Mediaumat.id – Direktur Forum on Islamic World Studies (FIWS) Farid Wadjdi menilai, munculnya persoalan L68T tidak bisa lepas dari keimanan kaum Muslim.
“Kalau pertanyaannya, Kenapa muncul persoalan L68T sekarang ini di tengah-tengah umat Islam? Ini tidak bisa dilepaskan dari keimanan kaum Muslim,” tuturnya dalam acara Dialogika Peradaban Islam: Barat Intervensi Indonesia Soal L68T, Sabtu (28/5/2022) melalui kanal YouTube Peradaban Islam.
Menurutnya, perspektif terkait L68T ini seharusnya perspektif keimanan. Kalau perspektifnya keimanan maka ketika seorang Muslim dan mengaku sebagai seorang Muslim konsekuensinya harus terikat kepada aturan-aturan Allah SWT, terikat kepada syariat Islam. “Ini suatu hal yang sangat mendasar,” tukasnya.
“Keterikatan kita kepada syariat Islam itu sesungguhnya merupakan konsekuensi dari keimanan kita,” imbuhnya dan menjelaskan dalam Al-Quran banyak sekali ayat-ayat yang mengaitkan keimanan ini dengan penerimaan secara tulus, secara ikhlas, totalitas terhadap syariat Islam.
Ia memberikan contoh, firman Allah dalam surah al-Maidah yang menjelaskan, barang siapa yang tidak berhukum dengan apa-apa yang diturunkan Allah maka dia adalah kafir. Berikutnya disebut fasik, zalim.
Dalam surah lain (An-Nur) dikatakan, maka sesungguhnya perkataan seorang mukmin kalau dia diseru untuk berhukum pada hukum Allah seharusnya, sami’na wa atha’na. Ya Allah kami mendengar ya Allah kami taat.
Kalau keimanan ini tertanam kuat, kata Farid, dia tidak akan mengatakan persoalan L68T itu persoalan kontroversial. Karena homoseksual yang salah satu aktivitasnya liwath (hubungan antara laki-laki dengan laki-laki melalui duburnya) di dalam Al-Quran (surah al-Araf 80-81) dikatakan al-fâhisyah (perbuatan keji).
“Jadi Allah SWT sendiri yang menyebutkan bahwa perbuatan kaum Nabi Luth itu adalah perbuatan al-fâhisyah. Bahkan disebutkan yang belum pernah dikerjakan di dunia ini sebelumnya. Ini menunjukkan begitu kejinya perbuatan ini,” tegas Farid.
Kalau Allah SWT sendiri telah mengatakan bahwa ini adalah perbuatan yang keji, lanjutnya, maka seharusnya umat Islam samina wa athana. “Ini prinsip penting,” tukasnya.
“Maka tidak ada lagi pembelaan bahwa ini seolah-olah hak asasi manusia, pembelaan bahwa ini adalah penghargaan terhadap manusia. Apalagi mengatakan ini bukan urusan kita,” tambahnya.
Menurutnya, setiap perbuatan keji yang ada di depan kita itu urusan kita, terlebih di negerinya kaum Muslim. “Kita tidak boleh membiarkan, apalagi disebarluaskan, dipropagandakan secara sistematis yang itu telah terbukti menularkan perbuatan keji bukan hanya ke satu dua orang tapi ke banyak orang. Bagaimana mungkin kita mengatakan ini bukan urusan kita,” terangnya.
“Dalam Islam persoalan liwath ini masuk dalam persoalan Nizâm al-Uqûbât (sistem sanksi),” tandasnya.
Kalau kita bicara falsafah al-uqûbât di dalam Islam lanjut Farid, ada beberapa poin. Pertama, yang disebut dengan jarimah (kriminal) adalah sesuatu yang bertentangan dengan syariah Islam, perkara yang diharamkan, dan perkara jarimah tidaklah mungkin muncul karena fitrah manusia atau faktor gen , dan dia juga bukan penyakit yang ditimpakan pada manusia.
“Liwath adalah perbuatan kriminal. Perbuatan kriminal karena diharamkan Allah SWT, kalau ada yang melanggar akan diberikan sanksi oleh Allah SWT baik sanksi di dunia ataupun sanksi di akhirat. Maka perbuatan ini mustahil muncul karena fitrah manusia,” paparnya.
“Karena akan bertentangan dengan prinsip kasih sayang Allah SWT. Bagaimana mungkin ada orang yang berbuat maksiat kemudian dikatakan bahwa itu muncul karena fitrahnya? Perbuatan keji itu perbuatan yang bisa dipilih manusia, bukan dipaksakan. Artinya dia bisa melakukan bisa juga tidak,” tambahnya.
Sebagaimana zina. Zina itu bukan muncul dari gen manusia. Maka tidak bisa dikatakan kenapa anda berzina? Ini Fitrah saya, ini sudah gen saya. “Nanti koruptor juga akan mengatakan seperti itu gen saya gen koruptor,” kelakarnya dan menegaskan, ini luar biasa. Kalau seperti itu melegalkan kejahatan.
“Maka kalau Allah menghukum orang yang melakukan suatu perbuatan maksiat artinya perbuatan itu adalah perbuatan yang berada dalam pilihan manusia,” imbuhnya.
Kedua, kalau perbuatan itu melanggar syariat Islam bahkan disebut keji maka dia termasuk dalam perkara kriminal yang akan mendapatkan sanksi. Manusia tidak boleh menganggap itu suatu hal yang biasa.
“Sanksinya kalau di dunia akan dilakukan oleh seorang imam/khalifah, atau dilakukan melalui proses pengadilan. Kalau di akhirat hukuman azab ini akan ditimpakan secara pedih oleh Allah SWT kepada pelakunya,” jelasnya.
Ini dua prinsip saat umat Islam menyikapi homoseksual. Rasulullah menegaskan bahwa Allah telah melaknat siapa saja yang melakukan perbuatan kaumnya Nabi Luth. Rasulullah mengulang sabdanya ini tiga kali menunjukkan penekanan.
Dalam hadis lain, jelas Farid, Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa yang menemukan atau mengetahui ada yang melakukan perbuatan liwath sebagaimana yang dilakukan oleh kaum Luth maka bunuhlah keduanya, baik itu fa’il (subyek) maupun maf’ul (obyek)-nya.”
“Jadi ini prinsip paling mendasar kita ketika kita menyikapi fenomena L68T yaitu harus dikaitkan dengan keimanan. Kalau keimanan ini sudah enggak ada lagi atau sudah terkikis maka muncullah pernyataan-pernyataan yang tadi disebut kontroversial yang sebenarnya tidak kontroversial,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun