Mewujudkan Tauhid yang Hakiki

[Buletin Kaffah no. 003, 25 Agustus 2017/3 Dzulhijjah 1438 H]

Hakikat keimanan kepada Allah SWT adalah menegakkan prinsip-prinsip tauhid dan meniadakan segala bentuk kesyirikan. Secara bahasa, tauhid berarti mengesakan, sementara syirik berarti menyekutukan. Tauhid bermakna mengesakan Allah SWT atau menisbatkan sifat-sifat yang memang milik Allah SWT hanya kepada Diri-Nya.   Sebaliknya, syirik bermakna mempersekutukan Allah SWT dengan makhluk-Nya atau menisbatkan sifat-sifat Allah SWT kepada selain Diri-Nya.

Menurut para ulama, keesaan Allah SWT dianggap tidak lengkap kecuali diekspresikan dalam aspek-aspek tauhid antara lain: Tawhîd ar-Rubûbiyah, Tawhîd al-Asmâ wa ash-Shifât dan Tawhîd al-Ulûhiyah. Ketiga-tiganya harus terwujud agar sikap mentauhidkan Allah SWT benar-benar terpenuhi.

Tawhîd ar-Rubûbiyah

Ar-Rubûbiyah berasal dari kata Rabb yang bisa berarti pemilik, raja, pengatur. Tawhîd ar-Rubûbiyah bermakna: keyakinan bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Sang Pencipta sekaligus Pengatur langit, bumi dan seisinya.  Dialah Yang memberi kekuatan dan rezeki kepada semua yang ada di semesta alam ini. Tidak ada satu pun kejadian yang terjadi tanpa izin dari-Nya. Tawhîd ar-Rubûbiyah ini banyak dijelaskan di dalam Al-Quran. Di antaranya Allah SWT berfirman:

﴿اللهُ خَالِقُ كُلِّ شَيْءٍ وَهُوَ عَلَى كُلِّ شَيْءٍ وَكِيلٌ﴾

Allah adalah Pencipta segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu (TQS az-Zumar [39]: 62).

﴿مَا أَصَابَ مِنْ مُصِيبَةٍ إِلاَّ بِإِذْنِ اللهِ﴾
Tidak ada satu pun musibah yang menimpa seseorang kecuali dengan izin Allah (TQS at-Taghabun [64]:11).

Al-Quran menjelaskan bahwa kaum kafir juga meyakini Allah SWT sebagai Pencipta dan Pengatur alam semesta:

﴿وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ لَيَقُولُنَّ اللهُ قُلِ الْحَمْدُ للهِ بَلْ أَكْثَرُهُمْ لاَ يَعْلَمُونَ﴾

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menciptakan langit dan bumi?” Tentu mereka akan menjawab, “Allah.” Katakanlah, “Segala pujian milik Allah.” Namun, kebanyakan mereka tidak tahu (TQS Luqman [31]: 25).

Banyak nas yang menunjukkan bahwa penduduk Makkah pada masa Nabi saw. mempercayai kekuasaan rubûbiyah Allah sebagai Pencipta sekaligus mempercayai sifat-sifat-Nya. Namun demikian, mereka tetap disebut orang musyrik. Allah SWT berfirman:

﴿وَلَئِنْ سَأَلْتَهُمْ مَنْ خَلَقَ السَّمَوَاتِ وَاْلأَرْضَ وَسَخَّرَ الشَّمْسَ وَالْقَمَرَ لَيَقُولُنَّ اللهُ فَأَنَّى يُؤْفَكُونَ﴾

Sungguh jika kamu bertanya kepada mereka, “Siapakah yang menjadikan langit dan bumi serta menundukkan matahari dan bulan?”  Tentu mereka akan menjawab, “Allah.”  Lalu mengapa mereka (dapat) dipalingkan dari jalan yang benar? (TQS al-‘Ankabut [29]: 61).

Tawhîd al-Ulûhiyyah

Penduduk Makkah memang meyakini aspek rubûbiyah Allah SWT. Namun, mereka mengingkari aspek ulûhiyah-Nya. Inilah yang membuat mereka menjadi kafir sekaligus musyrik. Hal itu terlihat tatkala Rasulullah saw. berkata kepada mereka, “Qûlû lâ ilâha illâ AlLâh (Katakanlah: tiada tuhan selain Allah)”, fa qâlû: ilâh[an] wâhid[an]? (Mereka berkata: hanya satu tuhan?)” Orang-orang kafir itu menjawab:

﴿أَجَعَلَ اْلآلِهَةَ إِلَهًا وَاحِدًا إِنَّ هَذَا لَشَيْءٌ عُجَابٌ﴾

Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang satu? Sungguh ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan (TQS Shad [38]: 5).

