Muslim AS Boikot Hilton Soal Masjid Uighur, ImuNe: Patut Diapresiasi

 Muslim AS Boikot Hilton Soal Masjid Uighur, ImuNe: Patut Diapresiasi

Mediaumat.news – Seruan boikot sejumlah organisasi Muslim di Amerika Serikat terhadap Hilton yang ingin membangun hotel di lokasi masjid Uighur di Xinjiang yang dihancurkan pemerintah Cina, dinilai Direktur Institute Muslimah Negarawan (IMuNe) Dr. Fika Komara sebagai bentuk persaudaraan Muslim yang harus diapresiasi. “Tentu ini adalah ekspresi positif dari bentuk persaudaraan Muslim yang harus diapresiasi,” tuturnya kepada Mediaumat.news, Senin (20/9/2021).

Menurutnya, kepedulian Dewan Hubungan Amerika-Islam (CAIR) sebagai satu organisasi Muslim di Amerika terhadap saudaranya di Xinjiang adalah cerminan ikatan akidah Islam yang tidak bisa dibatasi oleh jarak teritorial dan pagar-pagar kebangsaan. “Umat Muhammad berbagi kesamaan identitas ini, identitas dasar yang tidak bisa dihancurkan oleh siapa pun. Dan ini menunjukkan umat Islam masih hidup, keimanan mereka masih produktif merespons berbagai penindasan,” ujarnya.

Boikot Kapatalisme

Fika menilai pada level berikutnya, ekspresi kepedulian sesama Muslim harus dipandu oleh kesadaran politik Islam, karena tidak cukup memboikot Hilton sebagai jaringan usaha perhotelan swasta milik pengusaha AS, yang berencana membangun hotel di atas lahan masjid Uighur yang kemudian dihancurkan pemerintah Cina menggunakan buldoser pada 2018 lalu. “Apalagi juru bicara Hilton mengatakan bahwa mereka tak terlibat dalam pemilihan lokasi hotel tersebut,” ujarnya.

Menurutnya, investasi Hilton di Xinjiang, tanah kaum Muslim sebenarnya menunjukkan bahwa Cina dan AS sama-sama bergandengan tangan menjajah Muslim Uighur dengan kekuatan kapitalisme mereka. “Poin ini harus disadari lebih lanjut oleh umat Islam seluruh dunia, sehingga tidak cukup dengan boikot Hilton semata, karena yang perlu diboikot adalah sistem kapitalisme yang menjajah dunia Islam,” tegasnya.

Ironi Penguasa Muslim

Fika menyayangkan, di saat umat Islam bereaksi justru para penguasa negeri Muslim diam. “Di sini sebenarnya letak ironinya, ketika umat bereaksi, penguasanya justru bungkam menjadi setan bisu,” ungkapnya.

Ia melihat pola ini terjadi di mana-mana. Pada kasus Palestina, Rohingya, Suriah, dan sebagainya, yakni ketika umat telah menunjukkan reaksi keras sebagai bentuk solidaritas, justru penguasanya tidak bisa mengimbangi kesadaran ini dengan respons yang proporsional. “Kebanyakan rezim dunia Islam mencukupkan diri dengan langkah diplomasi lemah yang sifatnya basa-basi, menggantungkan upaya setengah hati pada lembaga multilateral yang tak bergigi dan menunjukkan sikap pasif hingga kemarahan umat reda ditelan harapan palsu,” ujarnya.

Padahal kekuatan sebuah negara, menurut Fika, tentu berbeda jika berani berekspresi dengan benar sesuai panduan Islam. “Negara memiliki kekuatan dan sumber daya fisik yang memadai seperti kekuatan ekonomi dan militer yang bisa digunakan menghadapi Cina dan kapitalisme, demi membebaskan Muslim Uighur dari penindasan rezim predator Cina yang telah melumuri tangannya dengan darah Muslim Uighur,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *