Minyak Goreng dan Listrik Komoditas Strategis, Invest: Mestinya Dikelola Negara

Mediaumat.id – Koordinator Indonesian Valuation for Energy Infrastructur (INVEST) Ahmad Daryoko menegaskan bahwa minyak goreng dan listrik sama-sama merupakan komoditas strategis yang mestinya dikelola negara sesuai pasal 33 ayat (2) UUD 1945. “Cabang produksi yang penting bagi begara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai negara,” tuturnya kepada Mediaumat.id, Sabtu (2/4/2022).

Acuan lain, lanjutnya, adalah hadits, al muslimûna syurokâu fî tsalâtsi fî al mâi wa al kalâi wa al nâri. wa tsamanuhu harâmun yang artinya kaum Muslim berserikat dalam tiga hal, air, padang rumput dan api, dan harganya adalah haram. “Maksudnya tidak boleh dikomersialkan atau harus dikuasai khalifah/negara,” tegasnya.

“Artinya komoditas air, ladang (termasuk ladang sawit) dan api (energi, termasuk listrik, minyak bumi, batu bara, gas dan seterusnya) harus dikuasai atau dimonopoli oleh negara/khalifah,” jelasnya.

Dalam hal ini untuk minyak, lanjut Daryoko, yang harus dikuasai negara adalah ladang atau kebun sawitnya.

“Sementara sudah bertahun-tahun para konglomerat taipan 9 naga telah menguasai jutaan hektare ladang sawit, karena pemerintah telah menjual atau menyewakan hutan untuk ditanami sawit oleh mereka ini. Sedang pabrik minyak sawit sudah mereka kuasai juga,” paparnya.

“Dengan demikian, otomatis para taipan 9 naga tersebut telah memonopoli komoditas minyak goreng,” ungkapnya.

Menurutnya, minyak goreng yang sudah dikuasai swasta, sepenuhnya akan mengikuti mekanisme pasar bebas yang harganya tidak bisa diatur oleh peraturan pemerintah maupun undang-undang. Sehingga wajar kalau Menperindag M. Luthfi mengaku tidak bisa mengatasi perilaku kartel atau para mafia minyak goreng.

“Yang salah adalah pemerintah saat itu, yang menjual hutan ke para taipan 9 naga untuk dijadikan ladang sawit, sehingga rantai pasok dikuasai taipan 9 naga,” tegasnya.

Kelistrikan

Demikian juga kelistrikan, lanjut Daryoko, mestinya untuk listrik juga mengikuti pasal 33 ayat (2) UUD 1945 serta hadits diatas. Namun saat ini baik pembangkit maupun ritail sudah dijual ke aseng, asing dan taipan 9 naga.

“Yang berperan dalam penjualan PLN adalah oligarki ‘peng-peng’ (penguasa-pengusaha) semacam JK, Luhut BP, Dahlan Iskan dan Erick Tohir. Termasuk dijual ke perusahaan-perusahaan pribadi mereka. Sehingga kelistrikan pun otomatis sudah mengikuti mekanisme pasar bebas,” tandasnya.

 

Daryoko mengatakan, kalau komoditas minyak goreng, pemerintah mengaku tidak bisa menguasai perilaku para mafia, maka pada komoditas listrik yang sebenarnya sudah dalam ‘mekanisme pasar bebas. Pemerintah masih bisa mengendalikan kartel listrik swasta karena masih menguasai instalasi P2B (Pusat Pengatur Beban) yang ada di Cinere, atau Depok.

“Sedang biaya kelistrikan (tarif yang timbul) diredam oleh pemerintah dalam bentuk subsidi yang sesungguhnya ratusan triliun (Rp200,8 triliun untuk 2020 sesuai pemberitaan Repelita Online 8 Nopember 2020),” imbuhnya.

Daryoko menilai, bisa saja setelah tidak menjadi presiden, Jokowi bilang, “Apa kabar Bro? Enak jaman ku toh, listrik murah? Hehehe.” Padahal yang jual PLN secara tuntas di eranya, dan rakyat tidak tahu.

Menurut Daryoko, perbedaan antara minyak goreng dan listrik adalah untuk minyak goreng, mekanisme pasar bebas secara alami tidak bisa dikendalikan, karena pemerintah tidak memiliki instrumen pengendalinya. Sementara, mekanisme pasar bebas kelistrikan, pemerintah masih bisa mengendalikan kartel yang ada karena masih memiliki instalasi pengendali sistem dan pengendali pasar yang ada di PLN pusat pengatur beban (P2B) masih dikuasainya.

“Namun diperkirakan subholding transmisi akan dibentuk pada akhir masa jabatan rezim Jokowi (akhir 2024), dan dipastikan tarif listrik akan melejit minimal lima kali lipat (sesuai pembahasan Sidang MK). Kecuali bila Jokowi diperpanjang masa jabatannya, bisa dijadikan bargaining position jabatan RI 1,” ungkapnya.

Artinya, kata Daryoko, untuk listrik ada dua pilihan. Pertama, saat ini tarif listrik relatif stabil karena ditutup dengan subsidi. Tetapi utang luar negeri membengkak, karena subsidi listrik berasal dari utang luar negeri. Kedua, saat ini pemerintah melepas subsidi listrik dengan membentuk subholding transmisi, dan sekaligus mengeluarkan PLN P2B dari PLN berubah menjadi lembaga independen yang berfungsi sebagai pengatur sistem dan pengatur pasar.

“Kita lihat saja, apa yang akan dilakukan pemerintah sebagai tindak lanjut penjualan PLN pada akhir 2024 nanti? Karena saat ini PLN hanya menjadi EO (event organizer) yang asetnya hanya yang ada di luar Jawa-Bali saja,” pungkasnya.[] Irianti Aminatun

Share artikel ini: