Oleh: Prof Dr Ing Fahmi Amhar
Di negeri ini, setiap tanggal 10 Agustus diperingati sebagai “Hari Kebangkitan Teknologi”. Itu terjadi sejak tahun 1995, bertepatan dengan momentum penerbangan pertama pesawat canggih karya murni bangsa Indonesia, yaitu N250. Tetapi benarkah kebangkitan teknologi yang dimaksud tidak cuma mimpi?
Faktanya, tahun 1998 Indonesia justru didera krisis yang berkepanjangan. Ribuan ilmuwan kita akhirnya hengkang ke luar negeri, atau tetap di dalam negeri tetapi tidak lagi berkiprah dalam pengembangan teknologi. Ada yang lalu terjun di dunia pendidikan, bisnis non teknologi ataupun dakwah. Tentu saja semua pekerjaan itu mulia, tetapi lantas siapa yang akan menjadikan bangsa ini tegak dalam teknologi? Bukankah umat Islam minus teknologi akan terjajah, sementara teknologi bila tidak dipandu oleh Islam akan menjajah? Fakta bahwa semakin banyak sumber daya alam dikuasai asing pemilik teknologi, dan semakin banyak produk yang diimpor, bahkan produk pertanian adalah bukti nyata bahwa kita makin terjajah.
Saat ini fenomena yang terjadi justru membuat miris. Dunia penelitian dan pengembangan seolah-olah justru menjadi tempat untuk menyingkirkan “staf yang terlalu pintar” atau “pejabat yang terlalu jujur”, agar mereka “tidak membuat gaduh”. Berbagai insentif riset yang ada diberikan dengan pola mirip arisan, yaitu mereka yang sudah pernah dapat, diimbau tidak mengajukan lagi. Sedang hasilhasil riset berupa penemuan teknologi yang inovatif justru sulit untuk diadopsi, karena pola insentif berupa royalti kepada penemu yang belum jelas. Dan terakhir pengadaan barang dan jasa pemerintah masih sulit mengakomodasi berbagai penemuan bangsa ini, justru ada beberapa yang dikriminalisasi dengan tuduhan yang aneh-aneh, semisal “mobil listrik yang dibuatnya tidak lolos uji emisi”. Padahal setiap anak SD pun tahu bahwa mobil listrik memang tidak memiliki knalpot, lantas bagaimana mengukur uji emisinya?
Dari kesemuanya ini, satu hal yang mungkin paling sulit adalah menemukan indikator yang jelas tentang apa makna “kebangkitan teknologi” itu sendiri.
Kalau kita mengacu kepada Islam, jelas kebangkitan itu adalah tatkala kita bisa efektif menjadi “umat terbaik yang dihadirkan Allah ke tengah manusia untuk menyuruh yang ma’ruf, mencegah yang munkar dan beriman kepada Allah” (TQS 3:110).
Jadi, semua teknologi yang menopang tercapainya misi itu harus dikuasai. Boleh saja kita menerapkan filosofi Jawa “N3” (niteni, nirokake, nambahi = mengamati dengan teliti, mencontoh, mengembangkan). Dan itu dulu yang dilakukan oleh umat Islam generasi awal, baik dalam teknologi pangan, energi, transportasi, informasi, kesehatan dan obat-obatan, hingga pertahanan.
Dengan demikian, tidak perlu lagi ada polarisasi pada pembagian teknologi “tepat guna” dan “teknologi canggih”. Teknologi tepat guna sering dipahami sebagai teknologi yang menyentuh kehidupan rakyat kecil yang merupakan mayoritas, dan dengan mudah dapat diterapkan untuk menaikkan kualitas hidup. Sedang teknologi canggih diasosiasikan sebagai teknologi yang eksklusif, hanya mampu digunakan oleh orang-orang kaya, atau yang berpendidikan tinggi.
Pada masa keemasan peradaban Islam, sebagian besar teknologi yang berkembang berangkat dari kebutuhan mayoritas rakyat. Karena itu mayoritas teknologi yang ada dapat disebut tepat guna.
Misalnya teknologi pangan. Di dunia pertanian muncul Al-Asma’i (740-828 M) yang mengabadikan namanya sebagai ahli hewan ternak dengan bukunya, seperti Kitab tentang Hewan Liar, Kitab tentang Kuda, kitab tentang Domba, dan Âbu Hanîfah Âhmad ibn Dawûd Dînawarî (828-896), sang pendiri ilmu tumbuh-tumbuhan (botani), yang menulis Kitâb al-nabât dan mendeskripsikan sedikitnya 637 tanaman sejak dari “lahir” hingga matinya. Dia juga mengkaji aplikasi astronomi dan meteorologi untuk pertanian, seperti soal posisi matahari, angin, hujan, petir, sungai, mata air. Dia juga mengkaji geografi dalam konteks pertanian, seperti tentang batuan, pasir dan tipe-tipe tanah yang lebih cocok untuk tanaman tertentu.
