Oleh: Rokhmat S. Labib
Termasuk isu menarik yang sempat muncul dalam sidang gugatan HTI terhadap Kemenkumham di PTUN pada hari Kamis 22/2/18 lalu adalah tentang istilah kafir.
Dalam kesempatan tersebut, wakil pemerintah mengajukan pertanyaan kepada ahli tentang siapakah yang dimaksud dengan orang kafir. “Apakah orang nonmuslim itu disebut kafir?” Setelah dijawab, “Ya,” dia pun bertanya lagi seolah tak percaya, “Mengapa tidak disebut nonmuslim saja?”
Jika si penanya itu seorang Muslim, sungguh pertanyaan tersebut sangat menyedihkan.
Bagaimana mungkin ada seorang Muslim yang tidak mengetahui perkara yang amat mendasar tersebut dalam agamanya?
Bagi seorang Muslim semestinya perkara itu telah jelas. Bahwa dalam perspektif Islam –sekali lagi perspektif Islam, bukan dari perspektif lainnya– semua orang yang memeluk agama selain Islam adalah kafir. Ini termasuk perkara ma’lûm min al-dîn bi al-dharûrah.
Patut ditekankan kembali bahwa istilah istilah kafir adalah istilah Islam. Istilah tersebut digunakan al-Quran dan al-Sunnah.Oleh karena itu, untuk memahami istilah tersebut harus dikembalikan kepada sumber aslinya, yakni al-QUran dan al-Sunnah.
Banyak ayat dan hadits yang menjelaskannya, sehingga tidak ada perbedaan di kalangan ulama mu’tabar tentang perkara ini.
Di antaranya adalah firman Allah Swt:
وَمَنْ يَبْتَغِ غَيْرَ الْإِسْلَامِ دِينًا فَلَنْ يُقْبَلَ مِنْهُ وَهُوَ فِي الْآخِرَةِ مِنَ الْخَاسِرِينَ [آل عمران: 85]
Barangsiapa mencari agama selain agama Islam, maka sekali-kali tidaklah akan diterima (agama itu) daripadanya, dan dia di akhirat termasuk orang-orang yang rugi (QS Ali Imran [3]: 85).
Dalam ayat ini dinyatakan dengan sangat jelas bahwa semua orang yang mencari agama selain Islam tidak akan diterima amalnya dan di akhirat termasuk orang yang merugi.
Tentang ayat ini, al-Khazin berkata, “Sesungguhnya agama yang diterima di sisi Allah Swt adalah agama Islam, dan semua agama selainnya tidak diterima di sisi-Nya. Sebab, agama yang benar adalah apa yang diperintahkan Allah Swt, pelakunya diridhai-Nya, dan diberikan pahala oleh-Nya.” (Lubâb al-Ta1wîl fî Ma’ânî al-Tanzîl, I/266).
Juga firman Allah Swt:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْفُرُونَ بِاللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيُرِيدُونَ أَنْ يُفَرِّقُوا بَيْنَ اللَّهِ وَرُسُلِهِ وَيَقُولُونَ نُؤْمِنُ بِبَعْضٍ وَنَكْفُرُ بِبَعْضٍ وَيُرِيدُونَ أَنْ يَتَّخِذُوا بَيْنَ ذَلِكَ سَبِيلًا (150) أُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ حَقًّا وَأَعْتَدْنَا لِلْكَافِرِينَ عَذَابًا مُهِينًا (151)
Sesungguhnya orang-orang yang kafir kepada Allah dan rasul-rasul-Nya, dan bermaksud memperbedakan antara (keimanan kepada) Allah dan rasul-rasul-Nya, dengan mengatakan: “Kami beriman kepada yang sebahagian dan kami kafir terhadap sebahagian (yang lain)”, serta bermaksud (dengan perkataan itu) mengambil jalan (tengah) di antara yang demikian (iman atau kafir), merekalah orang-orang yang kafir sebenar-benarnya. Kami telah menyediakan untuk orang-orang yang kafir itu siksaan yang menghinakan (QS al-Nisa [4]: 150-151).
Berdasarkan ayat ini, semua pemeluk agama selain Islam adalah kafir. Sebab, seandainya mereka mengimani semua nabi dan kitab Allah Swt, mereka pasti mengingkari Nabi Muhammad saw dan al-Quran. Itu berarti dia telah mengingkari seorang nabi dan satu kitab. Sebagaimana ditegaskan ayat ini, orang yang beriman sebagian dan ingkar sebagian lainnya dinyatakan sebagai hum al-kâfirûn haqq[an] (mereka adalah orang-orang kafir yang sebenar-benarnya).
Mengenai ayat ini, Ibnu Katsir berkata, “Yang dimaksud ‘Barang siapa yang kafir kepada seseorang dari kalangan para nabi, berarti ia kafir kepada semua nabi’ karena sesungguhnya iman diwajibkan kepada semua nabi yang diutus oleh Allah Swt kepada penduduk bumi ini. Barang siapa yang mengingkari kenabiannya karena dengki, fanatisme, atau kecenderungan belaka, berarti jelas imannya kepada nabi yang ia percayai itu bukanlah keimanan yang diakui oleh syariat, melainkan hanya semata-mata karena tendensi tertentu, hawa nafsu, dan fanatisme.” (Tafsir al-Qur`ân al-‘Azhîm, II.45).
