Muhammadiyyah Larang Beri Gelar Profesor Kehormatan, Begini Kata Peneliti BRIN

 Muhammadiyyah Larang Beri Gelar Profesor Kehormatan, Begini Kata Peneliti BRIN

Mediaumat.info – Menanggapi wacana larangan pemberian gelar Profesor Kehormatan (Honorary Professor) yang disampaikan Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir kepada seluruh perguruan tinggi Muhammadiyah dan ‘Aisyiyah (PTMA), Peneliti Ahli Utama Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Prof. Fahmi Amhar mengingatkan, melarang secara total bisa membatasi kemampuan kampus memberi apresiasi kepada tokoh yang memang layak dan berjasa bagi pengembangan keilmuan, kebudayaan, atau kemanusiaan.

“Melarang secara total juga bisa membatasi kemampuan kampus memberi apresiasi kepada tokoh yang memang layak dan berjasa bagi pengembangan keilmuan, kebudayaan, atau kemanusiaan,” tuturnya kepada media-umat.info, Sabtu (12/4/2025).

Maka, jelas Fahmi, pelarangan tersebut janganlah bersifat total. Harus dibedakan antara penyalahgunaan gelar dan penghargaan yang pantas.

Menurutnya, beberapa tokoh yang memang layak, karena kontribusinya nyata, sistematis, dan berdampak luas, misalnya: Sutan Takdir Alisjahbana yang tidak memiliki gelar doktor formal tetapi karena kontribusinya dalam sastra, linguistik, dan pemikiran Indonesia modern ia menjadi guru besar tamu di berbagai kampus. Diakui secara luas dalam dunia akademik Indonesia dan regional.

Ia juga menyebut, di negara-negara maju seperti Inggris atau Australia, honorary professorship lazim diberikan, tetapi tetap dengan proses seleksi ketat dan jelas kontribusi keilmuan atau sosialnya.

Kemudian, Noam Chomsky dari Amerika Serikat yang berijazah formal MA dari University of Pennsylvania. Tidak pernah menyelesaikan Ph.D.-nya secara penuh.

“Ia menjadi ikon akademik, bahkan tanpa gelar doktor secara formal. (Karena) karya revolusionernya dalam bidang linguistik (Generative Grammar, Universal Grammar), ia kemudian diberi jabatan profesor di MIT dan menerima belasan gelar kehormatan dari universitas seperti Harvard, Cambridge, dan University of Chicago,” bebernya.

Contoh lainnya, sebut Fahmi, Bill Gates dari Amerika Serikat yang drop-out dari Harvard University.  Namun kontribusinya dalam pengembangan teknologi dan pendidikan digital diakui secara luas. Diberi honorary doctorate dan honorary professorship dari banyak institusi, di antaranya: Harvard, Cambridge, dan Tsinghua University.

Namun ia memahami, larangan pemberian gelar oleh PP Muhammadiyah ini sebagai langkah menjaga integritas akademik. Apalagi dalam beberapa tahun terakhir, kata Fahmi, gelar kehormatan kerap dipersepsikan sebagai bentuk legitimasi sosial atau politik, bukan murni penghargaan atas kontribusi ilmiah atau keilmuan.

“Muhammadiyah sebagai organisasi yang menjunjung tinggi etika akademik mungkin ingin menghindari kesan bahwa gelar diberikan karena alasan politis, populis, atau transaksional,” ujarnya.

Namun sekali lagi ia mengingatkan, gelar Profesor Kehormatan bisa tetap eksis, tetapi harus diatur ketat yakni ada standar nasional dari Kemendikbudristek atau Majelis Profesor, melibatkan peer review akademik dan transparansi proses, serta bisa diuji secara publik.

“Kampus, termasuk Muhammadiyah, bisa jadi pelopor etik akademik baru, bukan dengan melarang total, tapi memperbaiki tata kelola pemberian gelar kehormatan,” pungkasnya.[] Achmad Mu’it

Dapatkan update berita terbaru melalui saluran Whatsapp Mediaumat

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *