ulasannya di harian Kompas menyebut bahwa kebajikan idealistis telah lama raib dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara di negeri ini. Kabajikan idealistis-spiritual yang seharusnya menjadi kendali terhadap kecenderungan alami berpolitik, yakni politicking yang serba liar dan rakus. Akibatnya banyak politisi, pejabat publik, yang meski sudah mendapatkan imbalan dalam bentuk uang dan aneka fasilitas serta protokoler yang mewah dan berlebih, masih merasa belum cukup, belum puas. Mereka masih mencari ”tambahan” dengan cara di luar etika, dengan cara korupsi. Sejauh ini sedikitnya ada 2.315 pejabat, entah itu pejabat publik atau politisi di negeri ini, dicopot dari jabatan mereka dan dipenjara karena berlaku di luar kepantasan, korupsi, memperkaya diri sendiri, dan atau memperkaya partainya, kelompoknya.
Tatkala standarisasi moral dan spritual (Syariah) diabaikan, politik menjadi politicking yang serba liar dan rakus. Kerakusan itu, yang bersanding dengan politik transaksional, telah menjadikan uang dan kuasa sebagai gravitasi politik paling mutakhir.
Senada dengan yang dikatakan oleh filsuf Romawi, Cicero (105-43SM), bahwa ”Tak ada benteng yang demikian kuat sehingga uang tak dapat memasukinya.” Semua orang sama di hadapan uang dan karena itu mengakibatkan ”tak semua orang sama di hadapan hukum”. Sebab, hukum bisa amat mudah diperjualbelikan. Politik pun berwatak transaksional. Politik tidak dijalankan dalam rangka bernegara sehingga gagasan bernegara kian jauh dari keadilan hukum. Kebenaran politik dibuat sumir oleh kepentingan jangka pendek dan politik cuci tangan; politik Pontius Pilatus (Kuncahyono: 2017).
Politik kekuasaan akhirnya berujung pada siapa yang (tidak) boleh dikorbankan. Lalu, terjebak dalam politik kambing hitam; senang mencari kesalahan pihak lain; suka menuding bahkan bermain curang guna menjatuhkan lawan. Dalam hal ini, lingkaran ini, Novanto berada; pertarungan politik yang kompleks, koruptif dan konspiratif bernama sistem Demokrasi Pancasila. [fr]
@rozyArkom, Penulis Buku Solusi Indonesia