Minta Menag Revisi Buku Pelajaran Islam, Ustaz MIY: PGI Lihat Timing Situasi Politik dan Keadaan Birokrasi
Mediaumat.news – Merespons surat Persatuan Gereja Indonesia (PGI) kepada Menteri Agama yang mengajukan revisi untuk buku pendidikan agama Islam kelas 1 SMA, Cendekiawan Muslim Ustaz MIY mengatakan PGI melihat timing berkenaan dengan situasi politik dan keadaan birokrasi.
“Menjadi menarik kenapa baru sekarang? Saya kira PGI melihat timing, timing ini berkenaan dengan dua hal. Pertama, adalah situasi politik dan yang kedua adalah keadaan birokrasi,” ujarnya dalam acara Fokus: PGI Offside? Ahad (07/03/2021) di kanal YouTube Khilafah Channel.
Menurut Ustaz MIY, PGI melihat menteri agama yang sekarang ini adalah menteri agama yang begitu rupa, dari awal ia sudah menyatakan menteri dari semua agama bukan menteri agama Islam saja. Bahkan dalam pidatonya mengutip Injil, dan banyak lagi hal yang memberikan satu pertanda yang sangat jelas bagi kalangan non Islam bahwa menteri kali ini itu berbeda dengan sebelumnya. Apalagi ditunjang fakta bahwa situasi politik yang memang menjauhkan umat Islam dari ajaran Islam yang sebenarnya dengan istilah radikal-radikalieme itu.
“Jadi ini saya kira faktor yang membuat PGI berani mempersoalkan sesuatu yang sudah ada sejak dari lama,” bebernya.
Ustaz MIY mengatakan, ada tiga catatan menyangkut permintaan PGI untuk merevisi buku pelajaran agama Islam tersebut. Pertama, apa yang disampaikan oleh PGI merupakan sesuatu yang sangat mengherankan, karena apa yang ditulis dalam buku pelajaran agama mengenai Taurat, Injil itu bukan hal baru, tapi sudah ada sejak dari dulu.
Ia menyebutkan, itu kan keyakinan umat Islam yang disampaikan kepada umat Islam, dan tolok ukur kebenaran apa yang disampaikan pada umat Islam adalah Islam itu sendiri apakah sesuai dengan Islam atau tidak. Kalau sesuai dengan Islam maka tidak ada hal yang aneh dan salah karena begitulah semestinya.
“Seperti mereka menyampaikan keyakinan Kristen kepada umat Kristen berdasarkan ajaran Kristen sebagaimana mereka meyakini bahwa Isa adalah anak Tuhan, umat Islam juga tidak pernah protes karena itu adalah keyakinan mereka,” bebernya.
Menurut Ustaz MIY, ini bisa menjadi prseden yang buruk. Karena mereka sudah berani mempersoalkan pelajaran agama Islam yang ditujukan kepada umat Islam, maka jangan salahkan nanti umat Islam juga mempersoalkan pelajaran agama Kristen yang ditujukan kepada murid-murid Kristen.
Ustaz MIY menjelaskan, memang Islam berpendapat bahwa Injil dan Taurat ini sudah mengalami banyak perubahan dan yang mengatakan ada perubahan tersebut adalah fakta. Fakta ini ditunjukkan dengan adanya seminar hasil penelitian yang diikuti oleh para ahli teologi itu sendiri dan berkesimpulan 80 persen Injil itu sudah tidak asli lagi.
Kedua, yang tidak kalah gawatnya adalah pernyataan pendeta Gultom itu sendiri. Pendeta tersebut mengatakan bahwa pelajaran agama di sekolah harus lebih mengutamakan pelajaran budi pekerti dan nilai-nilai universal dari agama. Padahal kata Ustaz MIY, kalau dalam pelajaran agama Islam yang paling penting itu adalah akidah.
Selain itu, sebut Ustaz MIY, pendeta tersebut juga mengatakan pendidikan agama dalam bentuk ajaran atau dogma sebaiknya dilakukan diruang privat yaitu keluarga dan rumah ibadah saja, tidak di sekolah.
Padahal, kata Ustaz MIY, sekolah itu adalah lembaga pendidikan yang paling penting untuk menanamkan keyakinan agama. Karena itulah Undang-Undang Sisdiknas mengatakan bahwa tujuan pendidikan itu di antaranya adalah membentuk anak yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Ucapan pendeta tersebut yang mengatakan pelajaran agama ini bisa menjadi ganjalan serius untuk membangun kerukunan, dipertanyakan Ustaz MIY. “Pendeta itu memaknai kerukunan seperti apa? Sebab antara Islam dan Kristen itu memang menemui titik temu dan titik tengkar yang cukup banyak, justru di situlah Islam memiliki tuntunan bagaimana menyikapi perbedaan tersebut,” bebernya.
Ketiga, yang patut dikritisi adalah sikap Kementerian Agama yang langsung menindaklanjuti surat permintaan PGI tersebut. Menurut Ustaz MIY, seharusnya ada mekanisme, misalnya, klarifikasi atau penjelasan dulu. Sekelas Menteri Agama harus bisa menjelaskan bahwa ini adalah pelajaran agama Islam dan untuk murid Islam. Jadi masalah bisa selesai dalam pertemuan tersebut, bukan malah memerintahkan pada stafnya untuk meneliti.
“Lho buku itu pasti sudah diteliti pasti, dan itu sudah berjalan sekian lama. Lho seolah-olah kita itu baru tahu ada yang salah itu lho, kan konyol itu. Apalagi Kepala Pusat Kurikulum dan Perbukuan Kemendikbud membenarkan apa yang dikatakan oleh pendeta Gultom itu,” pungkasnya.[] Agung Sumartono