Multaqa Ulama Aswaja Bogor, Khilafah Islamiyah Institusi Penyelamat Yang Dibutuhkan Dunia Sekarang
Sabtu (5/10) malam hari dipenuhi 40 ulama, kyai dan ustadz dari sekitar Bogor Utara dan Bigor Tengah, menghadiri acara Multaqo Ulama Aswaja.
Acara diawali dengan Shalat Isya berjamaah, dilanjutkan dengan acara inti dipandu oleh shahibul fadhilah al-Mukarram Ust. H. M. Anas Nasrullah, SP (Pimpinan Majelis Ikhwanur Rasul) diawali membaca shalawat Asyghil kemudian tilawah al-Quran oleh shahibul fadhilah al-Mukarram Ust Hernan Septiadi (Pimpinan Ponpes ath-Thoohiriin).
Kalam pembuka disampaikan oleh shahibul fadhilah al-Mukarram Ust Fathurrahman (Pimpinan Ma’had al-Inqilabi), beliau menyampaikan kondisi kondisi Islam dan muslimin di berbagai belahan bumi yang terus dihinakan dan dimusuhi, termasuk kini di Indonesia ulama dan ajaran Islam (syari’ah dan khilafah) dipersekusi dan dikriminalisasi.
Selanjutnya Shahibul Fadhilah al-Mukarram K.H. Amiruddin Abu Fikri, MA (Pimpinan Majlis Khoiru Ummah Bogor), beliau menyampaikan ulasan dengan tema “Hijrah Momentum Perubahan Menuju Tegaknya Khilafah Islam”, mengajak ulama dan umat Islam untuk meneladani baginda Nabi Muhammad saw berhijrah bukan hanya secara individu taat kepada Allah SWT juga menerapkan sistem mulia yang wajib ditegakkan yakni Khilafah.
Dalam pemaparan beliau menyampaikan bagaimana ketika Rasulullah saw sebelum berhijrah tidak mempunyai kekuatan dan kekuasaan, maka Rasulpun berdoa memohon pada Allah untuk diberikan kekuasaan yang dapat menolong, sebagaimana Allah SWT berfirman:
وَقُل رَّبِّ أَدْخِلْنِى مُدْخَلَ صِدْقٍ وَأَخْرِجْنِى مُخْرَجَ صِدْقٍ وَاجْعَل لِّى مِنْ لَّدُنْكَ سُلْطٰنًا نَّصِيرًا
“Dan katakanlah (Muhammad), “Ya Tuhanku, masukkan aku ke tempat masuk yang benar dan keluarkan (pula) aku ke tempat keluar yang benar dan berikanlah kepadaku dari sisi-Mu kekuasaan yang dapat menolong.” (QS. Al-Isra [17] : 80)Dijelaskan pula makna _”waj’al lii min ladunka sulthanan nashira”_ sebagaimana perkataan Al Hafidz Asy Syaukani dalam “fathul qadir” yakni “hujjatan dhahiratan qahiratan tanshuruni biha ‘ala jami’i man khalafani” hujjah yang dhahir, hujjah yang nampak, hujjah yang dapat memaksa orang, yang dapat menolongku dari orang yang menyelisihi kebenaran”. Maka jika ada yg menyelisihi terkait kebenaran Islam, kebenaran syariah maka semua orang tersebut tidak memiliki hujjah untuk menolak, melainkan hanya nafsu, arogansi dan kesombongan belaka.. Demikian Kyai Amiruddin menambahkan.
Masih dalam kitab fathul Qadir : “Seakan-akan rasul mengetahui bahwa dirinya tidak memiliki kekuatan dalam berbagi urusan kecuali dengan adanya kekuasaan, maka nabi berdo’a meminta kekuasaan yang menolong”
Akhirnya ketika Nabi memiliki kekuasaan di Madinah.. Nabi membangun kota yang semula bernama Yatsrib menjadi “Madinah al-Munawwarah” yakni sebuah kota yang melancarkan cahaya dengan dasar akidah Islam dan penerapan Syariat Islam secara kaffah dalam bingkai Daulah Khilafah ‘ala minhajin-nubuwah.. Keberhasilan Beliau saw tidak hanya berhenti dan berhasil membangun Madinah al-Munawwarah, tapi juga berhasil melakukan pembebasan kota Makkah melalui Fathu Makkah.. Beliau dengan mantap memukulkan tongkatnya kepada patung-patung berhala, dengan maksud menghinakan, seraya berkata: “wa qul jaa`al-haqqu wa zahaqol-baathil,, innal-baathila kaana zahuuqoo”.. Begitullah K.H. Amiruddin menjelaskan dengan berapi-api
Khilafah Islamiyah.. Itulah institusi penyelamat yang dibutuhkan dunia saat ini, kekuatan dan kekuasaan yang menolong.
Demikian pula dikatakan Imam al Hasan, Imam Qatadah dan Imam Ibnu Jarir, dalam memaknai lafazh “sulthanan nashíra” adalah Ij’aliy min ladunka mulkan wa ‘izzan qawwiyan, maknanya berilah aku dari sisi-Mu kekuasaan, kemuliaan dan kekuatan.. Ibnu Katsir mengomentari “wa huwal arjah”. Inilah penafsiran yang paning kuat..
Dengan semangat Kyai Haji Amiruddin menegaskan, bahwa menjadi keharusan, yang menjadi pengiring “al-Haq”, yang dapat memaksa terhadap orang yang memusuhinya dan orang yang melawannya adalah kekuasaan.
Tak ketinggalan Beliaupun menyitir perkataan Hujjatul Islam Imam Al-Ghazali
وَالْمِلْكُ وَالدِّيْنُ تَوْأَمَانِ فَالدِّيْنُ أَصْلٌ وَالسُّلْطَانُ حَارِسٌ وَمَا لَا أَصْلَ لَهُ فَمَهْدُوْمٌ وَمَا لَا حَارِسَ لَهُ فَضَائِعٌ“
Negara dan agama adalah saudara kembar. Agama merupakan dasar, sedangkan negara adalah penjaganya. Sesuatu yang tanpa dasar akan runtuh, dan dasar tanpa penjaganya akan hilang”.
Kalam berikutnya dari al-Mukarramun para ‘alim ulama yang hadir, diantaranya:
Shohibul fadhilah al-Mukarram Ustadz Mashudi, menyampaikan kegelisahan perselisihan umat dalam hal furu’, sisi lain beliau menyampaikan, bahwa umat ini memahami Islam sekedar ritual, bukan memahami Islam sebagai sebuah sistem sempurna yang dapat mengatur berbagai aspek kehidupan manusia..
Oleh karena beliau akan tetap semangat menyampaikan al-Haq, berdakwah dalam berbagai kesempatan, sesuai jalan dakwah para pendahulunya.
Demikian pula disampaikan shahibul fadhilah al-Mukarram Ustadz Yusuf Nursyamsi, Beliau menegaskan bahwa hanya dengan tegaknya kembali Khilafah, Islam dan kaum muslim akan kembali meraih kemuliaannya..
Shahibul fadhilah al-Mukarram Ustadz. H. Hasanuluddin, menyampaikan kalam, bahwa beliau sangat bersyukur bisa bersama para pengemban dakwah yang ikhlas, isthiqamah serta bisa ikut pembinaan serta berjuang bersama dalam dakwah ini, sekaligus memohon do’a agar tetap isthiqamah sampai di akhir hayat.
Shahibul fadhilah al-Mukarram Ustadz. Sholihin, beliau mengajak para ulama agar berada di garis terdepan berjuang dan bersama umat menegakkan Khilafah, dan semoga Allah SWT segera menurunkan pertolongan-Nya dalam upaya mewujudkan kembali, “Sulthanan Nashiira”, kekuasaan yang menolong..
Rangkaian acara terakhir adalah pernyataan sikap Ulama Ahlussunnah wal Jama’ah yang dipimpin oleh al-Mukarram Ustadz H. Miharja, dalam enam point pernyataan yang pokoknya adalah menjadikan tahun Muharram 1441 H sebagai momentum perubahan menuju sistem Khilafah Islam, sehingga Indonesia menjadi lebih baik, ulama sebagai subyek perubahan, mengokohkan bahwa amar makruf nahi mungkar, penerapan syariah Islam, dan Khilafah berasal dari tauladan Nabi Muhammad saw serta hal tsb sebagai kewajiban umat Islam. Sehingga persekusi dan kriminalisasi pada para ulama sebagai bentuk tindakan kedhaliman rezim, dan pernyataan terakhir agar ulama, umat dan semua organisasi, ormas dan jamaah memberikan pengorbanan terbaik untuk kebangkitan Islam dan kaum Muslim.
Setelah membacakan pernyataan ulama Multaqo tsb. ditutup dengan do’a oleh K.H. Amiruddin Abu Fikri, MA, dilanjutkan foto bersama.[]