Mediuamat.id- Tanggapi upaya penguatan moderasi beragama di Indonesia oleh Kemenag yang dinilai banyak kalangan hanya condong kepada Islam, Wakil Sekjen MIUMI Majelis Intelektual dan Ulama Muda Indonesia Ustaz Fahmi Salim Zubair, Lc., M.A. menegaskan, bahwa Islam bukan hasil pemikiran manusia.
“Islam itu bukan satu hasil olah pikir atau budaya yang dikembangkan oleh manusia. Meskipun banyak oknum-oknum di tengah-tengah umat Islam ini yang mungkin bergelar Kyai, Buya, Profesor, Doktor dan lain sebagainya,” ujarnya dalam Diskusi Spesial: Yang Tersembunyi di Balik Moderasi, Ahad (07/11/2021) di kanal YouTube Media Umat.
Para oknum yang dimaksud, ia nilai telah berupaya memperkenalkan atau ingin menggambarkan Islam dengan pandangan subjektifnya dalam keterkaitan dengan budaya-budaya lokal. “Muncullah sekarang istilah-istilah yang mengenalkan Islam ini yang bersifat lokalitas,” jelasnya.
Padahal, Islam diwahyukan oleh Allah SWT sebagai ajaran yang bersifat universal. “Ini kan satu kemunduran, setback. Kita mundur ke belakang bahkan kembali ke masa jahiliah,” terangnya.
Wasathiyah
Kalaupun memang istilah wasathiyah yang dijadikan acuan moderasi, maka, menurut Ustaz Salim, justru sebagaimana yang tercantum di dalam surat al-Baqarah ayat 143 adalah kalimat ‘ummatan wasathan’ yang maknanya lebih kepada subyeknya. “Umat Islamnya itu adalah wasathan. Menjadi wasit bagi peradaban umat manusia,” ucapnya.
Sedangkan wasathiyah adalah ajaran Islam yang mengarahkan umatnya agar adil, seimbang, bermaslahat dan proporsional, atau sering disebut dengan kata ‘moderat’ dalam semua dimensi kehidupan. “(Tentu) tolok ukurnya ya syariat Islam,” imbuhnya.
Sehingga kalau ada pihak yang ingin mengaitkan wasathiyah Islam kepada tindakan ekstremisme agama atau yang lain, menurutnya, hal itu termasuk suatu tindakan yang bertentangan dengan prinsip-prinsip di dalam Al Qur’an.
Sehingga anggapan bahwa Islam perlu disempurnakan dengan upaya moderasi, ia malah menyebut tindakan tersebut sama halnya mengakali Islam, dan termasuk berbahaya. Semisal, adanya perbudakan yang dianggap sebagai dasar kebolehan hubungan layaknya pasangan nikah, sebagaimana dalam disertasi ‘Konsep Milk al-Yamin Muhammad Syahrur sebagai Keabsahan Hubungan Seksual Non Marital’.
Begitupun dengan komitmen kebangsaan yang selalu dibenturkan dengan Islam. “TWK, memperhadapkan Al Qur’an dengan konstitusi misalnya. Anda harus memilih. Anda pilih yang mana? Ini kan enggak benar,” tandasnya.
Oleh karena itu, ia berharap agar umat Islam benar-benar memahami kemuliaan Islam. “Kalau dulu kenapa Timur Tengah itu ada muncul negara-negara bangsa itu karena mereka meninggalkan sistem pemerintahan Islam, ketika Kekhalifahan Utsmani itu runtuh,” pungkasnya. []Zainul Arifin