Mediaumat.id – Direktur Mutiara Umat Institute (MUM) Ika Mawarningtyas menyatakan pemerintah terkesan lepas tanggung jawab dalam menjamin kesehatan rakyatnya.
“Pemerintah terkesan lepas tanggung jawab dalam menjamin hak sehat rakyat,” tuturnya menyikapi kontroversi RUU Kesehatan yang baru disahkan menjadi undang-undang, Ahad (16/7/2023) dalam Obrolan Sore Buruh: UU Kesehatan Radikal Liberal? di YouTube Aliansi Buruh Indonesia (ABI).
Ia mengatakan, dalam UU Kesehatan tersebut, kesehatan seolah-olah telah masuk ke industri kapitalisasi, kesehatan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi diserahkan ke pasar.
“Wajar jika ada anggapan RUU Kesehatan hadir sebagai pesanan asing dan kapitalis karena RUU tersebut adalah konsekuensi dari GATS (General Agreement on Trade in Services) dari WTO (World Trade Organization),” sebutnya.
Menurut Ika, GATS memaksa negara yang tergabung dalam WTO untuk meliberalisasi dan melakukan kapitalisasi sektor jasa, contohnya kesehatan, pendidikan, dan lainnya.
Ia menegaskan, betapa jahatnya jika sektor kesehatan diliberalisasi. “Karena negara hanya dijadikan regulator pemulus kepentingan asing untuk mencengkeram sebuah negeri ini,” tegasnya.
Menurutnya, liberalisasi kesehatan maupun pendidikan adalah bukti nyata Barat (asing) ingin sumber daya manusia yang ada di negeri ini makin liberal, mudah dieksploitasi mengikuti kemauan dan keserakahan kapitalis global.
Kekhawatiran lain yang sempat Ika sampaikan adalah potensi UU Kesehatan yang bisa mengkriminalisasi tenaga medis. Menurutnya, hal itu menjadi penyebab yang menihilkan hak sehat untuk rakyat dan merugikan tenaga medis.
Selain itu, katanya, ada potensi memudahkan tenaga medis asing masuk ke negeri ini. “Akhirnya kedaulatan negara berpotensi menjadi lemah. Karena pemerintah, memberikan kemudahan masuknya dokter asing untuk bersaing dengan dokter dalam negeri ini,” kritiknya.
Ia menyayangkan sikap pemerintah yang tidak memilih untuk menciptakan tenaga medis yang bisa diandalkan. “Negara tidak mampu menciptakan dokter andalan dan adanya ketergantungan kesehatan terhadap pihak asing,” katanya.
Beberapa Kekhawatiran
Ia menyampaikan beberapa poin kekhawatirannya terkait UU Kesehatan yang telah disahkan. Pertama, berpotensi meliberalisasi sektor kesehatan dalam mencetak dokter spesialis. Kurangnya dokter spesialis dalam menangani kasus kesehatan adalah akibat mahalnya pendidikan kedokteran spesialis hari ini.
Tetapi, jelasnya, solusinya bukan dengan pihak rumah sakit mencetak sendiri dokter spesialis dengan mengajak kerja sama universitas, tetapi dengan memberikan keringanan biaya pendidikan kesehatan kepada generasi yang mampu hari ini.
“Jika benar, rumah sakit diberi wewenang itu, betapa rumah sakit telah berubah menjadi industri kesehatan,” sesal Ika.
Kedua, kapitalisasi kesehatan. Kesehatan tidak lagi menjadi tanggung jawab negara, tetapi diserahkan ke pasar. Dokter asing bisa masuk berdasarkan pesanan rumah sakit internasional.
Menurut Ika, asing bisa membangun rumah sakit dengan standar internasional dan mencari dokter dari luar juga, hal itu makin mudah karena dokter asing tidak ikut ujian persamaan lagi.
“Siapa yang bisa bayar kesehatan, merekalah yang akan mendapatkan pelayanan kesehatan yang berkualitas dan baik,” prediksi Ika.
Ketiga, diskriminasi pelayanan kesehatan nyata ketika UU ini disahkan. Seharusnya pemerintah menyelenggarakan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau untuk seluruh umat.
“Bukan kesehatan yang berkelas berdasarkan kemampuan pembayaran pasien,” tegasnya.
Karena, lanjut Ika, menjaga nyawa adalah kewajiban negara. Jika kesehatan dijadikan lahan bisnis, maka akan berpotensi terjadi diskriminasi pelayanan kesehatan.
Keempat, melemahkan keberadaan dokter dalam negeri. Seharusnya pemerintah meningkatkan kualitas dokter yang ada di dalam negeri. Bukan memberikan ruang dokter asing masuk untuk bersaing dengan dokter dalam negeri.
Jika dokter asing banyak yang masuk ke negeri ini, beber Ika, hal itu justru menunjukkan lemahnya negara yang tidak mampu menciptakan dokter andalan dan adanya ketergantungan kesehatan terhadap pihak asing.
“Ini sejatinya hal yang patut disesali,” tutupnya.[] Titin Hanggasari