Dalam hal ini al-Muqrizî menyatakan, “Tidak ada keraguan lagi, tauhid rubûbiyyah tidak diingkari oleh orang-orang musyrik. Bahkan mereka menetapkan bahwa Dialah satu-satunya Pencipta dan Pengatur alam semesta. Mereka hanya mengingkari tauhid ulûhiyyah (keyakinan bahwa Allahlah satu-satunya yang layak dan wajib disembah) (Al-Muqrizî, Tajrîd al-Tawhîd al-Mufîd, hal. 4-9, cet. 1373 H).

Tawhîd al-Asmâ’ wa ash-Shifât

Adapun Tawhîd al-Asmâ’ wa ash-Shifât merupakan keyakinan bahwa Allah SWT memiliki nama dan sifat, yang dengan nama dan sifat-Nya itu, Dia atau Rasul-Nya melukiskan keadaan Diri-Nya. Contohnya Allah SWT berfirman:

﴿اللَّهُ لَا إِلَٰهَ إِلَّا هُوَ لَهُ الْأَسْمَاءُ الْحُسْنَىٰ﴾

Dialah Allah. Tidak ada Tuhan (yang berhak disembah) melainkan Dia. Dia mempunyai nama-nama yang baik (TQS Thaha [20]: 8).

Masih banyak nas lain yang menjelaskan asmâ dan shifât Allah SWT. Nama dan sifat Allah SWT tidaklah serupa dengan sifat dan nama makhluk-Nya. Allah SWT telah memberikan rambu-rambu dalam memahami sifat dan nama-Nya:

﴿لَيْسَ كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ﴾

Tidak ada sesuatu pun yang serupa dengan Dia. Dialah Yang Maha Mendengar lagi Maha Melihat”(TQS as-Syura [42]: 11).

Perwujudan Tawhîd al-Ulûhiyyah

Manifestasi Tawhîd al-Ulûhiyyah di antaranya adalah beribadah kepada Allah SWT sesuai dengan tatacara yang telah Dia syariatkan. Ibadah dalam Islam bermakna penyerahan diri kepada Allah SWT yang diwujudkan melalui kepatuhan pada hukum-hukum-Nya. Salah satu aspek penting dalam Tawhîd al-Ulûhiyyah ini adalah aspek al-Hâkimiyyah, yakni mengesakan Allah SWT sebagai satu-satunya Pembuat hukum yang wajib ditaati dan diikuti.

Allah SWT telah meniadakan hak untuk membuat hukum dari selain Diri-Nya dan menegaskan bahwa hak membuat hukum hanya milik-Nya semata. Allah SWT telah berfirman:

﴿إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ للهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ﴾

Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik (TQS al-An‘am [6]: 57).

Allah SWT juga menyatakan siapa saja yang tidak menghukumi manusia dengan syariah-Nya—atas dasar keyakinan bahwa syariah-Nya tidak wajib diterapkan—adalah kafir. Allah SWT berfirman:

﴿وَمَنْ لَمْ يَحْكُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللهُ فَأُولَئِكَ هُمُ الْكَافِرُونَ﴾

Siapa saja yang tidak memberikan keputusan menurut hukum yang telah Allah turunkan, mereka adalah orang-orang kafir (TQS al-Maidah [5]: 44).

Berpegang teguh atau lebih mengutamakan hukum-hukum buatan manusia daripada syariah-Nya merupakan kesyirikan dalam tauhid al-‘ibâdah.  Allah SWT menggambarkan bentuk kesyirikan itu pada Bani Israel dalam firman-Nya:

 اتَّخَذُوا أَحْبَارَهُمْ وَرُهْبَانَهُمْ أَرْبَابًا مِنْ دُونِ اللَّهِ …

Mereka menjadikan para pendeta dan para rahib mereka sebagai tuhan-tuhan selain Allah (QS at-Taubah [9]: 31).

Saat mendengar ayat di atas, Adi bin Hatim berkata, “Wahai Rasulullah, mereka tidaklah menyembah para pendeta dan rahib mereka.” Namun, beliau menyanggah pernyataan itu dengan sabda:

« بَلَى، إِنَّهُمْ حَرَّمُوْا عَلَيْهِمْ الْحَلاَلَ، وَأَحَلُّوْا لَهُمْ الْحَرَامَ، فَاتَّبِعُوْهُمْ، فَذَلِكَ عِبَادَتُهُمْ إِيَاهُمْ »

Benar (mereka menyembah para pendeta dan para rahib mereka). Sungguh para pendeta dan para rahib itu telah mengharamkan yang halal atas mereka dan menghalalkan yang haram untuk mereka. Lalu mereka mengikuti para pendeta dan para rahib mereka itu. Itulah ibadah (penyembahan) mereka kepada para pendeta dan para rahib mereka  (HR Ahmad dan Tirmidzi).

