Minoritas – Mayoritas

 Minoritas – Mayoritas

Oleh: M. Arifin (Tabayyun Center)

Tirani minoritas bisa berkembang akibat lemahnya atau gagalnya negara dalam melindungi kepentingan mayoritas rakyat sekaligus menjaga kepentingan kaum minoritas. Kelemahan atau kegagalan ini dipicu oleh landasan teologis negara ini yang tidak jelas sehingga tidak jelas pula pijakan yang digunakan dalam menata kehidupan masyarakat yang majemuk.

Konflik kepentingan antara mayoritas dan minoritas akan terus berlangsung selama masyarakat dan negara ini diatur dengan sistem sekuler, di mana sistem ini tidak memiliki basis teologis yang jelas untuk menata secara adil antara kepentingan mayoritas Muslim dan minoritas non Muslim.

Islam tidak mengenal mayoritas-minoritas. Negara akan berusaha menjaga seluruh warga negara tanpa kecuali.

“Allah tiada melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil..” (TQS al-Mumtahanah [60]: 9)

Ayat ini menjelaskan prinsip moral dan legal yang harus dijadikan pijakan oleh kaum Muslim, yaitu kewajiban bersikap baik dan adil kepada siapa saja yang tidak membangun permusuhan dengan mereka.

Prinsip-prinsip seperti ini tidak pernah dikenal dalam sejarah umat manusia, sebelum datangnya Islam. Setelahnya, prinsip-prinsip ini pun tetap hidup sepanjang beberapa abad. Ketika ini tidak ada lagi, maka nestapa dan penderitaan pun menyeruak, dan tetap ada hingga sekarang bahkan nyaris punah, karena hawa nafsu, fanatisme dan sektarian.

Islam menjamin hak-hak orang-orang non-Muslim, dan memberikan keistimewaan kepada mereka. Yang terpenting adalah jaminan kebebasan beragama. Mereka dijamin untuk tetap memeluk agamanya, dan tidak boleh dipaksa. (TQS al-Baqarah [2]: 256).

Khilafah memberikan kebebasan kepada orang kafir untuk memeluk agamanya; beribadah dengan tatacara agamanya; makan dan minum sesuai dengan ketentuan agamanya; kawin dan cerai mengikuti agamanya. Semuanya ini merupakan keistimewaan yang diberikan oleh Islam kepada mereka.

Di luar itu, mereka sama dengan kaum Muslim. Sama-sama harus tunduk kepada sistem Islam. Misalnya, jika kaum Muslim mencuri dipotong tangan, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim berzina dicambuk atau dirajam, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim tidak boleh mempraktikkan riba, maka orang non-Muslim pun sama. Jika kaum Muslim berhak mendapatkan jaminan kebutuhan dasar, seperti sandang, papan dan pangan, serta kesehatan, pendidikan dan keamanan, maka orang-orang non-Muslim pun sama.

Sebagai warga negara Islam, Islam menjamin hak-hak orang non-Muslim. Bahkan Islam mengancam siapa saja yang melakukan kezaliman kepada mereka, atau menciderai hak-hak mereka. Termasuk di dalamnya, negara menjamin hartanya. Semua harta warga Negara-tanpa memandang agamanya-wajib dijaga oleh Negara.

Islam mengharamkan harta orang kafir diambil atau dikuasai dengan cara yang batil, baik dicuri, dirampas, dirampok atau bentuk-bentuk kezaliman yang lain. Secara nyata, kebijakan tersebut tampak pada zaman Nabi SAW kepada penduduk Najran: “Penduduk Najran dan keluarga mereka berhak mendapatkan perlindungan Allah, dan jaminan Muhammad utusan Allah, baik harta, agama maupun jual-beli mereka, serta apa saja yang ada dalam kekuasaan mereka, baik kecil maupun besar.” (HR al-Baihaqi).

Dalam negara khilafah, kaum Muslim sebagai warga negara menjadi obyek pelayanan negara. Kalau terhadap kaum non Muslim saja negara begitu peduli, apalagi terhadap kaum Muslim. Negara akan mengerahkan segenap kemampuannya untuk melindungi umat ini dan menyejahterakan mereka. Mereka tidak akan tertindas, sebaliknya hidup mulia.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *