Naskah Khutbah Idul Fitri 1440 H: Mewujudkan Takwa Paripurna
MEWUJUDKAN TAKWA PARIPURNA
السلام عليكم و رحمةالله و بركاته
الله أكبر 3 xالله أكبر 3 xالله أكبر 3 x
اللهُ أَكْبَرُ كَبِيْرًا،وَالْحَمْدُلله كَثِيْرًا،وَسُبْحَانَ اللهِ بُكْرَةً وَ أَصِيْلاً. لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ،صَدَقَ وَعْدَهُ، وَ نَصَرَ عَبْدَهُ، وَ أَعَزَّ جُنْدَهُ وَهَزَمَ الأَحْزَابَ وَحْدَهُ. لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ هُوَاللهُ أَكْبَرُ. اللهُ أَكْبَر ُوَللهِ الْحَمْدُ.
اَلْحَمْدُللهِ الًّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ اَحَسَنُ عَمَلاَ، وَ الَّذِيْ أَمَرَنَا بِالتَّقْوَى وَ نَهَانَاعَنِ اتِّبَاعِ الْهَوَى.
أَشْهَدُأَنْ لاَإِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ،الْمَلِكُ الْحَقُّ الْمُبِيْنُ، الَّذِيْ أَوْضَحَ الطَّرِيْقَ لِلطَّالِبِيْنَ، وَ سَهَلَ مَنْهَجَ السَّعَادَةِ لِلْمُتَّقِيْنَ.
وَأَشْهَدُ أَنَّ سَيِّدَنَامُحَمَّدًاعَبْدُهُ وَ رَسُوْلُهُ صَادِقُ الْوَعْدِالأَمِيْنَ وَاْلإِمَامُ ِللْمُتَّقِيْنَ.
صَلَّى اللهُ عَلَى مُحَمَّدٍ، وَعَلَى آلِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.
‘Amma ba’du
AlLâhu akbar 3x, wa lilLâhil hamd.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLâh.
Takbir. Tahlil. Tahmid. Tak henti-hentinya meluncur dari setiap lisan kaum beriman. Menggetarkan dada. Menyentuh jiwa. Bergemuruh di langit. Menghujam ke bumi.
Dengan hati yang khusyuk, tulus dan ikhlas. Semua Muslim. Termasuk kita di sini. Bersimpuh. Bersujud. Merunduk dan merendahkan diri. Di haribaan Zat Yang Mahasuci. Hanyut dalam senandung pujian kepada Ilahi. Tenggelam dalam pengagungan kepada Zat Yang Mahatinggi. Allah Rabbul ‘Izzati.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLâh.
Ramadhan telah kita tinggalkan. Idul Fitri telah menghampiri. Hari Raya telah menyapa. Puasa berganti dengan berbuka. Yang tersisa sejatinya tinggallah takwa. Bukan kembali berlumur dosa. Begitulah seharusnya kita pasca puasa.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLâh.
Idul Fitri tahun ini sama-sama kita rayakan saat bangsa ini masih dirundung oleh ragam ujian. Elit politik masih terus disibukkan oleh persaingan dan perselisihan. Tampak nyata hasrat dan nafsu untuk saling berebut jabatan atau mempertahankan kekuasaan. Ego pribadi. Kehendak golongan. Kepentingan partai. Tak jarang mendominasi. Saling sikut berebut kursi. Masing-masing siap mengorbankan apa saja. Bahkan siap mengorbankan siapa saja. Demi jabatan dan kekuasaan. Padahal jabatan dan kekuasaan sesungguhnya hanyalah amanah yang bisa berujung penyesalan. Tentu di Hari Pembalasan. Demikian sebagaimana sabda Nabi saw.:
إِنَّكُمْ سَتَحْرِصُونَ عَلَى الْإِمَارَةِ وَ سَتَكُونُ نَدَامَةً يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Sungguh kalian benar-benar berhasrat terhadap kekuasaan, sementara kekuasaan itu (jika tidak dijalankan dengan amanah) akan menjadi penyesalan (bagi pemangkunya) pada Hari Kiamat (HR al-Bukhari).
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLâh.
Pada saat yang sama, nasib rakyat makin terlupakan. Secara ekonomi kemiskinan masih terjadi. Angka pengangguran masih tinggi. Harga-harga kebutuhan pokok terus melonjak. Utang negara terus membengkak. Juga aneka persoalan ekonomi lainnya. Ironisnya, semua derita rakyat itu terjadi di tengah keberlimpahan kekayaan alam negeri ini. Sebabnya, sebagian besar kekayaan itu telah dikuasai oleh pihak asing, swasta dan pribadi-pribadi. Mayoritas rakyat, yang notabene Muslim, hanya bisa gigit jari.
Di sisi lain, secara sosial rakyat makin terpolarisasi. Salah satunya adalah akibat ‘pesta demokrasi’, yang tahun ini diyakini banyak diwarnai oleh kecurangan di sana-sini. Pesta lima tahunan ini pun menghasilkan sejumlah tragedi. Seperti kematian ratusan petugas Pemilu. Juga memicu kerusuhan yang menelan puluhan korban. Akibat peluru tajam dan tindak kekerasan.
Pada saat yang sama, kriminalisasi terhadap ulama dan tokoh umat masih terus terjadi. Dakwah terus dipersekusi. Ajarannya, seperti syariah dan khilafah, terus dimonsterisasi. Orang-orang yang ‘hijrah’ pun malah dicurigai.
Di bidang hukum, menegakkan keadilan seperti menegakkan benang basah. Nyata sangat susah. Sebab hukum tumpul ke atas, tajam ke bawah. Kesetaraan di depan hukum seolah menjadi barang mewah. Hanya milik mereka yang punya ‘trah’ atau harta berlimpah. Bukan milik rakyat golongan rendah. Sebab mereka ini adalah golongan yang selalu kalah.
AlLâhu akbar 3x, wa lilLâhil hamd.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLah.
Di luar negeri nasib kaum Muslim jauh lebih parah. Suriah masih berdarah-darah. Oleh kekejaman rejim Nusairiyah yang haus darah. Didukung oleh negara-negara kafir penjajah. Dengan memanfaatkan ISIS yang secara sepihak mengklaim sebagai Khilafah.
Palestina masih terus dirundung duka. Baik di Tepi Barat maupun Jalur Gaja. Para wanitanya banyak diperkosa. Anak-anaknya yang tak berdosa banyak dianiaya. Tanpa satu pun penguasa Arab dan Muslim yang sudi membela. Kecuali sekadar retorika tanpa makna.
Rohingya tak terkecuali. Kaum Muslim di sana masih terus dipersekusi. Bahkan dibantai secara keji. Oleh rejim Budha yang tak punya hati. Sebagian lainnya terusir ke berbagai negeri. Tanpa ada yang peduli sama sekali.
Demikian pula Muslim Uighur. Nasibnya seolah tak pernah mujur. Hingga kini masih tersungkur. Banyak Muslim yang dibunuh, disiksa dan diisolir. Mereka seperti hidup di sebuah penjara besar. Di bawah sorotan tajam para sipir. Yang siap menyiksa mereka dengan keji dan barbar.
Yaman pun masih dilanda kekurangan pangan. Banyak anak-anak kelaparan. Banyak pula yang merasakan hidup tak pernah aman. Sebab sering dilanda konflik dan peperangan.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLah.
Alhasil, kaum Muslim, baik di negeri ini maupun di banyak belahan dunia lain, hingga kini masih saja dalam keadaan tersingkir. Terpinggirkan. Kalah di semua lini.
Keadaan ini tentu ironis dengan kenyataan, bahwa setiap tahun kaum Muslim merayakan Idul Fitri dengan sukacita. Sebab, sebagaimana dinyatakan oleh sebagian ulama, Idul Fitri adalah Hari Kemenangan. Menang melawan hawa nafsu. Menang melawan setan. Menang melawan setiap kecenderungan dan perilaku menyimpang. Menang dalam menegakkan keadilan. Menang melawan setiap kezaliman. Bahkan menang melawan gembong kekufuran. Inilah yang kita saksikan dalam lintasan sejarah seperti Perang Badar, Fathu Makkah, dlsb. Hari raya yang penuh dengan kemenangan semacam inilah yang sepantasnya dirayakan. Allah SWT berfirman:
وَيَوْمَئِذٍ يَفْرَحُ الْمُؤْمِنُونَ (4) بِنَصْرِ اللَّهِ يَنْصُرُ مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ الْعَزِيزُ الرَّحِيمُ (5)
Pada hari itu, bergembiralah kaum Mukmin karena meraih pertolongan Allah SWT. Dia menolong siapa saja yang Dai kehendaki. Dia Mahakuat dan Maha Penyayang (QS ar-Rum [30]: 4).
AlLâhu akbar 3x, wa lilLâhil hamd.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLâh.
Di sisi lain, sesungguhnya Idul Fitri lebih layak dirayakan oleh Mukmin yang puasanya melahirkan takwa. Tentu bukan takwa yang pura-pura. Sekadar demi citra. Demi meraih tahta dan kuasa. Namun, takwa yang bertambah sempurna. Takwa yang makin paripurna. Takwa yang sebenarnya (haqqa tuqâtih). Sebagaimana yang dikehendaki oleh Allah SWT dalam QS Ali Imran [3] ayat 102. Dalam bahasa sebagian ulama dinyatakan:
لَيْسَ الْعِيْدُ لِمَنْ لَبِسَ الْجَدِيْدَ وَ لَكِنَ الْعِيْدَ لِمَنْ تَقْوَاهُ يَزِيْدُ
Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan segala sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang ketakwaannya bertambah.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLâh.
Salah satu definisi takwa dinyatakan oleh Imam al-Hasan. Kata Imam al-Hasan, sebagaimana dikutip oleh Imam ath-Thabari di dalam tafsirnya, kaum yang bertakwa adalah mereka yang senantiasa takut terjerumus pada apa saja yang telah Allah SWT haramkan atas mereka dan menunaikan apa saja yang telah Allah wajibkan kepada mereka.
Al-Quran banyak mengungkap ciri orang-orang yang bertakwa. Demikian juga al-Hadis. Begitu pun yang dinyatakan oleh para Sahabat. Juga oleh banyak ulama dari generasi salafush-shalih. Menurut Imam Ali ra., misalnya, sebagaimana dinukil dalam kitab Dalîl al-Wa’zh ilâ Adillah al-Mawâ’izh (1/546) danSubul al-Hudâ wa ar-Rasyad (1/421), takwa adalah:
اَلْخَوْفُ مِنَ الْجَلِيْلِ، وَ الْعَمَلُ بِالتَّنْزِيْلِ وَ الْقَنَاعَةُ بِالْقَلِيْلِ، وَ الإِسْتِعْدَادُ لِيَوْمِ الرَّحِيْلِ
Takut kepada Allah Yang Mahagung, mengamalkan al-Quran yang diturunkan, puas dengan yang sedikit, dan mempersiapkan bekal untuk menghadapi hari kepergian (ke akkirat).
Dengan demikian takwa memiliki empat unsur yaitu: Pertama, Al-Khawf min al-Jalîl, yakni memiliki rasa takut kepada Allah SWT. Orang yang bertakwa tentu selalu berhati-hati dalam hidupnya karena takut akan terjatuh pada segala perkara yang haram. Sebab setiap keharaman yang dilakukan pasti menuai dosa. Setiap dosa bakal mengundang murka dan siksa-Nya. Inilah yang ditakutkan orang yang bertakwa. Jika pasca puasa rasa takut terhadap murka-Nya ini selalu melekat dalam diri seorang Muslim maka dia layak bergembira di Hari Raya. Sebab, sebagaimana kata sebagian ulama, “Laysa al-‘îd li man labisa al-jadîd, innama al-îd li man ittaqa al-wa’îd (Hari Raya bukanlah untuk orang yang mengenakan sesuatu yang serba baru. Hari Raya hanyalah untuk orang yang takut terhadap ancaman [murka-Nya]).”
Demikian pula yang Allah SWT tegaskan:
وَيَرْجُونَ رَحْمَتَهُ وَيَخَافُونَ عَذَابَهُ إِنَّ عَذَابَ رَبِّكَ كَانَ مَحْذُورًا
Mereka senantiasa mengharapkan rahmat Allah dan takut terhadap azab-Nya. Sungguh azab Allah itu adalah sesuatu yang (harus) ditakuti (QS al-Isra’ [17]: 57).
Sayang, hari-hari ini, kita menyaksikan rasa takut terhadap azab Allah SWT seolah hilang pada diri sebagian kaum Muslim. Buktinya, banyak Muslim yang masih enggan meninggalkan dusta. Gemar berbuat dosa. Banyak yang tetap melanjutkan perbuatan tercela. Misal, meraih dan mempertahankan kekuasaan dan jabatan dengan segala cara. Termasuk dengan cara-cara curang dan penuh rekayasa.
Demikianlah. Seolah-olah puasa sama sekali tak berbekas sedikit pun pada dirinya. Pada akal dan pikirannya. Pada jiwa dan perasaannya. Dia tak semakin tambah taat. Tak semakin tambah takwa. Yang ada malah makin jumawa di hadapan Allah Azzawa Jalla. Padahal Allah SWT telah lama menyeru kita:
وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ وَجَنَّةٍ عَرْضُهَا السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ أُعِدَّتْ لِلْمُتَّقِينَ
Bersegeralah kalian meraih ampunan Allah dan surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan bagi kaum yang bertakwa (QS Ali Imran [3]: 133).
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLâh.
Kedua: Al-‘Amal bi at-Tanzîl, yakni mengamalkan seluruh isi al-Quran yang telah Allah turunkan. Tentu dengan menerapkan semua hukumnya. Dengan melaksanakan dan menerapkan syariahnya secara kaffah. Penerapan syariah secara kaffah itu hanya bisa diwujudkan melalui kekuasaan yang menerapkan sistem pemerintahan Islam. Sistem tersebut oleh para ulama disebut Khilafah ar-Rasyidah.
Ketiga: Al-Qanâ’ah bi al-qalîl, yakni selalu merasa puas/ridha dengan karunia yang sedikit. Qanâ’ah akan melahirkan sikap zuhud terhadap dunia. Zuhud terhadap dunia akan melahirkan sikap wara’, yakni senantiasa berhati-hati terhadap dosa.
Sayang, saat ini kita menyaksikan betapa banyak orang bukan saja tidak qanâ’ah dengan yang sedikit. Mereka bahkan tidak qanâ’ah dengan yang banyak. Betapa banyak orang-orang kaya terus-menerus menumpuk harta. Meski dengan cara-cara yang melanggar ketentuan agama. Betapa banyak pejabat bergaji tinggi, tetapi tetap korupsi. Betapa banyak penguasa yang tak punya prestasi, tetapi bernafsu untuk terpilih kembali. Mereka berusaha keras mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara. Tak peduli melanggar norma dan hukum agama.
Keempat: Isti’dâd[an] li yawm ar-rahîl, yakni menyiapkan bekal untuk menghadapi ‘hari penggiringan’, yakni Hari Kiamat.
Sebagaimana diketahui, kedatangan Hari Kiamat bukanlah sesuatu yang lama. Kedatangannya sangat dekat. Seperti kedatangan hari esok. Allah SWT berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَ لْتَنْظُرْ نَفْسٌ مَا قَدَّمَتْ لِغَدٍ وَ اتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ خَبِيرٌ بِمَا تَعْمَلُونَ
Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kalian kepada Allah dan hendaknya setiap diri memperhatikan apa yang telah dia perbuat untuk hari esok (Hari Kiamat). Bertakwalah kalian kepada Allah. Sungguh Allah Mahaawas atas apa saja yang kalian kerjakan (QS al-Hasyr [59]: 18).
Menurut Imam ath-Thabari dan mufassir lainnya, ‘hari esok’ dalam ayat di atas tidak lain adalah Hari Kiamat. Bekal terbaik untuk menghadapi Hari Kiamat tidak lain adalah takwa.
AlLâhu akbar 3x, wa lilLâhil hamd.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLâh.
Takwa tentu harus diwujudkan tidak hanya dalam ranah individu belaka, tetapi juga pada ranah masyarakat dan negara. Inilah yang boleh disebut sebagai “ketakwaan kolektif”. Ketakwaan kolektif ini hanya mungkin bisa diwujudkan dalam institusi negara yang menerapkan syariah Islam secara kâffah. Institusi negara itu tidak lain adalah Khilafah ala minhaj an-nubuwwah. Khilafah inilah yang pernah dipraktikan secara nyata oleh Khulafaur Rasyidin ridwânulLâh alayhim dulu.
Menurut Imam Ibnu Hajar al-Haitami dalam kitabnya, Ash-Shawâiq al-Muhriqah (hlm. 7), kewajiban menegakkan Khilafah bahkan telah menjadi Ijmak Sahabat. Menurut Imam al-Ghazali dalam kitabnya, Al-Mustashfâ (1/14), Ijmak Sahabat itu tidak bisa di-naskh (dihapuskan/dibatalkan).
Selain wajib, kembalinya Khilafah adalah janji Allah SWT dan kabar gembira Rasulullah saw., sebagaimana sabda beliau:
ثُمّ سَتَكُوْنُ خِلاَفَةًعَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ
Kemudian akan datang kembali masa Khilafah yang mengikuti metode kenabian (HR Ahmad).
Insya Allah, masa yang mulia itu akan segera tiba.
AlLâhu akbar 3x, wa lilLâhil hamd.
Jamaah kaum Muslim rahimakumulLah.
Terakhir, marilah kita sama-sama berdoa kepada Allah SWT. Bermunajat penuh harap kepada-Nya. Semoga Allah SWT mengabulkan doa-doa kita.
بِسْمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
اللَّهُمَّ صَلِّ وَ سَلِّمْ وَ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ وَ عَلَى اَلِهِ وَ أَهْلِ بَيْتِهِ وَ ذُرِّيَاتِهِ وَ أَصْحَابِهِ أَجْمَعِيْنَ، وَ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ.
اللهُمَّ يَا وَلِيَّ المُؤْمِنِينَ، وَنَاصِرَ المُسْتَضْعَفِيْنَ، وَقَاصِمَ الجَبَّارِيْنَ وَالمُجْرِمِينَ.
يَا عَزِيْزُ يَا جَبَّارُ، يَا قَادِرُ يَا مُقْتَدِرُ، يَا مَنْ تَعْلَمُ خَائِنَةَ الأَعْيُنِ وَمَا تُخْفِي الصُّدُورْ.
اللهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ بِأَسْمَائِكَ الحُسْنَى وَصِفَاتِك العُلْيَا،
نَسْأَلُكَ بِكُلِّ اسْمٍ سَمَّيْتَ بِهِ نَفْسَكْ، أَوِ اسْتَأْثَرْتَ بِهِ فِي عِلْمِ الغَيْبِ عِنْدَكْ.
يَا قَيُّومَ السَّمَاوَاتِ وَالأَرْض، يَا ذَا العَرْشِ المَجِيْدِ وَفَعَّالاً لِمَا تُرِيْدْ.
اللّهُمَّ إِنَّا نَعْمَلُ لِإِقَامَةِ الخِلَافَةِ عَلَى مِنْهَاجِ نَبِيَّكَ، اِسْتِعَادَةَ لِسُلْطَانِ دِيْنِكَ، إِذْ عَلِمْنَا أَنَّهُ لَا تَطْبِيْقَ لِدِيْنِكَ وَلِشَرِيْعَتِكَ كَافَةً إِلّاَ بِالسُّلْطَانِ، فَابْتَغَيْنَا السُّلْطَانَ، كَمَا ابْتَغَى ذَلِكَ رَسُوْلُكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، وَطَلَبْنَاهُ مِنْكَ كَمَا طَلَبَهُ مِنْكَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ،إِذْ أَمَرْتَهُ فِي كِتَابِكَ : ((وَقُلْ رَبِّ أَدْخِلْنِي مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِي مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَلْ لِي مِنْ لَدُنْكَ سُلْطَانًا نَصِيرًا)).
اللّهُمَّ إِنَّا نَعْمَلُ لِإِقَامَةِ الخِلَافَةِ عَلَى مِنْهَاجِ نَبِيَّكَ ، مُتَيَقِّنِيْنَ بِوَعْدِكَ الَّذِيْ وَعَدْتَهُ عَلَيْنَا مِنْ إِقَامَتِهَا، حَيْثُ قُلْتَ فِي كِتَابِكَ: : ((وَعَدَ اللَّهُ الَّذِينَ آمَنُوا مِنْكُمْ وَعَمِلُوا الصَّالِحَاتِ لَيَسْتَخْلِفَنَّهُمْ فِي الْأَرْضِ كَمَا اسْتَخْلَفَ الَّذِينَ مِنْ قَبْلِهِمْ))، َوَمُسْتَقْبِلِيْنَ لِبُشْرَى رَسُولِكَ الَّتِي جَزِمَتْ لَنَا عَوْدَتَهَا، حَيْثُ قَالَ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: ((ثُمّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ))..
اللَّهُمَّ إِنَّ أَعْدَاءَ هَذِهِ الدَّعْوَةِ مِنَ الكُفَّارِ وَالمُنَافِقِيْنَ وَحُكّاَمِ بِلَادِ المُسْلِمِينَ عَامَّةً وَ حُكاَّمِ إِندُونِيسِيَا خَاصَّةً، قَدِ اعْتَدُّوا رِسَالَتَكَ جَرِيمَةً وَدَوْلَةَ نَبِيَّكَ جِنَايَةً. اللهُمَّ فَهِمْهُمْ إِنْ جَهِلُوا عَلَى أَنَّهَا هُدًى وَرَحْمَةً، وَذَكِّرْهُمْ إِنْ نَسُوا مِمَّا حَقَّقَتْهَا دَوْلَةُ الإِسْلَامِ لِلْبَشَرِيَّةِ مِنْ سَعَادَةٍ وَرَفَاهِيَةٍ، وَأَهْلِكْهُمْ إِنَ كَانَ سَبَبُ عُدْوَانِهِمْ مُعَانَدَةً وَمُكَابَرَةً.
اللَّهُمّ فَكُنْ لَنَا خَيرَ مُعيِنٍ، يَا ربَّ العَالمَيِنَ، وَكُنْ لَنَا وَليّاً وَنَصِيراً وَحَامِياً وَمُغِيثاً، يَا رَبَّ العَالمَيِن.
اللَّهُمّ لاَ مَنْجَى وَلاَ مَلْجَأَ مِنْكَ إِلاَّ إِلَيكَ، يَا أَرْحَمَ الرَاحِمِينَ.
اللَّهُمّ إِلَيكَ نَشْكُو ضَعْفَ قُوَّتِنَا وَقِلَّةَ حِيْلَتِنَا وَهَوَانِنَا عَلى النَّاسِ، يَا أَرْحمَ الرَّاحِمين، أَنْتَ رَبُّ المُسْتَضْعَفيِنَ، وَأَنْتَ ربُّنا، اللَّهمَّ إِلَى مَنْ تَكِلُناَ؟ إَلَى بَعِيدٍ يَتَجَهَّمُّنَا أَمْ إِلَى عَدُوٍ مَلَّكْتَهُ أَمْرَناَ؟ اللَّهُمّ إِنْ لَمْ يَكُنْ بِكَ عَليَنْاَ غَضَبٌ فَلاَ نُبَالِي، وَلَكِنْ عَافِيَتُكَ هِيَ أَوْسَعُ لَنَا. نَعُوذُ بَنُورِ وَجْهِكَ الّذيْ أَشْرَقَتْ لَه الظُّلُماَتُ، وَصَلُحَ عَلَيهِ أَمْرُ الدُنيَا وَالآخرَةِ مِنْ أَن تُنْزِلَ بِنَا غَضَبَكَ، أَوْ تُحِلَّ عَلَينَا سَخَطَكَ، لَكَ العُتبَى حَتَّى تَرضَى، وَلَا حَولَ وَلاَ قُوَّةَ إِلَّا بِكَ، يَا ربَّ العّالمين وَيَا نَاصِرَ المُسْتَضْعَفِين.
اللَّهُمَّ امْنُنْ عَلَيْنَا بِنَصْرٍ عَزِيْزٍ مُؤَزَّرٍ مِنْ عِنْدِكْ، يُعَزُّ فِيْهِ أَوْلِيَاؤُكْ، وَيُذَلُّ فِيْهِ أَعْدَاؤُكْ، وَيُفْرَحُ المُؤْمِنُونَ بِنَصْرِكْ، وَتُشْفَى صُدُوْرُ قَوْمٍ مُؤْمِنِين،يَا نَاصِرَ المُؤْمِنِين، يَا أَرْحَمَ الرَّاحِمِينَ، يَا ربَّ العَالَمِينَ.
آمين…