Atas dasar itu, menyakini syariah Allah SWT sebagai satu-satunya hukum yang berhak mengatur kehidupan manusia merupakan refleksi dari tauhid ulûhiyyah. Seorang Muslim harus menyakini bahwa hanya syariah Allah (syariah-Nya) satu-satunya hukum terbaik yang mampu memecahkan seluruh problem umat manusia. Ia tidak boleh menyakini bahwa ada aturan atau hukum lain yang mampu menyaingi atau setingkat levelnya dengan syariah-Nya.

Seorang Mukmin wajib menjunjung tinggi al-Quran dan as-Sunnah.  Ia hanya akan berhukum dengan aturan-aturan Allah SWT. Berhukum hanya pada al-Quran dan as-Sunnah adalah kewajiban mendasar seorang Muslim sekaligus refleksi keimanannya kepada Allah SWT.  Allah SWT berfirman:

﴿أَلَمْ تَرَ إِلَى الَّذِينَ يَزْعُمُونَ أَنَّهُمْ ءَامَنُوا بِمَا أُنْزِلَ إِلَيْكَ وَمَا أُنْزِلَ مِنْ قَبْلِكَ يُرِيدُونَ أَنْ يَتَحَاكَمُوا إِلَى الطَّاغُوتِ وَقَدْ أُمِرُوا أَنْ يَكْفُرُوا بِهِ وَيُرِيدُ الشَّيْطَانُ أَنْ يُضِلَّهُمْ ضَلاَلاً بَعِيدًا﴾

Apakah kamu tidak memperhatikan orang-orang yang mengaku diri mereka telah mengimani apa yang telah diturunkan kepada kamu dan apa yang telah diturunkan sebelum kamu? Mereka hendak berhukum kepada thâghût. Padahal mereka telah diperintah untuk mengingkari thâghût itu. Setan bermaksud menyesatkan mereka dengan penyesatan yang sejauh-jauhnya (TQS an-Nisa’ [4]: 60).

Alah SWT bahkan menafikan keimanan dari siapapun yang tidak berhukum pada syariah-Nya (syariah Islam):

﴿فَلاَ وَرَبِّكَ لاَ يُؤْمِنُونَ حَتَّى يُحَكِّمُوكَ فِيمَا شَجَرَ بَيْنَهُمْ ثُمَّ لاَ يَجِدُوا فِي أَنْفُسِهِمْ حَرَجًا مِمَّا قَضَيْتَ وَيُسَلِّمُوا تَسْلِيمًا﴾

Demi Tuhanmu. Mereka pada hakikatnya tidak beriman hingga mereka menjadikan kamu (Muhammad) hakim dalam perkara yang mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa keberatan dalam hati mereka terhadap putusan yang kamu berikan, dan mereka menerimanya dengan sepenuhnya (TQS an-Nisâ’ [4]: 65).

Tatkala menafsirkan ayat ini, Abdurrahman as-Sa’di menyatakan, “Allah SWT telah bersumpah atas Nama-Nya dengan menyatakan bahwa mereka tidak beriman sampai mereka menjadikan Rasulullah saw. sebagai hakim yang memutuskan perkara-perkara yang mereka perselisihkan…Namun, mereka tidak cukup hanya ber-tahkîm kepada Rasul saw. saja. Mereka juga harus menghilangkan keraguan, perasaan sempit dan kesamaran di dalam hati mereka tatkala ber-tahkîm kepada Rasulullah saw….Siapa saja yang menolak untuk berhukum kepada Rasulullah saw. dan tidak mau terikat dengan apa yang telah beliau tetapkan adalah kafir.” (As-Sa‘dî, Taysîr al-Karîm ar-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Manân,  hlm. 90).

Alhasil, meyakini bahwa Allah SWT adalah satu-satunya Pembuat hukum dan bahwa syariah-Nya adalah satu-satunya hukum yang berhak untuk ditaati dan diikuti—dengan menerapkan syariah-Nya itu di tengah kehidupan—merupakan perwujudan nyata dari Tawhîd al-Ulûhiyyah.

WalLâh a’lam bi ash-shawâb. []

Hikmah:

أَفَحُكْمَ الْجَاهِلِيَّةِ يَبْغُونَ وَمَنْ أَحْسَنُ مِنَ اللَّهِ حُكْمًا لِقَوْمٍ يُوقِنُونَ

Apakah hukum Jahiliah yang mereka kehendaki? (Hukum) siapakah yang lebih baik daripada (hukum) Allah bagi orang-orang yang yakin? (TQS al-Maidah [5]: 50).

Share artikel ini: