Multaqa Ulama Aswaja Ciomas: Buktikan Cinta Nabi Dengan Tegakkan Khilafah
22 Desember 2019, Dari Bogor bagian Barat, Majelis Taklim al-Mubarokah Ciherang Cutak menggelar acara perdana Multaqa Ulama Aswaja Ciomas, dengan mengangkat tema “Cinta Nabi Cinta Syariah”. Alhamdulillah para asatidz hadir dari berbagai pelosok, diantaranya dari Ciherang, Cilubang, Cipayung, Babakan, Cibinong, Ciapus, Sukamakmur, Pagelaran dan Pasirkuda. Kedatangan peserta disambut dengan iringan hadroh dari para santri.
Acara Multaqa ini dipandu oleh MC Ustadz Ashary, dan dibuka dengan pembacaan Kalamullah Surah Al-Baqoroh ayat 30-32 oleh akhina Miftahus Salam. Dilanjutkan dengan pembacaan shalawat Nabi oleh Santri Aremzik yang begitu menggugah para Ulama untuk turut melantunkan shalawat. Ustadz Ilyas Effendi al-Ghazali sebagai shohibul makan, menyampaikan sambutan pembuka.
Beliau menyampaikan rasa hormat dan terima kasih telah dikunjungi oleh para Ulama untuk datang ke Majelis beliau. Masih dengan semangat Maulid Nabi, maka acara ini akan membahas bahwa Cinta kepada Nabi harus dibuktikan dengan mencintai Syariah dalam kehidupan sehari-hari.
Selanjutnya ada sambutan dari tokoh masyarakat setempat, Ketua RW 05 Ciherang Cutak. Beliau mengapresiasi pengajian di Majelis sebagai wujud ketakwaan dan silaturahmi dengan para Ulama di wilayah Ciomas.
Memasuki inti acara, kemudian Ustadz Marsambas selaku host mempersilahkan kepada dua pembicara: Al Ustadz Yunan Abu Hilmi, pimpinan Majelis al Muhajirin Bukit Asri dan Kyai Haji Muhyidin, pimpinan Pondok Pesantren An Nur Pamijahan untuk menyampaikan materi.
Al Ustadz Yunan Abu Hilmi, menjelaskan bahwa mencintai Nabi harus dibuktikan dengan mencintai apa yang disampaikan oleh Nabi, yakni Syariah Islam. Karena selama ini dalam perayaan Maulid Nabi, yang dibahas hanya kepribadian Nabi, padahal dakwah yang dilakukan oleh Nabi justru menjadi inti hadirnya ajaran Islam yang kemudian terbukti mampu mengubah dunia, dari gelap menuju terang. Mencintai Syariah adalah dalam rangka mengamalkan Al-Qur’an surah al-Baqarah ayat 208, yaitu “ya ayyuhal ladzina amanu udkhulu fissilmi kaffah”.
Lebih jauh Ustadz Yunan membahas fakta bahwa program deradikalisasi yang digencarkan pemerintah sebenarnya hanya ditujukan pada Islam dan hanyalah untuk mengalihkan umat dari agenda utama penguasa yakni melawan terorisme dan melanjutkan sekulerisasi.
Makna deradikalisasi adalah langkah upaya untuk mengubah sikap dan cara pandang yang dianggap keras (fundamentalis) menjadi lunak, toleran, pluralis, moderat dan liberal.
Sementara itu Kementerian Agama, membuat keputusan yang sangat menyinggung hati dan perasaan umat Islam. Setelah sebelumnya Pemerintah berencana memata-matai pengajian di masjid-masjid, juga mempermasalahkan cadar dan celana cingkrang, kali ini mereka berencana menghapus materi jihad dan Khilafah yang selama ini menjadi materi pelajaran di madrasah-madrasah. Jihad dan Khilafah dianggap sebagai biang radikalisme yang mengancam keutuhan bangsa dan negara. Padahal semua orang tahu, yang mengancam negeri ini adalah sekularisme-kapitalisme-liberalisme.
Upaya menghilangkan materi jihad dan Khilafah dari kurikulum madrasah merupakan bentuk kemungkaran yang sangat nyata. Ini jelas tindakan yang haram. Allah SWT berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَكْتُمُونَ مَا أَنْزَلْنَا مِنَ الْبَيِّنَاتِ وَالْهُدَى مِنْ بَعْدِ مَا بَيَّنَّاهُ لِلنَّاسِ فِي الْكِتَابِ أُولَئِكَ يَلْعَنُهُمُ اللَّهُ وَيَلْعَنُهُمُ اللاَّعِنُونَ
Sungguh orang-orang yang menyembunyikan keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk yang telah Kami turunkan, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam al-Kitab, mereka itu dilaknati oleh Allah dan dilaknati pula oleh semua makhluk yang dapat melaknat (TQS al-Baqarah [2]: 159).
Kesimpulannya maka cinta kepada Nabi saw. melahirkan pengutamaan beliau dan syariahnya di atas urusan dan kepentingan sendiri. Cinta kepada Nabi saw. harus mendorong kita untuk taat pada syariah yang beliau bawa. Cinta kepada Nabi saw. hendaklah mendorong kita untuk menerapkan syariah Islam secara kâffah di tengah-tengah kehidupan.
Kyai Haji Muhyidin yang lebih akrab dipanggil Kyai Mumuh ini lebih dalam menjelaskan bahwa peranan Ulama dalam perjuangan menerapkan ajaran Islam adalah mendidik ummat dan menasehati penguasa agar kembali kepada Syariat Islam, tidak melanjutkan sistem yang bukan Islam.Beliau menyinggung bahwa warisan Belanda dalam KUHP yang masih dipertahankan hingga kini adalah bukti bahwa jargon cinta kepada Nabi adalah palsu. Seharusnya warisan Nabi yaitu Syariah Islam dapat diterapkan di negeri ini, tetapi nyatanya tidak, meski mayoritas negeri ini adalah muslim, masih mencampakkan hukum Allah.
Maka hakikat cinta kepada Nabi adalah menerapkan seluruh hukum Islam, sebagai aturan hidup yang dibawa Nabi, kemudian berlepas diri dari demokrasi, dan berlepas diri dari kapitalisme. Maka bohong jika mengaku cinta kepada Nabi tapi masih mencampakkan Syariat Islam.
Perumpamaan para alim ulama ketika hidup di dunia, maka mereka bagaikan bintang yang ada di langit, yaitu memberikan penerangan untuk ummat Islam yang ada di muka bumi baik di daratan maupun di lautan.
Ulama yang memiliki otoritas dari Allah, mendapatkan mandat dari Rasulullah, yaitu “innamal Ulama warotsatul anbiya”, para Ulama itu adalah warisan para Nabi. Tugasnya memberikan petujuk/jalan yang benar. Harus mampu membedakan mana jalan kapitalisme, jalan sosialisme dan jalan Islam. Kalau saja para Ulama ini tidak ada di dunia ini, maka manusia akan menjadi seperti binatang. Maka para Ulama yang memiliki kehormatan dan kesempatan yang mulia untuk menunjukkan bidayahnya kepada manusia.
Saat ini para Ulama bagaikan bintang yang padam, tidak menerangi ummat yang masih ada dalam kegelapan. Bagaimana tidak, contohnya ketika Kementrian Agama mengusulkan agar materi ajar di madrasah yakni Khilafah dan Jihad akan dipindahkan dari bab Fikih ke bab Sejarah. Artinya tidak ada peluang lagi untuk diterapkan pada masa kini, karena itu dianggap sudah bagian masa lalu sebagai cerita sejarah. Dan ini disetujui oleh Wapres Kyai Ma’ruf Amin sebagai langkah yang tepat.
Padahal beliau yang masih menjabat sebagai Ketua MUI adalah representatif Ulama, tetapi sikapnya bagaikan bintang yang padam.
Kyai Mumuh, kemudian membahas tentang mirisnya issue “intoleransi” di negeri ini. Kemenag pernah melakukan survai tentang toleransi di seluruh daerah. Ternyata yang dianggap memiliki toleransi yang baik tinggi adalah Papua.
Padahal fakta menunjukkan bahwa di sana pernah terjadi pembakaran masjid di Tolikara, kemudian pembantaian ummat Islam termasuk polisi dan tentara Muslim oleh gerakan Organisasi Papua Merdeka yang hanya dianggap sebagai KKB, Kelompok Kriminal Bersenjata. Daerah Aceh dan Jawa Barat malah dianggap “intoleransi”, karena angka toleransinya paling rendah.
Karena toleransi yang dianggap baik oleh mereka adalah ikut ibadah agama lain di tempatnya. Maka para Ulama sebagai bintang yang memancarkan cahaya, tidak boleh padam. Karena jika padam maka ummatnya akan tersesat. Fakta sekarang para Ulama berdiam diri ketika ummatnya menerapkan Kapitalisme Demokrasi.
Seharusnya para Ulama menunjukkan bahwa hanya Islam yang layak untuk diterapkan bukan yang lain. Maka ummat Islam harus diingatkan dengan Qur’an Surat Al-Kahfi ayat 103-104 :
قُلْ هَلْ نُنَبِّئُكُم بِٱلْأَخْسَرِينَ أَعْمَٰلًا
ٱلَّذِينَ ضَلَّ سَعْيُهُمْ فِى ٱلْحَيَوٰةِ ٱلدُّنْيَا وَهُمْ يَحْسَبُونَ أَنَّهُمْ يُحْسِنُونَ صُنْعًا
Katakanlah: “Apakah akan Kami beritahukan kepadamu tentang orang-orang yang paling merugi perbuatannya?”. “Yaitu orang-orang yang telah sia-sia perbuatannya dalam kehidupan dunia ini, sedangkan mereka menyangka bahwa mereka berbuat sebaik-baiknya.”
Para Ulama harus memahami bahwa hanya dengan Islam lah maka ummat Islam tidak akan tersesat. Sedangkan ajaran kapitalisme dan sosialisme akan membuat ummat tersesat sehingga mereka hidup dalam negara yang sesat. Fakta sesatnya negara lebih terlihat saat ini ketika Muslim Uighur mengalami penyiksaan oleh komunis China, ternyata tidak mendapatkan pembelaan dari negara muslim terbesar di dunia ini. Maka kesimpulannya selain Islam adalah salah, tidak boleh menerapkannya dalam kehidupan.
Al Ustadz Marsambas, M.Pd.I., dengan bahasa Sunda halusnya, menyatakan bahwa cinta kepada Nabi adalah harus dibuktikan agar ajaran Islamnya dapat diterapkan dalam kehidupan sehari-hari, karena kondisinya masih jauh dari Islam yang kaffah.
Dalam sesi diskusi, muncul pertanyaan dari 3 asatidz. Pertama dari Ustadz Natsir Bukit Asri. Beliau yang aktif di pengajian BKsPPI dan ICMI Bogor ini mengangkat issue deradikalisme adalah akibat Menteri Agama dari militer yang tidak paham dengan Islam untuk mengadu domba sesama ummat Islam. Terlebih ormas NU, Muhammadiyah dan MUI larut, tidak dapat berbuat banyak, lebih banyak diam. Prihatin juga dengan pernyataan Wapres, meski dari kalangan Ulama, ternyata menyatakan bahwa Khilafah adalah tertolak. Apalagi saat ini ekonomi juga dikuasai oleh asing dan aseng.
Semangat 212 tampak kerinduan umat akan hadirnya khilafah. Pernyataan Ustadz Zulkifli Ali bahwa Khilafah tidak akan berdiri di Indonesia, tetapi sesuai dalil akan berdiri di Palestina, diyakini untuk mengamankan dakwahnya saja. Ustadz Natsir, sejak Aksi Mujahid 212 tahun 2016, mulai pasang bendera Tauhid di depan rumahnya, tidak khawatir dianggap radikal, tidak khawatir dituduh menyebar opini Khilafah, padahal beliau masih menjadi Khatib Shalat Jumat di Masjid Besar Al-Farhan Kecamatan Ciomas.Di level MUI Kabupaten yang beberapa waktu lalu membuat Ijtimak Ulama, disadari memang ada perbedaan pandangan tentang dakwah, meski Ustad Natsir berteman baik dengan KH. Mukri Aji, Ketua MUI Kabupaten Bogor.
Berikutnya Ustadz Djunaedi dari Cipayung merasa bahagia dengan acara Multaqa Ulama Aswaja ini. Beliau mengapresiasi konsistensi buletin dakwah Kaffah yang beredar di kecamatan, Majlis Taklim, musholla, masjid dan perkantoran harus didukung oleh para asatidz karena memang Islam kita belum kaffah. Ahlu Sunnah wal Jamaah harus dibuktikan dengan pemahaman Islam yang kaffah. Harus banyak membuka kitab dan menyampaikan dalilnya kepada masyarakat.
Saat ini para Khatib cenderung konvensional, tidak mengajak ummat untuk berfikir. Imam besar, Kyai Munawar Kholil berkata kenapa ummat Islam itu tertinggal ? karena tidak berpegang kepada al-Qur’an dan As-Sunnah. Padahal Nabi sudah menyatakan hal ini untuk dijadikan pedoman. Fenomena ini memang menyedihkan. Ada satu ustadz menyampaikan bahayanya radikalisme, setelah ditanya ternyata tidak bisa menjelaskan definisinya apa.
Dalam dakwah, masih banyak asatidz yang asal bicara, mengikuti kemauan penguasa. Dalam toleransi juga malah mencampur adukkan agama, dengan kebebasan ibadah. Maka para asatidz harus menyampaikan agar umat Islam melek, jangan takut dikatakan radikal.
Terakhir Ustadz Haji Uwais Majlis Al-Fattah, menyampaikan bagaimana caranya dakwah yang efektif. Karena ada satu kondisi ketika Kyai Pupuh masih hidup, peredaran buletin dakwah aman saja, tetapi ketika beliau wafat dinyatakan terlarang karena dianggap membahayakan pesantren.
Acara ditutup dengan doa oleh Ustadz Matin, guru agama legendaris dari wilayah Babakan Ciomas yang dikenal luas oleh para asatidz. Acara ditutup dan dilanjutkan dengan sesi foto bersama dan ramah tamah. (ISK).
Sumber: shautululama.co