Baru-baru ini kita telah melihat gambar-gambar dan video yangmengerikan dari Rohingya, yakni kaum minoritas Muslim Burma yang tinggal di negara bagian Rakhine, yang mengalami penganiayaan yang ekstrem. Terdapat laporan pembunuhan, pemerkosaan, penyiksaan, pemenggalan, dan bahkan orang-orang yang dibakar hidup-diam oleh pasukan militer dan paramiliter Birma. Kekerasan terhadap penduduk Rohingya telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir ini. Tindakan keras baru-baru ini terhadap mereka diduga dipicu sebagai tanggapan atas serangan Arakan Rohingya Salvation Army (ARSA) – Tentara Penyelamatan Rohingya Arakan- terhadap pos-pos keamanan di Rakhine pada tanggal 25 Agustus. Pihak berwenang Birma mengklaim bahwa mereka memerangi para gerilyawan. Namun, ini hanyalah sebuah kedok atas apa yang banyak digambarkan sebagai “genosida” yang terjadi di Negara Bagian Rakhine. Gambar-gambar satelit menunjukkan ratusan bangunan terbakar di sebuah kota yang banyak dihuni oleh Rohingya. Laporan dari tangan pertama tentang penganiayaan dan berusaha melarikan diri tersebut menunjukkan usaha yang gigih dan pasti oleh pihak berwenang Birma untuk mengusir orang-orang Rohingya dari Burma. Sekitar 270.000 orang Rohingya dilaporkan telah melarikan diri ke Bangladesh dalam dua minggu terakhir. Pemerintah Bangladesh sebelumnya telah menolak Rohingya yang melarikan diri dari penganiayaan tersebut dan bahkan membatasi distribusi bantuan kemanusiaan kepada mereka yang sudah berada di Bangladesh dan tinggal di kamp-kamp pengungsian dalam kondisi kumuh.
Perdana Menteri Bangladesh Sheikh Hasina mengatakan dalam sebuah wawancara dengan Al Jazeera bahwa bukan tanggung jawab Bangladesh untuk membantu pengungsi Rohingya. Ratusan ribu Muslim Rohingya berada dalam kondisi mengerikan dalam usaha yang membuat putus asa untuk melarikan diri dari kekerasan yang sedang berlangsung. Rohingya telah menjadi minoritas yang teraniaya di Burma dalam waktu yang lama. Setelah kudeta militer 1962 di Burma, Rohingya diklasifikasikan sebagai “orang asing”. Pada tahun 1982, mereka secara efektif dinyatakan tanpa kewarganegaraan saat undang-undang Kewarganegaraan diberlakukan. Oleh karena itu, banyak hak dasar mereka telah sangat dibatasi, seperti, “hak mereka untuk belajar, bekerja, bepergian, menikah, menjalankan agama dan mendapatkan layanan kesehatan”. Rohingya dipandang sebagai Muslim dari Bangladesh yang telah bermigrasi secara ilegal ke Burma. Biksu Budha Ashin Wirathu diberitakan telah menyebarkan kebencian terhadap Rohingya, seperti menggambarkan Rohingya sebagai ancaman, yang menyiksa dan membunuh umat Budha. Nasionalis garis keras Buddhis menyebarkan ketakutan di antara rakyat Burma dengan menggambarkan Rohingya sebagai orang Muslim dari luar yang mencoba untuk “meng-Islamisasi” Burma dan mengambil alih negara tersebut. Oleh karena itu, terlepas dari penekanan Buddhisme terhadap tindakan non-kekerasan, biksu Buddha telah melakukan kekerasan yang mengerikan terhadap Muslim Rohingya di Birma.
Pemenang Nobel Aung San Suu Kyi telah menyalahkan “teroris” atas tindak kekerasan tersebut dan terus-menerus menutup mata terhadap penderitaan Rohingya. Karena Burma dipuji karena kemajuan ekonomi dan “reformasi demokratisnya”, masyarakat internasional terus menutup mata terhadap penderitaan Rohingya. Mantan Presiden, Thein Sein, yang memimpin junta militer Burma dinominasikan untuk mendapatkan hadiah Nobel Perdamaian bahkan saat Rohingya dianiaya di bawah pemerintahannya. Demikian juga, peraih Nobel Perdamaian Aung San Suu Kyi, seorang pemuja “masyarakat internasional”, sekarang tidak hanya memimpin pemerintah yang bertanggung jawab atas sebagian kekejaman terburuk yang telah kita saksikan akhir-akhir ini, namun juga pada saat yang sama, menolak kejahatan ini sebagai “berita hoax”.[]
Sumber: www.hizb-australia.org (12/9/2017)