Sebuah kapal yang membawa ratusan pengungsi Rohingya baru-baru ini diusir ari Malaysia, sebab pemerintah khawatir terkait pandemi virus corona.
Puluhan orang dari mereka meninggal dalam perjalanan, dan diyakini bahwa ratusan orang masih terjebak di tengah laut (www.bbc.com, 26/4/2020).
Pemerintah Bangladesh menolak untuk mengizinkan sekitar 500 pengungsi Rohingya yang terdampar di atas dua kapal pukat di Teluk Benggala untuk merapat pantai. Menteri Luar Negeri AK Abdul Momen mengatakan kepada Al Jazeera pada hari Sabtu bahwa para pengungsi Rohingya, yang diyakini telah melaut selama berminggu-minggu, “bukan tanggung jawab Bangladesh”.
Kedua kapal pukat—yang diperkirakan membawa sekitar 500 wanita, pria dan anak-anak Rohingya—itu tengah berada di Teluk Benggala setelah ditolak oleh Malaysia, yang telah memberlakukan pembatasan pada semua kapal sehubungan dengan pandemi virus corona (www.aljazeera.com, 25/4/2020).
Dunia telah menyaksikan penderitaan kaum Muslim Rohingya yang tertindas di Myanmar selama beberapa tahun terakhir, dengan meningkatnya permusuhan terhadap mereka, sementara para pemimpin kawasan itu menolak tanggung jawab untuk membantu mereka. Situasi mengerikan mereka kadang-kadang mendapat perhatian di media arus utama, tetapi lebih sering diabaikan.
Sekarang setelah virus corona menjadi topik utama pembicaraan, dan menyalahkan orang asing telah menjadi tren populer bagi para penguasa yang gagal ini, maka mereka menggunakannya sebagai alasan untuk membenarkan perlakuan tidak berperikemanusiaan mereka terhadap para migran yang tengah putus asa dalam penderitaannya.
Sungguh sangat memalukan bahwa pemerintah di negara Muslim harus menolak masuknya migran yang putus asa, terutama perempuan Muslim dan anak-anaknya, lebih memilih mereka mati di laut daripada ditawari keselamatan di darat. Alasan mereka akan menyebarkan virus tidak lebih dari “the red herring” atau ikan haring merah, yakni kesesatan logika yang mengalihkan perbincangan dari permasalahan utama, karena tidak sulit untuk mengkarantina para pendatang baru itu.
Tidak diragukan lagi bahwa tumbuhnya penyakit nasionalisme di Eropa dan Amerika, telah mendorong pemerintah antek dan boneka yang lemah di negeri-negeri kaum Muslim untuk mengikuti jejak tuannya. Inggris, Italia, Yunani, dan Amerika tidak perlu alasan mencegah penyebaran penyakit untuk menolak masuknya migran di kapal, di mana keegoisan dan keengganan untuk berbagi sumber daya mereka dengan “orang lain” selalu menjadi sentimen populer bagi para politisi untuk memanfaatkannya.
Di sisi lain, kaum Muslim secara tradisional tidak dibagi di sepanjang perbatasan yang sewenang-wenang. Mereka juga tidak melihat orang-orang dari negeri-negeri lain sebagai ancaman, khususnya terhadap sumber daya mereka. Namun, sejak penjajah datang untuk membagi negeri-negeri kami, memaksakan identitas nasionalis mereka kepada kami, dan memiskinkan rakyat kami, maka para pemimpin yang mereka tunjuk untuk memerintah kami, mengadopsi dan mempromosikan ide-ide yang sama sekali tidak Islami, serta membiarkan kami tetap terbagi demi melayani kepentingan para colonial kaum kafir Barat. [Yahya Nisbet]
Sumber: hizb-ut-tahrir.info, 30/4/2020.