Muslim Ucapkan Selamat Natal, Para Ulama Sepakat Hukumnya Haram

Mediaumat.id – Menyoroti polemik boleh tidaknya Muslim mengucapkan selamat hari raya bagi non-Muslim, meski tidak disertai i’tiqad (kepercayaan) sebagaimana orang Nasrani, Guru M. Taufik Nusa Tajau, S.Pd., M.Si. menegaskan, para ulama dahulu sepakat mengatakan haram.

“Para ulama dahulu itu sepakat bahwasanya mengatakannya ini (selamat Natal) kalau memang mereka mengatakan itu tidak ada i’tiqad sebagaimana i’tiqad-nya orang-orang Nasrani, maka ia terjatuh kepada keharaman,” ujarnya dalam Kajian Afkar Islam: Hukum Mengucapkan Natal Menurut Imam Mazhab, Senin (20/12/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel Reborn.

Hal demikian, kata Taufik, bisa dilihat di dalam kitab Ahkam Ahli Dzimmah karya Imam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang menerangkan, mengucapkan selamat terhadap syiar-syiar kekufuran yang khusus untuk orang-orang non-Muslim, maka itu hukumnya haram secara ittifaq (kesepakatan).

Namun dengan catatan. “Kalau dia meyakini mereka itu juga selamat juga betul-betul selamat di akhirat, itu sudah bukan hanya haram, lebih jatuh kepada kekufuran,” jelasnya.

Kata Ibnu Qayyim, lanjut Taufik, kedudukan mengatakan itu sama dengan kedudukan melakukan selamat kepada seseorang yang sedang sujud di depan salib. “Bahkan itu lebih besar dosanya di sisi Allah dan itu murkanya Allah lebih besar lagi daripada mengucapkan selamat kepada orang yang sekadar minum khamr dan membunuh, berzina,” tambahnya.

Sedangkan pendapat ulama-ulama mazhab, Taufik menjelaskan bahwa di dalam kitab al-Madkhal, karya Ibnu al-Hajj al-Maliki, menerangkan bahwasanya tak halal menjual sesuatu kepada orang-orang Nasrani dalam rangka rangka kemaslahatan hari raya mereka.

“Ini (malah) bukan hanya haram ikut-ikutan. Tetapi ini menjual sesuatu, (sementara) kita tahu ini untuk perayaan itu. Maka menurut Ibnu al-Hajj al-Maliki itu tidak halal,” terangnya.

Taufik menambahkan, ketidakbolehan menolong sesama terkait dengan hari raya mereka pun juga menjadi perhatian khusus yang harus dihindari berkenaan dengan keharamannya.

Sia-Sia

Beda lagi di kalangan Mazhab Hanafiah. Di dalam kitab al-Bahrur Raiq, Syarah kanzul Daqaiq dikatakan, “Andai seseorang telah beribadah selama 50 tahun sekalipun, niscaya tak akan diterima selama ingin mengagungkan hari tersebut, maka dia telah kafir dan sia-sia amalnya yang 50 tahun ibadah itu.” ungkapnya.

Sedangkan kata ulama di kalangan Mazhab Syafi’i, mazhab paling banyak dianut Muslim di Indonesia, Imam ad-Damiri, penulis kitab An-Najmul Wahhaj fi Syarhil Minhaj mengatakan, penguasa menghukum ta’zir pelakunya.

“Dihukum ta’zir. Jadi bukan hanya sekadar ini haram, tetapi hendaknya penguasa itu me-ta’zir, menghukum siapa saja yang dia melakukan hari raya, bersepakat dengan orang-orang kafir di dalam hari raya mereka,” jelasnya.

Begitu juga seperti halnya di dalam kitab Al-Fatawa al-Fiqhiyyah al-Kubra karya Imam Ibnu Hajar al-Haitami, fuqaha mazhab Syafi’i, mengatakan, hal itu termasuk di antara bid’ah yang paling buruk. “Apa itu? Kaum Muslim ikut-ikutan dengan orang Nasrani di dalam hari raya kaum Nasrani itu,” ungkapnya.

“Dengan menyerupai mereka, dengan makanan mereka, hadiah kepada mereka dan menerima hadiah. Intinya, ikut merayakannya itulah, ini kata beliau bid’ah paling buruk. Haram,” sambungnya.

Paling Keras

“Kalau Hanabillah ini paling keras lagi,” kata Taufik sembari menjelaskan bahwa ulama di kalangan mazhab Hambali justru mengharamkan mengucapkan selamat maupun berbela sungkawa.

Hal itu ia kutip dari kitab Kasyful Qina’ yang pengecualian, apabila untuk mengunjungi kafir dzimmi, diharapkan keislamannya. “Dia menawarkan Islam kepada orang yang dikunjungi itu maka boleh,” terangnya.

Sebagaimana ketika Nabi SAW pernah mengunjungi Yahudi yang biasa berbuat baik pada beliau serta menawarkan Islam. “Segala puji bagi Allah yang telah menyelamatkan Yahudi tadi dari api neraka,” demikian doa Rasul setelah keluar dari rumah Yahudi dimaksud.

Sehingga Islam memang membolehkan mengunjungi non-Muslim. Namun dengan catatan, dalam rangka dakwah Islam.

Masa Sahabat

Di masa sahabat, menurut Taufik yang mengutip Tafsir ad-Durrul Mantsur mengatakan, Khalifah Umar bin Khattab memerintahkan agar menjauhi musuh-musuh Allah pada hari-hari raya mereka. “Kurang jelas apa lagi Sayyidina Umar!?” tegas Taufik.

Namun, dari sikap Umar yang demikian, apakah lantas kemudian beliau benci kepada mereka? “Enggak juga. Itu bentuk kasih sayang sebetulnya,” jawab Taufik sebagaimana diriwayatkan oleh Abdurrazaq, Ibnu Mundzir dan juga Al-Hakim di dalam Tafsir ad-Durrul Mantsur yang mengatakan, Umar pernah menangis melihat seorang rahib dengan kondisi yang tampak menderita karena konsisten menjalani agamanya. Zuhud kalau dalam bahasa Islam.

“Aku kasihan akan kerja keras dia dan sungguh-sungguhnya dia beribadah, tetapi nanti di nerakanya Allah SWT,” demikian kata Umar seperti dikutip Taufik yang menekankan kembali bahwa seharusnya seorang Muslim memang harus demikian. Tidak lantas kemudian ikut bergembira dengan mengucapkan selamat Natal.

Berikutnya pendapat ulama yang eranya dekat dengan saat ini. Sebutlah Syeikh Ali Mahfudz al-Azhari diantara kibarul ‘ulama al-Azhar atau grand syekhnya al-Azhar yang wafat tahun 1942.

Beliau, kata Taufik, sebelum banyak gembar-gembor moderasi dan toleransi seperti sekarang, berpendapat bahwa di antara bencana atau bala yang menimpa kaum Muslim dan tersebar luas, baik kepada orang awam maupun alim disebabkan oleh musyarakah (bersekutu) bersama dengan ahlul kitab merayakan banyak hari raya non-Muslim.

Padahal sudah banyak dipahami, seperti di dalam Shahih Muslim, Rasulullah SAW membenci sikap menyamakan dengan ahli kitab. Dari urusan pakaian, jenggot ataupun kumis.

Sehingga, masih dalam redaksi Shahih Muslim, orang-orang Yahudi dimaksud waktu itu menyebut bahwa seorang Muhammad tidak akan mau meninggalkan satu pun urusan agama mereka kecuali dia (Muhammad) menyelisihinya.

Berikutnya, lanjut Taufik, di kitab Al-Ibda’ fi Madharril Ibtida’ juga dikatakan, siapa saja yang menginginkan untuk selamat dalam hal agama dan kehormatannya, hendaklah dia mengurung diri di rumahnya pada hari hari raya non-Muslim.

Tak hanya itu, tambah Taufik, tiap-tiap keluarga Muslim berikut siapa pun yang berada di bawah wewenangnya dilarang keluar pada hari itu. Agar tidak tampak bersekutu dengan orang-orang Yahudi dan Nasrani dalam hari raya mereka.

Bahkan untuk sekadar naik kapal bersama, para ulama dahulu khawatir Allah SWT akan mencatat sebagai amalan ikut meramaikan hari raya orang-orang non-Muslim.

Boleh, Asalkan…

Sementara untuk alasan para ulama sekarang yang justru membolehkan kaum Muslim mengucapkan selamat Natal (hari lahir), Taufik mengatakan tidak mengapa. Asalkan niatnya ditujukan kepada Isa al-Masih sebagai nabi, bukan anak Tuhan.

Sebagaimana di dalam Al-Qur’an yang artinya: ‘Dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku, pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali’ (QS Maryam ayat 33).

Namun, terkait kebolehan itu, para ulama empat mazhab bukannya tidak mengetahui ayat tersebut. Tetapi memang konteksnya berbeda. Karena melihat i’tiqad yang berbeda, dalam hal ini kepada umat Nasrani, maka mengucapkannya pun menjadi haram.

Alasan berikutnya yaitu menggunakan dalih bahwa Allah SWT suka kepada orang yang adil. “Kalau mereka ucapkan selamat Hari Raya Fitri kepada kita, maka kita ini wajib juga mengucapkan selamat Natal kepada mereka,” demikian kiranya.

Berkenaan itu, terminologi adil harus digarisbawahi. Bahwa, jelas Taufik, kaum Nasrani memang menurut mereka tidak mengapa mengucapkan selamat Idul Fitri, namun mengucapkan selamat Natal bagi umat Islam termasuk batil.

Terlebih, ayat Al-Qur’an berkenaan berlaku adil dimaksud menurut Tafsir Ibnu Katsir, maknanya kalau seorang Muslim mengucapkan salam kepada sesama, maka jawablah dengan salam yang lebih baik atau semisalnya.

“Misalnya, orang mengatakan assalamualaikum. Maka kita, dalam ayat ini disuruh menjawab lebih baik. Waalaikumsalam warahmatullahi. Begitu maksudnya itu, bukan (kepada) non-Muslim,” ucap Taufik.

Radikal?

Apalagi alasan karena darurat, terpaksa atau kalau tidak ikutan, nanti dikatakan radikal dsb. “Nabi itu bukan hanya dituduh radikal. Tetapi beliau itu dituduh gila, tukang sihir dsb. Tetapi itu tidak menjadikan alasan beliau itu untuk menyama-nyamakan dengan orang-orang yang non-Muslim saat itu,” beber Taufik.

Bahkan perasaan tidak enak dalam hati saja, Nabi Muhammad SAW pernah ditegur oleh Allah SWT ketika beliau berniat akan mengusap berhala kaum kafir Quraisy sebelum mengusap Hajar Aswad atas permintaan kaum pagan tersebut.

Sebagaimana Firman Allah SWT di dalam Al-Qur’an Surat al-Isra ayat 73 yang artinya: ‘Dan sesungguhnya mereka hampir memalingkan kamu dari apa yang telah Kami wahyukan kepadamu, agar kamu membuat yang lain secara bohong terhadap Kami; dan kalau sudah begitu tentulah mereka mengambil kamu jadi sahabat yang setia’.

Dengan demikian, Taufik mewanti-wanti kepada seluruh kaum Muslim agar terkait urusan akidah senantiasa hati-hati dalam melangkah. Yang pada akhirnya, kita sendirilah yang bertanggung jawab di akhir kelak.

“Sungguh, kalian benar-benar akan mengikuti kebiasaan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta, sehingga sekiranya mereka masuk ke dalam lubang biawak sekalipun kalian pasti akan mengikuti mereka.” Kami bertanya; ‘Wahai Rasulullah, apakah mereka itu kaum Yahudi dan Nasrani?’ Beliau menjawab: ‘Siapa lagi kalau bukan mereka?’ (HR Musim),” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini: