Moderasi Beragama Berlanjut Penunjukan Ketua Pelaksana Sekber, FDMPB: Tak Ada Urgensinya!

 Moderasi Beragama Berlanjut Penunjukan Ketua Pelaksana Sekber, FDMPB: Tak Ada Urgensinya!

Mediaumat.id – Program pemerintah terkait penyelenggaraan penguatan moderasi beragama berikut penunjukan Menteri Agama (Menag) sebagai ketua pelaksana sekretariat bersama, dinilai tak ada urgensinya sama sekali.

“Program ini terkesan mengada-ada dan tidak ada urgensitasnya sama sekali,” ujar Ketua Forum Doktor Muslim Peduli Bangsa (FDMPB) Dr. Ahmad Sastra kepada Mediaumat.id, Rabu (4/10/2023).

Sebab, menurutnya, masih banyak persoalan bangsa yang justru harus menjadi skala prioritas pemerintah, dalam hal ini kementerian agama.

Untuk diketahui sebelumnya, melalui Perpres No. 58/2023, Presiden Joko Widodo telah menunjuk Menag Yaqut Cholil Qoumas sebagai ketua pelaksana sekretariat bersama (Sekber) moderasi beragama yang bertugas mengoordinasikan, memantau, dan mengevaluasi seputar penyelenggaraannya.

“Pelaksana Sekretariat Bersama sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf b diketuai oleh Menteri,” bunyi pasal 9 ayat (3) Perpres Nomor 58 Tahun 2023. Sedangkan ‘menteri’, dalam perpres tersebut merujuk pada Menag.

Selain itu, sambung Ahmad lebih lanjut, program ini tak akan berjalan dengan baik. Pasalnya, harus melibatkan banyak kementerian. “Dua kementerian saja kadang sulit berkoordinasi, apalagi program moderasi beragama ini melibatkan begitu banyak kementerian,” bebernya.

Ditambah, program ini bakal memunculkan pro kontra di tengah masyarakat. Sebutlah tentang anggaran negara yang bakal tersedot, sementara di saat yang sama terdapat kebutuhan yang lebih urgen di masyarakat terkait perekonomian.

Bahkan, seperti dugaan kuat Ahmad, narasi ini sebagai bagian dari islamofobia dan deradikalisasi, proyek dari Barat, sejak awal kemunculannya, program ini pun menimbulkan kegaduhan sosial.

Terlebih saat ini yang memasuki tahun-tahun politik. “Program ini bisa saja dimanfaatkan untuk tujuan-tujuan politik praktis,” tambahnya.

Dengan kata lain, program yang juga ia sebut sebagai narasi basi ini tak bakalan memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat. “Program ini tidak akan memberikan manfaat signifikan bagi masyarakat,” tandasnya.

Semestinya

Lantas terkait penunjukkan Yaqut Cholil Qoumas sebagai ketua pelaksana, Ahmad pun kembali menyampaikan, semestinya Menag melakukan hal lain yang notabene menjadi persoalan bangsa dan justru harus menjadi skala prioritas pemerintah.

Sebutlah, perbaikan kualitas pendidikan berbasis agama di tengah tantangan era disrupsi 4.0 sekarang ini, revitalisasi Islam agar bisa berkontribusi bagi kemajuan peradaban negeri ini.

Begitu pula mengenai perbaikan karakter para siswa yang kini tengah terjebak pada disorientasi di berbagai aspek. Semisal seks maupun pergaulan bebas, LGBT, masifnya perundungan, tawuran, aksi pornograsi, pornoaksi, dan konten-konten negatif di media sosial, yang menurutnya, semua ini jelas telah meruntuhkan moral para pelajar di negeri ini.

Demikian di samping seharusnya melakukan akselerasi kemampuan membaca Al-Qur’an bagi generasi Muslim, Menag juga wajib fokus kepada penguatan kompetensi sains bagi para santri agar pesantren bisa mewarnai masa depan bangsa ini dengan menjadikan agama sebagai aspirasi dan inspirasi.

“Menteri agama juga semestinya membuat program penguatan pemahaman agama di tengah gempuran ideologi sekulerisme yang telah menjauhkan umat dari agamanya sendiri,” imbuhnya.

Artinya, tegas Ahmad, apabila umat jauh dari agama, maka berbagai bentuk kerusakan akan terjadi di negeri ini.

Istilah Politik

Untuk dipahami bersama, istilah moderasi beragama yang digaungkan ini tidak termasuk dalam khazanah keilmuan Islam, tetapi lebih kepada politik. “Moderasi beragama itu kan istilah politik yang sebenarnya memiliki misi anti kebangkitan Islam,” sebut Ahmad.

Ditambah, di balik program ini sebenarnya ada upaya untuk melanggengkan ideologi kapitalisme sekuler. Dan itulah mengapa, kata Ahmad, narasi moderasi agama selalu menjadikan Islam sebagai sasarannya.

Karenanya, seorang pemimpin lebih-lebih seorang presiden, apalagi Muslim, mestinya memahami bahwa narasi ini adalah bagian dari proyek deradikalisasi akibat islamofobia Barat yang tujuan intinya adalah gerakan anti-Islam.

“Narasi moderasi beragama adalah bagian dari perang pemikiran (ghazwul fikr) yang digencarkan oleh Barat,” paparnya menegaskan.

Pun secara normatif, satu-satunya agama yang paling toleran justru Islam. “Secara normatif, justru satu-satunya agama yang paling toleran adalah Islam sebagaimana telah ditetapkan dalam Al-Qur’an, lakum dinukum waliyadin dan la ikraha fiddin,” pungkasnya.[] Zainul Krian

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *