No Free Lunch … (Sorotan Atas 2nd Indonesia-Singapura Business Council (ISBC) Meeting)

Oleh: Dr. Lukman Noerochim S.T., M.Sc.(Eng).,Ph.D (Staf Ahli FORKEI)

Indonesia dan Singapura menjalin kesepakatan untuk memperkuat kerja sama di tiga sektor prioritas. Sektor tersebut yakni pasar modal, ekonomi digital, dan pariwisata serta infrastruktur pendukungnya. Kesepakatan tersebut diambil 2nd Indonesia-Singapura Business Council (ISBC) Meeting yang diselenggarakan oleh Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) bersama Kadin Indonesia bekerja sama dengan Economic Development Board (EDB) Singapura dan Singapore Business Federation (SBF).

“Indonesia dapat mengambil keuntungan dari Singapura yang telah dikenal sebagai financial hub di kawasan Asia untuk mendapatkan pembiayaan dari proyek-proyek investasi di sektor pariwisata dan ekonomi digital,” ujar Kepala BKPM Thomas Lembong di Jakarta, Kamis (5/3).  (http://internasional.republika.co.id/berita/internasional/asia/18/04/06/p6q7df382-indonesia-cari-pembiayaan-infrastruktur-dari-singapura)

Kritik

Perlu diingat, stok modal asing di dalam negeri sudah sangat besar. Modal asing yang masuk ke pasar keuangan Indonesia sejak 1 hingga 26 Januari 2018 mencapai Rp46 triliun, atau meningkat lebih dari dua kali lipat dari data periode sama 2017 sebesar Rp17 triliun. Masuknya modal asing berpeluang membuat mereka akan turut campur tangan dalam kebijakan ekonomi, sosial, budaya dan hankam di Indonesia.

Sudah menjadi perbincangan umum, jika para investor tidak akan mau melepas campur tangannya dalam berbagai kebijakan strategis pemerintah Indonesia karena mempunyai kepentingan untuk mengamankan investasi dan kepentingan lainnya di negeri ini. Dilansir dari cnnindonesia.com (20/11/17) Dari nilai total investasi, swasta menyumbang Rp2.414 triliun atau lebih besar dibandingkan dengan pembiayaan pemerintah. Pemerintah menggelontorkan dananya masing-masing melalui APBN sekitar Rp525 triliun dan BUMN maupun BUMD yang mencapai Rp1.258 triliun, total jenderal mencapai Rp1.783 triliun. Lima proyek yang memiliki nilai investasi tertinggi itu adalah energi (12 proyek dengan pembiayaan Rp1.242 triliun); ketenagalistrikan (1 program dengan pembiayaan Rp1.035 triliun); jalan (74 proyek dengan pembiayaan Rp684 triliun); kereta (23 proyek dengan pembiayaan Rp613 triliun); dan kawasan (30 proyek dengan pembiayaan Rp290 triliun).

Indonesia dalam krisis? Hal ini nyata terlihat tatkala Indonesia masih tunduk pada mekanisme pasar bebas yang disuarakan asing,  dan salah satunya dalam kebijakan migas dan perminyakan. Semua UU yang mengatur energi di Indonesia bermasalah karena dibekingi kepentingan asing.  “Bukan hanya UU Migas yang bermasalah, tapi semua UU tentang Energi,” ujar pengamat kebijakan publik, Ichsanudin Noorsy di Jakarta, Minggu harianterbit.com (6/8/2017).

Dalam hal energi, kata Noorsy, Indonesia sama sekali tidak berdaya untuk mengelola dan menikmati kekayaannya.  “Kita tidak berdaya, terutama di bidang energi,” ungkapnya. Selain itu, lanjut Noorsy, ada upaya dari negara asing untuk meminimalkan peran Pemerintah Indonesia dalam sektor migas dan meningkatkan peran swasta dalam sektor migas. “Mereka (negara asing) sangat lihai menjajah negara kita,” ujarnya.

Seperti diketahui, Undang-Undang Migas sempat digugat lantaran dinilai sejumlah pasal dalam UU Migas itu berdampak sistemik terhadap kehidupan rakyat dan dapat merugikan keuangan ne¬gara. Sebab, UU Migas membuka liberalisasi pengelolaan Migas yang sangat didominasi pihak asing karena dunia permigasan Indonesia dikuasai perusahaan asing sampai 89 persen.

Secara historis, pembukaan pasar bagi Penanaman Modal Asing merupakan strategi penjajahan barat atas dunia muslim Apa yang digariskan dalam perundang-undangan, pemberian jaminan dan kemudahan bagi investor dan investasi asing merupakan bentuk ketundukan dan jawaban penguasa Kuwait terhadap tekanan AS. Sesungguhnya pernyataan AS itu sendiri bertentangan. Dengan cara yang tidak santun AS amat berambisi dengan meminta Kuwait agar segera membuat perundang-undangan yang memunculkan kontrak karya jangka panjang dan peluang ekonomi yang kondusif bagi masuknya investor asing. Diantaranya adalah surat yang dikirim AS kepada negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk (GOCC) yang dikenal dengan nama surat putih pada awal tahun 1995. Dalam surat itu AS menjelaskan hambatan-hambatan yang ada pada liberalisasi investasi negara-negara anggota Dewan Kerjasama Teluk, dan memandangnya sebagai penghalang yang dapat mengurangi kesempatan investasi. Begitu pula apa yang diucapkan oleh John Kaliski (salah seorang penasehat departemen perdagangan AS) pada bulan Desember 1995 di kedutaan AS yang menyebutkan bahwa dia telah menyampaikan kepada para pemimpin Kuwait tentang keinginan negaranya, yaitu tentang pentingnya membuat undang-undang dan peraturan (di Kuwait) yang memberi peluang kepada investor asing untuk mengurus secara terus-menerus berbagai aktivitas pengembangan perdagangan.

Dalam konteks Indonesia, para penguasa hendaknya sadar bahaya pembukaan pasar bagi investor asing merupakan kepentingan politis. Hasilnya ternyata bertolak belakang dari tujuan kemaslahatan rakyat, karena tujuan di balik pembukaan pasar bagi investor asing sama sekali tidak ada kaitannya dengan penyelesaian problema (ekonomi) kita dan tidak mencapai kepentingan kita. Sebaliknya justru hanya menancapkan dominasi kapitalismeatas kekayaan SDA yang super melimpah kita saja.

Share artikel ini: