Kondisi yang mencapai tahap kritis sebagai akibat munculnya Islamofobia di AS dan Eropa yang berakar pada kebencian historis terhadap Islam dan Muslim
Kondisi menyedihkan umat Islam yang terjadi di berbagai kawasan dunia perhatian Prof Hamid Dabashi, dalam tulisannya di Aljazeera.com. Menurutnya, dunia Islam sekarang ini mengalami apa yang dia sebut sebagai muslim-cleansing-global-pandemic, pendemi global pembantantaian terhadap muslim. Hal itu tampak dari apa yang terjadi di Cina, dimana umat Islam ditempatkan di kamp-kamp konsentrasi, di Myanmar mereka dibantai secara massal, di India mereka menjadi sasaran pembunuhan terorganisir, di Palestina, umat Islam bersama dengan orang-orang Kristen Palestina menjadi korban kekejian Israel, mereka diserang dan dibunuh setiap hari. Hal yang sama terjadi di Eropa dan Amerika Serikat. Mereka menjadi sasaran atas meningkatnya demonisasi dan penganiayaan.
Sementara, nasib umat Islam di negeri-negeri mereka sendiri pun suram. Dari satu ujung dunia Muslim ke ujung dunia yang lain, umat Islam – khususnya di Iran, Suriah, Mesir, dan Arab Saudi – hidup di bawah rezim tirani, diktator yang kejam, junta militer yang kejam, dengan kebebasan sipil yang paling dasar dan HAM dicabut. Di Yaman, mereka dibantai dan menjadi sasaran kelaparan buatan yang dilakukan koalisi Saudi. Jika ada seorang wartawan yang berani mengangkat suaranya, dia akan menjadi korban pembunuhan di konsulat negaranya sendiri.
“Jika pembersihan etnis terjadi di Cina dan tidak ada yang bisa mendengarnya, apakah itu ada suaranya?” tanya Josh Rogin, dalam suatu tulisan bernada pedih di Washington Post. “Itulah jeritan jutaan Muslim di dalam negeri Cina ketika mereka menyaksikan pemerintah Cina memperluas jaringan kamp-kamp politik dan pelanggaran HAM secara sistematis yang dirancang untuk membasmi agama dan budaya masyarakat mereka.”
Jumlahnya sangat mengejutkan, PBB melaporkan bahwa lebih dari satu juta warga Uighur ditahan di “pusat kontra-ekstremisme” dan setidaknya dua juta berada di “kamp pendidikan ulang”.
Dalam laporan lain, “Muslim dipaksa untuk minum alkohol dan makan daging babi di kamp-kamp ‘re-edukasi’ Cina.” Ini bukan hanya laporan jurnalistik. “Para diplomat Inggris yang mengunjungi Xinjiang,” kata Menteri Luar Negeri Inggris, Jeremy Hunt, kepada parlemen, “[kami] telah mengkonfirmasi bahwa laporan kamp-kamp interniran massal untuk Muslim Uighur secara luas “adalah benar adanya.”
Hamid Dabashi pun menyoroti genosida di Myanmar. Pembantaian di Rohingya yang berpenduduk mayoritas Muslim di Myanmar yang dilakukan di bawah pengawasan ketat Peraih Nobel Aung San Suu Kyi telah membuat dunia merasa ngeri, tetapi itu terus terjadi selama bertahun-tahun hingga sekarang.
Bagaimana dengan India? Akar gerombolan kekerasan Hindu yang menyerang Muslim di India tentu saja sama usianya dengan hasutan yang dilakukan Inggris akan kekerasan komunal untuk mempertahankan pemerintahan mereka sendiri. Daftar pembantaian Muslim yang sistematis itu mengerikan: Dari tahun 1964 di Kolkata dan 1983 di Nellie lalu tahun 1987 di Hashimpura hingga pembantaian kaum Muslim Gujarat pada tahun 2002, di mana Narendra Modi, yang sekarang menjadi perdana menteri India, dituduh yang menjadi otak kekerasan itu.
Sekarang perhatikan Palestina. Muslim dan Kristen Palestina sama-sama telah menjadi sasaran pembersihan etnis secara sistematis di tanah air mereka sendiri yang sekarang berada di bawah bekas kantong kolonial Eropa oleh pendudukan Israel. Putra Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu baru-baru ini mengatakan dia “lebih suka jika semua Muslim meninggalkan tanah Israel”.
Sementara di Eropa dan Amerika, Xenophobia (anti orang asing) berakar dari supremasi kulit putih rasis di AS, yang merupakan pendukung kolonial para pemukim Israel. Supremasi rasis menghasilkan dua invasi besar dan banyak lagi invasi yang dipimpin AS. Korbannya, di negara-negara Muslim, ratusan ribu orang Muslim dibantai. Ketika orang Amerika secara bebas dan terbuka memilih Donald Trump, dia justru melakukan kampanye teror dan intimidasi yang paling dibenci terhadap Muslim di Amerika Serikat. Kebijakan larangan terhadap kaum Muslim yang terkenal kejam, yang dibenarkan oleh Mahkamah Agung AS, adalah perwujudan hukum dari perlakuan kasar terhadap kaum Muslim ini.
Lalu Eropa, kebencian historis terhadap umat Islam yang berakar pada pemahaman Kristen versi mereka kini telah mencapai epidemi di kalangan gerakan-gerakan rasis, xenofobia, dan proto-fasis. Alasan-alasan rasis tampak menguat dalam krisis Brexit dan di belahan Eropa lainnya. Juga di Australia, Perdana Menteri Scott Morrison baru saja mengakui Yerusalem barat sebagai ibukota Israel. Hal ini disambut kaum rasis anti-Muslim yang menikmati dukungan luas di kalangan nasionalis xenophobia. Dia berada di persekutuan yang baik dengan anggota parlemen Australia seperti Pauline Hanson. Sosok rasis yang percaya negaranya akan “dibanjiri oleh Muslim.”[]Riza
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 234