Muhammadiyah: Perppu Ormas Cacat Prosedural dan Substansial

Ketua PP Muhammadiyah Bidang Hukum dan HAM, Busyro Muqoddas mengatakan, pekan lalu baru saja dilakukan rapat pleno di Pusat Dakwah Muhammadiyah Jakarta. Ia mengungkapkan, Perppu Nomor 2 Tahun 2017 menjadi salah satu agenda pembahasan.

“Hasilnya ada dua pandangan, satu, kita akan fokus ke judicial review, dan satu lagi kita akan mendesak DPR untuk menyikapi ini secara kritis di masa sidang yang akan datang,” kata Busryo kepada Republika.co.id, Rabu (9/8).

Ia menekankan, DPR secara pranata politik demokrasi memang perlu diperkuat secara institusi. Karenanya, dalam konsep itu sikap PP Muhammadiyah menyikapi dengan satu kesadaran demokratis DPR sebagai lembaga demokrasi harus merespon desakan yang ada.

Busyro berpendapat, jika DPR sebagai lembaga demokrasi tidak difungsikan secara optimal, demkokrasi yang jadi sistem negara modern akan semakin rusak. Pasalnya, lembaga kepresidenan akan semakin otoriter seperti di masa lalu.

“Pengulangan ketika orde baru dulu, mungkin lebih parah dan sebenarnya dalam hal-hal tertentu sudah lebih parah, indikasi order baru itu secara tata kelola pemerintah yang otoriter sudah tampak seperti sekarang,” ujar Busyro.

Meski begitu, ia merasa lucu melihat sikap partai politik seperti PDIP dan PPP, yang notabene merupakan korban orde baru dengan tidak terpisahkannya Golkar dan pemerintah kala itu. Keduanya, malah tampak ingin membawa lagi otoriter semacam itu. “Ini anomali ideologi, krisis ideologi yang ada di kalangan parpol-parpol,” kata Busryo.

Busyro menambahkan, sejak awal ia sudah menyatakan kalau ini tidak cuma ditujukan kepada HTI, tapi sesungguhnya kepada siapa saja yang nanti akan mengkritisi pemerintah. Ia melihat, ini sudah terbukti ketika Polri terkesan jadi alat presiden.

Hal itu dirasa di kasus-kasus seperti Sri Bintang Pamungkas dan lain-lain, yang dituduh kasus makar lalu dilepas semua tanpa ada pembuktian. Padahal, jika Polri konsekuen dengan tuduhan itu harusnya dibawa ke pengadilan, diuji dan dibuktikan.

“Jangan kayak main-main, itu sama sekali tidak cerdas, kayak main-main tidak boleh penegak hukum seperti itu,” ujar Busyro.

Ia melihat, yudicial review yang banyak terjadi disebabkan masyarakat merasa terancam. Tentu, masyarakat yang dimaksud merupakan masyarakat kritis, bukan mereka yang malah mencoba memanfaatkan situasi untuk menjilat dan mendekat pemerintah.

Banyaknya yudicial review, turut dianggap menujukkan masih banyak masyarakat yang menunjukkan dirinya berintegritas. Sekaligus menampilkan secara pendekatan sosiologis Perppu Ormas dari pemeritnah cacat.

“Cacat prosedural, subtansi dan metodologi dan kalau aspek itu cacat maka yuridis produk Perppu-nya seperti sekarang ini,” kata Busyro.[]ROL

Share artikel ini: