Mediaumat.id – Merespons sikap para penguasa Muslim yang tidak peduli terhadap kondisi kaum Muslim Uighur yang ditindas oleh rezim Komunis Cina, Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi mengatakan alih-alih bersikap tegas, penguasa Muslim malah menjalin hubungan erat dengan Cina.
“Alih-alih bersikap tegas, penguasa Muslim malah menjalin hubungan yang lebih erat lagi dengan Cina dengan alasan kepentingan ekonomi,” ungkapnya di Kabar Petang: Pemerintah RI Cuek Terhadap Derita Muslim Uighur? melalui kanal Youtube Khilafah News, Selasa (11/10/2022).
Menurut Farid, sikap seperti ini bukan terjadi pada Indonesia saja tetapi juga terjadi pada negara-negara Arab, termasuk Pakistan dengan alasan itu urusan dalam negeri Cina.
“Padahal perspektif Islam tidak boleh mengatakan ini urusan dalam negeri Cina karena setiap urusan kaum Muslim menjadi urusan kaum Muslim lainnya di mana pun mereka berada. Penindasan yang dilakukan di Suriah, Myanmar tidak bisa dikatakan itu urusan dalam negeri mereka karena Islam satu,” ungkapnya.
Nation State
Farid menilai, penyebab cueknya para penguasa negeri Muslim termasuk pemerintah Indonesia terhadap derita kaum Muslim tidak bisa dilepaskan dengan sistem politik yang membelenggu mereka yaitu nation state (negara bangsa).
“Negara bangsa inilah yang dijadikan legitimasi bahwa ini bukan kepentingan nasional. Masing-masing pihak kemudian berpikir untuk kepentingan mereka sendiri yang justru memperlemah kekuatan kaum Muslim secara keseluruhan,” kritiknya.
Farid yakin kalau ada persatuan Islam, Cina tidak akan berani melakukan penindasan seperti sekarang ini. “Dalam hal ekonomi saja misalkan umat Islam bersatu di seluruh dunia, hubungan ekonomi dengan Cina ini pasti akan mempengaruhi sikap Cina terhadap kaum Muslim Uighur,” ujar Farid mencontohkan.
Pelanggaran Kemanusiaan
Farid menegaskan bahwa apa yang terjadi di Uighur jelas-jelas merupakan bentuk pelanggaran terhadap kemanusiaan.
“Kaum Muslim di Uighur menjadi pemilik tanahnya sendiri yang dulu dikenal dengan nama Turkistan Timur. Kemudian Cina merampas dan mendudukinya. Perlawanan kaum Muslim di sana direspon dengan kekejian luar biasa,” ungkap Farid.
Farid melanjutkan, banyak ulama-ulama yang dibunuh, mereka diperlakukan layaknya tawanan, dicuci otaknya dengan ide-ide komunis, dijauhkan dari Islam, Muslimahnya dipaksa menikah dengan orang komunis Cina, masjid dirobohkan, dimata-matai.
“Banyak pihak mengatakan bahwa Cina telah melakukan pelanggaran hak asasi manusia di Turkistan Timur. Laporan PBB juga menyatakan hal yang sama. Sungguh aneh kalau pemerintah Indonesia diam bahkan tidak menyetujui usulan untuk memperbincangkan ini di PBB,” kesalnya.
Ini, ucap Farid, jelas menunjukkan ketidakpedulian rezim politik Indonesia yang sangat sekuler terhadap kondisi kaum Muslim di berbagai kawasan dunia termasuk muslim di Turkistan Timur.
Menggantang Asap
Menurut Farid, berharap kepada PBB menyelesaikan masalah Muslim Uighur seperti menggantang asap. “Kebijakan yang paling kuat yang sifatnya sanksi itu dikeluarkan Dewan keamanan PBB. Masalahnya Cina termasuk negara yang memiliki hak veto di antara 5 negara lain. Jadi, kalau pun ada kebijakan yang dikeluarkan PBB pasti akan diveto oleh Cina,” yakinnya.
Amerika pun, lanjutnya, yang tampaknya perhatian terhadap kasus ini sesungguhnya hanya demi kepentingan Amerika sendiri yang saat ini berkompetisi dengan Cina.
“Karena itu harapan untuk bisa menyelesaikan masalah Uighur tergantung kepada kaum Muslim sendiri. Tidak bergantung pada PBB maupun OKI,” simpulnya.
Farid menegaskan, umat Islam harus membangun kekuatan politik yang independen dan global, bukan nation state.
“Entitas politik global inilah yang dibutuhkan oleh dunia Islam pada saat sekarang ini yang dalam sejarah disebut daulah khilafah. Entitas ini yang tidak dimilki oleh umat Islam sekarang sehingga tidak bisa mempengaruhi penyelesaian politik internasional termasuk menekan penindasan,” urainya.
Karena itu jelas Farid, kembali kepada khilafah sesungguhnya sangat relevan untuk menyelesaikan persoalan-persoalan politik global umat Islam saat sekarang ini.
“Karena, persoalannya adalah ketiadaan entitas politik, kekuatan politik global yang bisa menekan pihak-pihak lain serta membebaskan negeri-negeri Muslim yang tertindas,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun