Kamis, 19 Desember 2019, Majelis Taqarrub Ilallah (MTI) Sulsel menyelenggarakan kegiatan Dialog Akhir Tahun bertemakan “Refleksi Tahun 2019, Meneropong Masa Depan Indonesia”, acara ini terselenggara di masjid Baiturrahman Panaikang.
Antusias masyarakat kota Makassar begitu tinggi untuk hadir, dikarenakan pembicara yang didatangkan berasal dari kalangan profesor, alim ulama, dan pengamat politik internasional.
Prof. Dr. Juajir Sumardi, SH, MH, Prof. Dr. Abd. Muin, SH, MH, KH. Sudirman, S.Ag, Ust. Ibnu Azis Fathoni, S.Pd, M.Pd. Itulah sederet nama pembicara dialog tersebut.
Prof. Juajir dalam paparannya menjelaskan bahwa seharusnya kita rakyat jangan terlalu menghabiskan energi dalam perdebatan perkara normatif, masih banyak hal positif yang bisa kita kerjakan tanpa melibatkan pemerintah. Kita sebenarnya bisa memperbaiki kehidupan ekonomi kita jika kita mulai dari lingkungan kita sendiri.
“Semestinya kita membangun ekonomi keumatan berbasis syariah.” Tutur beliau.
Panjang lebar beliau menjelaskan bagaimana seharusnya perusahaan besar memiliki tanggung jawab utama dalam memberikan kesejahteraan pada masyarakat di sekitar perusahaan itu berada.
“Rezim atau pemerintah tidak paham ketentuan dan tanggung jawab perusahaan kapitalis untuk mensejahterakan masyarakat lokal. Karena pemerintah hanya memikirkan diri mereka sendiri.” Tambah beliau.
Prof. Abd. Muin selaku Guru Besar FH UMI lebih menyoroti perihal aturan atau kebijakan yang dikeluarkan pemerintah. Dalam paparannya menyoroti massifnya rezim menyerang Umat Islam dengan label Radikalisme. Beliau menjelaskan bahwa kita memang seharusnya menjadi manusia yang radikal. Segala sesuatu tidak akan terjadi jika kita tak berfikir radikal.
Maka dari itu menurut beliau “Pemerintah jika paham, tentunya akan melahirkan aturan dengan menekankan pada ketertiban, dan keamanan, demi tercapainya kesejahteraan. Jika aturan yang dibuat kontraproduktif maka yang terjadi hanyalah kekacauan.” Jelasnya.
Beliau memberikan contoh kasus, poligami. Dalam islam, poligami itu boleh, ada ayat yang menjelaskan itu. Tapi, pemerintah mengeluarkan UU Pernikahan yg melarang poligami. Maka aturan ini kemudian menghadirkan kekacauan pada masyarakat, sebab masyarakat Indonesia ini mayoritas beragama Islam. Oleh itu, pemerintah jika ingin mengeluarkan aturan, maka harus sesuai dengan Aturan islam.
Al islamu ya’lu wala yu’la alaih. Sebuah kata pembuka dari KH. Sudirman dalam memulai paparannya, Islam itu tinggi dan tak ada lagi yang lebih tinggi darinya.
Beliau menekankan bagaimana seharusnya seorang muslim untuk senantiasa percaya diri dengan ajaran Islam.
“Kita sebagai muslim, harus pede dengan keberislaman kita, jangan merasa minder, jangan “cokko-cokko”. Sampaikan kepada orang bahwa kita bangga menjadi muslim”. Tegasnya.
Beliau menambahkan “Olehnya itu kita jangan pernah mengekor kepada agama lain terkait segala sesuatu, apalagi mendekati pergantian tahun baru sangat sering umat Islam ikut merayakan, padahal itu tidak berasal dari Islam.”
Panjang lebar Kiai Sudirman memaparkan dalil-dalil pendukung argumentasinya dan menutup nya dengan mengatakan “Semuanya telah ada di dalam al-qur’an, baik itu konsep pemerintahan dan yang lainnya. Maka tinggal kita, mau tidak mengambil Islam?” Tanya beliau.
Ust. Ibnu Azis Fathony sebagai pembicara terakhir sedikit menyayangkan, karena dua pembicara sebelumnya telah pamit dari acara dikarenakan harus menguji ujian tesis dan disertasi.
Ust. Azis memulai paparannya dengan menampilkan slide powerpoint berjudul Rapor Merah Rezim Jokowi. Dalam presentasinya beliau membeberkan satu persatu kegagalan demi kegagalan yang dicapai rezim, mulai dari aspek fundamental seperti ekonomi dan politik kemudian kesehatan, konflik sosial dan mengakarnya problem korupsi.
“Problem negeri ini selain karena tidak becusnya rezim juga lebih dikarenakan sistem yang dijalankan. Permasalahan negeri ini adalah permasalahan sistemik sehingga memperbaikinya tidak cukup mengganti rezim tetapi harus mengganti sistem”. Tutur beliau.
Di akhir beliau menyimpulkan Raport Merah Indonesia 2019. Seluruh aspek atau indikator perbaikan ternyata gagal, ekonomi, politik, sosial dan yang lain.” Beliau kemudian menyerukan bahwa kegagalan ini hanya bisa diselesaikan dengan hadirnya khalifah dan Khilafah.
Pada sesi tanya jawab, Ibrahim peserta dari Mahasiswa UMI mengajukan pertanyaan kepada dua pembicara yang tersisa, KH. Sudirman dan Ust. Azis.
Apakah ustadz setuju dengan khilafah? Pertanyaan ditujukan kepada KH. Sudirman.
Sementara pada Ust. Azis, Ibrahim bertanya, bagaimana dengan opini katanya khilafah jika tegak akan kembali muncul kerajaan-kerajaan?
Dengan lugas KH. Sudirman menjawab
“Siapa yang tidak ingin taat kepada Allah, siapa yang tidak ingin diatur dengan aturan dari Allah?”
Kemudian Ust. Azis menyampaikan bahwa Khilafah yang kita perjuangkan adalah khilafah ala minhaji nubuwah, Khilafah yang mengikuti manhaj nabi bukan yang lain.
Sesi terakhir sebelum acara ditutup, setiap pembicara diberikan kesempatan untuk closing statement.
Kita harus taat secara total kepada Allah, dan menghindarkan seluruh paham yang sesat. Mari kita bersama-sama memperjuangkan tegaknya syariah Islam. Closing dari KH. Sudirman.
Ust. Azis mengajak umat muslim pada umumnya dan peserta secara khusus, bahwa “kita harus terus bermuhasabah dan melihat langkah ke depannya. Kita harus mampu membedakan mana lawan mana kawan.”
Acara ini dimulai pukul 08.00 dan berakhir pukul 11.30 sambil menunggu masuknya waktu sholat dhuhur.[]