Rasulullah saw bersabda:
وَالَّذِيْ نَفْسُ مُحَمَّدٍ بِيَدِهِ! لَا يَسْمَعُ بِي أَحَدٌ مِنْ هـٰذِهِ اْلأُمَّةِ يَهُوْدِيٌّ وَلَا نَصْرَانِيٌّ، ثُمَّ يَمُوْتُ وَلَمْ يُؤْمِنْ بِالَّذِي أُرْسِلْتُ بِهِ، إِلَّا كَانَ مِنْ أَصْحَابِ النَّارِ
Demi Dzat yang diri Muhammad berada di tangan-Nya, tidaklah seorang pun dari umat ini, Yahudi maupun Nasrani, yang mendengar diutusnya aku (Muhammad), lalu dia mati dalam keadaan tidak mengimani apa yang aku diutus dengannya (Islam), niscaya dia termasuk penghuni neraka (HR Muslim).
Selain ayat-ayat dan Hadits tersebut, masih banyak dalil lainnya yang menunjukkan tentang hal itu. Dalam QS al-Bayyinah [980: 6 ditegaskan bahwa orang-orang kafir terdiri dari dari ahli kitab dan orang-orang musyrik. Kekufuran orang Nasrani secara khusus disebut dalam QS al-Maidah [5]: 72-73 kafir lantaran mengatakan Allah Swt salah satu dari tiga dan Allah Swt adalah Isa bin Maryam .
Mak tak aneh, para ulama sepakat tentang kafirnya semua pemeluk agama selain Islam. Imam Ibnu Hazm berkata:
فَأخْبر تَعَالَى أَنهم يعْرفُونَ صدقه وَلَا يكذبونه وهم الْيَهُود وَالنَّصَارَى وهم كفار بِلَا خلاف من أحد من الْأمة ) الفصل في الملل والأهواء والنحل (3/ 111)
Maka Alllah Ta’ala mengabarkan bahwa mereka sebenarnya mengetahui kebenarannya (Nabi saw) dan tidak mendustakannya, mereka ada Yahudi dan Nasrani, dan mereka adalah orang-orang kafir tanpa ada perbedaan pendapat dari seorang pun dari umat ini.
Ibnu Hazm juga berkata:
وَاتَّفَقُوا عَلَى تَسْمِيَةِ الْيَهُودِ وَالنَّصَارَى كُفَّارًا
Mereka sepakat tentang penamaan orang Yahudi dan Nasrani sebagai orang-orang kafir (Marâtib al-Ijmâ’, 22).
Imam al-Qurthubi juga berkata, “Tidak Anda lihat orang yang mengesakan Allah Swt dan tidak beriman terhadap Nabi saw, maka tidak bermanfaat iman dan tauhidnya dan dia termasuk orang yang kafir secara ijma’ yang qath’i?” (al-Mufhim limâ min Talkhîsh Kitâb Muslim, I/291-291).
Karena itu perkara yang qath’i, maka mengingkari kekufuran mereka dapat membatalkan keimanan seseorang.
Imam al-Nawawi rahimahullah berkata:
وأن من لم يكفر من دان بغير الإسلام كالنصارى أو شك في تكفيرهم أو صحح مذهبهم فهو كافر وإن أظهر مع ذلك الإسلام واعتقده (روضة الطالبين وعمدة المفتين (3/ 444)
،
“Dan barang siapa yang tidak mengkafirkan orang yang beragama selain Islam seperti Nasrani, ragu dalam mengkafirkan mereka, atau membenarkan madzhab mereka, maka adalah kafir, meskipun pada saat yang sama dia menampakkan keislaman dan meyakininya” (Raudhah al-Thâlibin wa Umdah al-Muftîn, III/444).
Ibnu Hazm juga berkata:
وَمن أنكر كفرهم فَلَا خلاف من أحد من الْأمة فِي كفره وَخُرُوجه عَن الْإِسْلَم (الفصل في الملل والأهواء والنحل (3/ 111)
Dan barangsiapa yang mengingkari kekufuran mereka (Yahudi dan Nasrani), maka tidak ada perbedaan pendapat dari seorang pun dari umat ini bahwa dia telah kufur dan dia keluar dari Islam.
Jelaslah, istilah kafir beserta maknanya merupakan bagian dari ajaran Islam. Mengubah atau menghilangkannya karena alasan agar lebih toleran tidak diperbolehkan. Apalagi menghina dan merendahkan istilah tersebut seraya menuduh orang yang menggunakannya dengan benar sebagai radikal dan tuduhan negatif lainnya. Jika itu dilakukan, sama halnya dengan menghina dan merendahkan Islam.
Sungguh, ini merupakan pemahaman mendasar yang sangat penting.
Mestinya, orang yang tidak memiliki ilmu tahu diri dan belajar kepada yang mengetahui.
Namun yang terjadi, alih-alih mau belajar tentang Islam, justru mereka menghalangi organisasi dakwah yang menyampaikan Islam secara kaffah di tengah kehidupan.
Maka, siapa yang sesungguhnya yang bermasalah?
Wal-Lah a’lam bi al-shawab..[]