“Sistem yang berlaku saat ini (demokrasi) tidak mampu mengakomodir keinginan ummat Islam untuk menerapkan syari’at seluruhnya”.
Begitulah kalimat pembuka atas pemaparan tentang sistem demokrasi yang disampaikan oleh Ustadz Adi Jefris Sitohang, Mudir Ma’had al-Izzah Khoiru Ummah, Deli Serdang pada acara Mudzakarah Tokoh dan Ulama yang dilaksanakan pada hari Ahad, 25 Agustus 2019 di Tanjung Morawa, Deli Serdang.
Beliau juga menjelaskan bagaimana lahirnya sistem demokrasi di zaman Yunani Kuno, kelanjutan perkembangannya pada zaman renaissance, hingga bagaimana sistem demokrasi begitu banyak dipakai oleh negara-negara saat ini.
Demokrasi memang menggiurkan ketika menjanjikan kebebasan bagi para penganutnya. Tapi tanpa disadari, kebebasan yang dijunjung tinggi tersebut justru melahirkan kerusakan. Maka tidak mengherankan jika di negeri asalnya, para begawan demokrasi justru melontarkan kritikan atas cacatnya sistem ini.
Mengutip pernyataan Aristoteles :
“Demokrasi sebagai mobocracy atau pemerintahan segerombolan orang. Sistem bobrok karena pemerintahan dilakukan oleh massa, demokrasi rentan akan anarkisme”.
Benjamin Constant, seorang penulis sekaligus aktivis politik berhaluan liberal di abad 19 juga pernah menyatakan bahwa demokrasi membawa kita menuju jalan yang menakutkan yaitu kediktatoran parlemen.
Pernyataan serupa tentang bobroknya sistem demokrasi juga pernah diungkapkan oleh Gamawan Fauzi yang dimuat pada situs kompas.com (5/7/2010):
“Minimal biaya yang dikeluarkan seorang calon Rp.20 milyar, akan tetapi untuk daerah yang kaya, biayanya bisa sampai Rp.100 hingga Rp.150 milyar”.
Tingginya biaya yang dibutuhkan para kompetitor yang saling berebut kekuasaan dalam sistem ini, ditambah dengan sekularisme yang menjadi asas dan liberalisme yang dijunjung tinggi oleh sistem ini membuat negara manapun yang menggunakan sistem demokrasi akan sangat rawan mempergunakan segala cara untuk memperoleh kekuasaan, mempertahankannya, atau demi “mengembalikan modal” yang telah dikeluarkannya.
Jadi tidak usah heran, ketika kaum kapitalis yang memiliki modal besar akan menyanggupi menjadi penyokong bagi calon-calon penguasa, tapi tentu saja dengan sejumlah imbalan yang harus dibalas dikemudian hari. Jika tidak sanggup, maka korupsi pun menjadi solusi. Tak ada makan siang yang gratis bukan?
KHILAFAH SEBAGAI SOLUSI
Pada kesempatan tersebut Ustadz Lilik Suhendra, seorang aktivis Hizbut Tahrir Indonesia, juga turut menyampaikan bahwa segala permasalahan yang menimpa umat saat ini tak lepas dari tidak diterapkannya aturan dari al-Khaliq oleh manusia.
Ketika Allah menciptakan manusia maka juga diturunkan seperangkat aturan agar diikuti dan dilaksanakan seluruhnya. Allah sebagai al-Khaliq Yang Maha Mengetahui tentunya sudah pasti lebih mengetahui apa yang terbaik bagi hamba-Nya. Dan juga sangat tidak pantas jika hamba-Nya yang lemah justru mengingkari hukum yang telah ditetapkannya.
Dalam pelaksanaannya, ada sejumlah aturan yang bisa dilaksanakan oleh manusia itu sendiri, tapi juga ada sejumlah hal lain yang hanya bisa diterapkan oleh negara. Dan khilafah sebagai sebuah institusi yang mampu menerapkan itu semua telah menunjukkan kegemilangannya selama lebih dari 1300 tahun. Hal ini sekaligus membantah tudingan orang-orang yang mengatakan bahwa khilafah itu tak lebih hanya sekedar konsep yang menawarkan mimpi.
Dalam masa kegemilangannya, khilafah telah banyak menghasilkan para ilmuwan dan pemikir Islam. Ada begitu banyak perpustakaan dan penemuan-penemuan sehingga tidak mengherankan jika peradaban Islam menjadi kiblat dunia pada saat itu, bahkan oleh barat.
Tidak hanya pengakuan dari sejarawan dan cendekiawan barat, bahkan seorang Barrack Obama pun mengakui sumbangsih khilafah bagi dunia. Dalam pidatonya tanggal 5 Juli 2009 dia berkata,
“Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah, di tempat-tempat seperti Universitas Al-Azhar, yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era kebangkitan kembali dan era pencerahan di Eropa.
Jika barat saja mengakui dan mengagumi masa kegemilangan ketika syari’at diterapkan seluruhnya, lalu kenapa umat Islam itu sendiri malah tidak mengakuinya?
Seharusnya umat ini bangga. Tapi bangga saja tidaklah cukup jika tanpa usaha untuk menegakkannya kembali.
Sudah saatnya umat Islam kembali bangkit untuk menjawab seruan Allah dan Rasul-Nya, yaitu menjadikan Allah sebagai satu-satunya yang layak untuk disembah dan sebagai satu-satunya yang menetapkan hukum.
Umat Islam harus mempunyai agenda politiknya sendiri sesuai dengan thariqah Rasulullah, bukan masuk ke dalam sistem jahiliyah. Sudah saatnya mimbar-mimbar masjid kembali dipergunakan untuk berpolitik, yaitu untuk mengatur urusan ummat agar sesuai dengan aturan Allah dan Rasul-Nya.
Ibarat dua sisi mata uang yang saling berlawanan, sistem khilafah akan selalu tertolak jika sistem demokrasi masih diterapkan. Buanglah demokrasi dan tegakkanlah khilafah.
Jadilah pejuangnya, jangan hanya memposisikan diri sebagai penonton, apalagi penghalangnya.
Islam adalah solusi. Islam itu tinggi, dan tak ada yang lebih tinggi darinya.[]
Sumber: shautululama.co