Miris! 41 dari 45 Anggota DPRD Ditetapkan Sebagai Tersangka Korupsi
Mediaumat.news – Berita menghebohkan sekaligus miris, sebanyak 41 dari total 45 anggota DPRD Kota Malang periode 2014-2019 ditetapkan sebagai tersangka korupsi. Penetapan status ini dilakukan setelah KPK mengumumkan 22 anggota DPRD Kota Malang sebagai tersangka kasus dugaan suap pembahasan APBN-P Pemkot Malang Tahun Anggaran 2015.
Penetapan tersangka ini merupakan hasil pengembangan penyidikan KPK. Sebelumnya, dalam kasus yang sama, KPK sudah menetapkan 19 tersangka anggota DPRD Kota Malang. “Penetapan 22 anggota DPRD Kota Malang tersebut merupakan tahap ketiga. Hingga saat ini, dari total 45 anggota DPRD Kota Malang, sudah ada 41 anggota yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK,” papar Wakil Ketua KPK Basaria Panjaitan dalam konferensi pers di gedung Merah Putih KPK, Senin (3/9).
Menurut analis senior PKAD Fajar Kurniawan kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh kepala daerah masih tergolong tinggi. Oknum wakil rakyat dan kepala daerah seakan-akan menjadi langganan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Walaupun berkali-kali OTT, nyatanya tidak menciutkan nyali kepala daerah untuk meraup uang haram dari tindak pidana korupsi. Selama Januari sampai Juli 2018, sudah 98 kepala daerah yang sudah diproses oleh KPK dalam 109 perkara korupsi dan pencucian uang.
“Adapun di antara beberapa faktor penyebab kepala daerah melakukan korupsi lainnya antara lain karena biaya pemilu/pemilukada langsung yang mahal, kurangnya kompetensi dalam pengelolaan keuangan daerah, kurang pahamnya peraturan, lemahnya ketakwaan, dan buruknya sistem politik dan ekonomi,” ujar Fajar Kurniawan.
Ia juga menyatakan tingginya biaya mahar politik jelang Pilkada juga sebagai memicu oknum calon kepala daerah petahana memanfaatkan dana APBD untuk keperluan politik mereka. Untuk menutup biaya, banyak kepala daerah meminta setoran dari proyek-proyek yang diselenggarakan di daerahnya, setelah mereka menjabat.
Masalah biaya kampanye visual sampai kampanye terjun ke lapangan itu juga butuh biaya yang tidak sedikit. Itu bisa menjadi faktor lahirnya korupsi pemilu. Untuk turba politisi biasanya butuh biaya akomodasi untuk wara-wiri atau transportasi dari satu tempat ke tempat lainnya untuk kampanye. Termasuk biaya untuk para relawan.
“Apalagi saat ini tak banyak lagi relawan yang mau digerakan tanpa dibayar. Sehingga, mau tidak mau calon pun harus merogoh uang untuk para relawan ini. Biaya relawan ini tentu sebagai mesin pemenangan kan harus ada bensin. Kalau tidak ada uang, otomatis tidak akan jalan. Beberapa kemungkinan ini menjadi dorongan kuat bagi calon pejabat akan sangat rentan memanfaatkan uang negara untuk membayar segala biaya yang diperlukan saat kampanye,” bebernya.
Selain secara sistemik, Fajar juga menyinggung pribadi oknum. Menurutnya, secara personal tindak pidana korupsi terletak pada pelaku atau manusianya. Banyak pribadi yang tidak bertakwa sehingga tidak amanah dalam menjalankan tugas. Sebagus dan sebanyak apa pun aturan yang dikeluarkan untuk memberantas korupsi, jika pelakunya tidak amanah, UU dan aturan tersebut tidak pernah efektif. Sejak reformasi saja, telah banyak peraturan telah ditandatangani. Namun, korupsi tetap jalan. Bahkan ada kesan bahwa UU yang ada justru untuk melindungi para koruptor.
“Yang perlu kita soroti sekarang adalah perilaku para elit politis pada akhirnya tidak jauh beda dengan seorang ‘investor’ yang melakukan investasi dari ‘industri politik’-nya,” ungkap Fajar.
Konsekuensinya, dalam masa jabatannya, mereka akan berusaha semaksimal dan sesingkat mungkin untuk mengembalikan dana “investasi” tersebut. Ini sudah menjadi keniscayaan dalam sistem politik kapitalis. Bahkan arah sistem pemerintahan dengan model “cooporate state” semakin membuktikan fenomena ini.
“Jika dulu para kapitalis hanya berada di belakang layar aktor politik, sekarang mereka langsung duduk dalam jabatan strategis politik tersebut,” bebernya.
Jika masyarakat siap melakukan perubahan secara fundamental dengan solusi radikal yang baru, mereka tentu tidak akan bernasib sama seperti sekarang ini. “Mengganti orang-orang yang baik saja tanpa mengganti sistem tidak merubah keadaan secara sistematis,” pungkasnya.[] joy