Pada abad 9/10 M, Abu Bakr Ahmed ibn ‘Ali ibn Qays alWahsyiyah (sekitar tahun 904 M) menulis Kitab al-falaha alnabatiya. Kitab ini mengandung 8 juz yang kelak merevolusi pertanian di dunia, antara lain tentang teknik mencari sumber air, menggalinya, menaikkannya ke atas hinga meningkatkan kualitasnya. Di Barat teknik ibn al-Wahsyiyah ini disebut “Nabatean Agriculture”.
Para insinyur Muslim merintis berbagai teknologi terkait dengan air, baik untuk menaikkannya ke sistem irigasi, atau menggunakannya untuk menjalankan mesin giling. Dengan mesin ini, setiap penggilingan di Baghdad abad 10 sudah mampu menghasilkan 10 ton gandum setiap hari. Pada 1206 al-Jazari menemukan berbagai variasi mesin air yang bekerja otomatis. Berbagai elemen mesin buatannya ini tetap aktual hingga sekarang, ketika mesin digerakkan dengan uap atau listrik.
Di Andalusia, pada abad ke-12, Ibn Al-‘Awwam al Ishbili menulis Kitab al-Filaha yang merupakan sintesa semua ilmu pertanian hingga zamannya, termasuk 585 kultur mikrobiologi, 55 di antaranya tentang pohon buah. Buku ini sangat berpengaruh di Eropa hingga abad-19.
Pada awal abad 13, Abu alAbbas al-Nabati dari Andalusia mengembangkan metode ilmiah untuk botani, mengantar metode eksperimental dalam menguji, mendeskripsikan, dan mengidentifikasi berbagai materi hidup dan memisahkan laporan observasi yang tidak bisa diverifikasi.
Muridnya Ibnu al-Baitar (wafat 1248) mempublikasikan Kitab al-Jami fi al-Adwiya alMufrada, yang merupakan kompilasi botani terbesar selama berabad-abad. Kitab itu memuat sedikitnya 1400 tanaman yang berbeda, makanan, dan obat, yang 300 di antaranya penemuannya sendiri. Ibnu al-Baitar juga meneliti anatomi hewan dan merupakan bapak ilmu kedokteran hewan, sampaisampai istilah Arab untuk ilmu ini menggunakan namanya.
Ini adalah fakta-fakta yang terkait langsung dengan ilmu pertanian dalam arti sempit. Namun revolusi pertanian yang sesungguhnya terjadi dengan berbagai penemuan lain yang tergolong teknologi canggih. Alat-alat untuk memprediksi cuaca, peralatan untuk mempersiapkan lahan, teknologi irigasi, pemupukan, pengendalian hama, teknologi pengolahan pasca panen, hingga manajemen perusahaan pertanian, semua tergolong canggih pada masanya. Kombinasi sinergis dari semua teknologi ini selalu menghasilkan akselerasi dan pada momentum tertentu cukup besar untuk disebut “revolusi pertanian Muslim”.
Revolusi ini menaikkan panenan hingga 100 persen pada tanah yang sama. Kaum Muslim mengembangkan pendekatan ilmiah yang berbasis tiga unsur: sistem rotasi tanaman, irigasi yang canggih, dan kajian jenis-jenis tanaman yang cocok dengan tipe tanah, musim, serta jumlah air yang tersedia. Ini adalah cikal bakal “precission agriculture”, suatu teknologi yang hingga abad-21 tetap terkesan “canggih”, karena memang tidak semua orang mengerti. Orang merasa lebih mudah memberikan pupuk buatan dan pestisida, karena hasilnya “jelas”, meski dalam jangka panjang justru merugikan petani.
Revolusi ini ditunjang juga dengan berbagai hukum pertanahan Islam, sehingga orang yang memproduktifkan tanah mendapat insentif. Tanah tidak lagi dimonopoli kaum feodal dan tak ada lagi petani yang merasa dizalimi sehingga malas-malasan mengolah tanah. Ternyata di samping teknologi tepat guna diperlukan juga “hukum tepat guna” dan “negara tepat guna”.
Karena itu sebenarnya tidak perlu ada dikotomi teknologi tepat guna dan teknologi canggih. Dilihat dari perspektif abad-21, semua teknologi di zaman keemasan Islam dari abad-10 M sampai abad-19 M terlihat cukup sederhana dan “tepat guna”, walaupun ada juga yang sudah kadaluwarsa. Namun ternyata tetap ada sejumlah teknologi yang terasa “canggih’, bahkan hingga hari ini. Kuncinya adalah kaidah fiqih: “Apa saja yang mutlak diperlukan untuk memenuhi suatu kewajiban, maka hukumnya wajib pula untuk diadakan.”. Jadi para ilmuwan Islam tempo dulu tidak terlalu ambil pusing dengan dikotomi canggih atau tepat guna, tetapi apa yang dipandang paling banyak memberi manfaat bagi umat, paling bisa membangkitkan umat.[]
Sumber: Tabloid Mediaumat Edisi 155