Nestapa Pekerja Migran di Kamboja, IMuNe: Kelemahan Indonesia Masih Persoalan Ekonomi

Mediaumat.id – Menanggapi pemberitaan seputar nestapa pekerja migran Indonesia (PMI) di Kamboja yang terkuak di awal Agustus lalu, Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara mengatakan, persoalan ekonomi masih menjadi faktor kelemahan terbesar Indonesia.

“Faktor kelemahan terbesar dari internal Indonesia adalah persoalan ekonomi,” ujarnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (27/8/2022).

Bahkan, lanjutnya, kalau mencermati berita-berita yang ada, korban yang terjerat awalnya tergiur dengan iming-iming gaji tinggi.

Sebagaimana diinformasikan sebelumnya, seorang warga negara Indonesia (WNI) yang sempat menjadi korban lowongan kerja palsu di Kamboja, berkesempatan menceritakan berbagai siksa yang dilalui di sana, setelah dirinya berhasil pulang ke Indonesia pada Juli lalu.

“Memang di sana banyak rata-rata pekerjanya orang Indonesia, dijanjikan dengan gaji luar biasa, namun hasilnya nol,” kata Rio (bukan nama sebenarnya), dalam konferensi pers virtual berjudul ‘Darurat PMI di Kamboja’ yang diselenggarakan Lembaga Swadaya Masyarakat Migrant Care, Senin (1/8).

“Mereka yang tidak mencapai target dijualbelikan, dipukul, dan disetrum. Paspor dibakar, tidak membayar denda,” ujarnya lagi.

Terlepas itu, lanjut Fika, persoalan migran di sana bukan karena besar kecilnya Kamboja sebagai sebuah negara apabila dibandingkan dengan Indonesia yang jauh lebih luas. Tetapi yang dihadapi para pekerja migran adalah sebuah sindikat perdagangan manusia yang sudah menjadi industri besar di sana.

Bahkan sejak lama Kamboja dikenal sebagai ‘pasar’ perdagangan manusia yang akan disalurkan ke Thailand dan Vietnam.

Ia mengungkapkan, berkembangnya sindikat ini justru dikarenakan ketidakstabilan politik, kemiskinan dan rendahnya tingkat pendidikan di negara yang dikenal sebagai neraka dunia tersebut.

Sedangkan di sisi lain, sambung Fika, pemerintah Indonesia sendiri juga dinilai belum bisa menjamin kesejahteraan warganya dengan lapangan kerja yang memadai. Tak ayal, mereka lebih memilih mencari peluang di luar dengan menjadi PMI/TKI/TKW.

Lebih jauh, lemahnya visi tersebut juga menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap rakyatnya sendiri. “Dari sisi regulasi justru adanya tenaga kerja Indonesia (TKI) ini dipandang menguntungkan karena ada remitansi devisa yang masuk ke dalam negeri,” ungkapnya.

Dengan demikian, ia menilai perlunya Indonesia berhenti menjadi negara bisnis, yang sejak awal dipengaruhi ideologi kapitalisme yang melihat segala sesuatunya hanya dari besaran transaksi, melayani oligarki dan membiarkan rakyat dieksploitasi, dan sekali lagi seolah warga negara dipandang hanya sebagai aset remitansi.

Terlebih, penerapan sistem kapitalisme juga menjadikan gurita oligarki korporasi asing maupun aseng leluasa menghisap kekayaan alam negeri, sehingga rakyatnya sendiri laksana ayam yang mati di lumbung padi.

Artinya mereka (rakyat) yang semangat berjuang demi sesuap nasi justru menjadi korban dari berbagai sindikasi. Sementara pemerintahannya sibuk bekerja menggaet investasi asing untuk pembangunan negeri. “Inilah penyebab utama kenapa negeri ini kehilangan harga diri dan marwah di luar negeri,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: