Mewaspadai Politik Adu Domba Musuh
Oleh: Aminudin Syuhadak
Kaum kafir Barat tiada henti-hentinya berpikir dan bekerja siang dan malam untuk menguasai kaum Muslim. Mereka tidak akan pernah ridha dengan kemuliaan, kebahagiaan, ketenteraman dan kedamaian yang menyelimuti hati dan pikiran kaum Muslim karena akidah yang mereka emban.
Sepanjang kaum Muslim berpegang teguh pada agama-Nya, menerapkan setiap syariah-Nya, selalu ridha dengan seluruh perintah dan larangan-Nya, bersatu-padu dalam ikatan negara dan persaudaraan yang kuat, maka kaum Muslim tidak pernah bergeser sedikitpun dari posisi keunggulan dan kemuliaannya. Kaum Muslim dalam kurun dan sepanjang periode mampu memberikan perlindungan dan pengayoman kepada dunia dan menjadikan agama Islam sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Negara-negara kafir penjajah sangat memahami asas dan rahasia di balik kumuliaan kaum Muslim. Sejak kekalahan bertubi-tubi pada Perang Salib, negara-negara kafir Barat dipimpin Inggris mengubah kebijakan umum memerangi kaum Muslim dari strategi Hard Power (pendekatan perang) beralih ke strategi Soft Power (pendekatan pemikiran dan politik). Barat kafir memulai proyek pemisahan akidah Islam dari kehidupan kaum Muslim dan menghancurkan Negara Khilafah sebagai misi prioritas.
Inggris memelopori proyek peruntuhan Khilafah melalui politik adu domba dengan mengirimkan anteknya Mustafa Kemal Pasha, memecah-belah persatuan kaum Muslim di jantung Negara Khilafah. Dengan senjata nasionalisme, Inggris melalui anteknya di jantung Khilafah dan antek yang lain melalui kolaborasi Bani Sa’ud dan Mahzab Wahabi, telah berhasil secara gemilang melepaskan ikatan akidah Islam dan menggantinya dengan ikatan nasionalisme-sekular yang kufur.
Mustafa Kemal menggaungkan nasionalisme Turki, mengungkap keunggulan bangsa Turki sebagai bangsa terbaik sekaligus melepaskan tanggung jawab Turki kepada bangsa Arab yang hanya menghambat kemajuan Turki. Di Jazirah Arab dihembuskan semangat kebangsaan Arab, semangat keunggulan dan kemuliaan Arab di antara seluruh umat dan bangsa, termasuk dorongan yang kuat untuk segera berlepas diri dari kehinaan tunduk pada kekuasaan Khilafah di bawah kepemimpinan bangsa Turki.
Kaum imperialis Barat menginfiltrasikan racun nasionalisme ke dalam tubuh umat Islam melalui kegiatan kristenisasi dan misi zending. Mereka sebagian besar berasal dari Amerika, Inggris dan Prancis pada pertengahan abad ke-19 di Suriah dan Libanon. Melalui ide-ide nasionalisme itu, kaum misionaris menyulut sentimen kebencian terhadap Khilafah Utsmaniyah, yang mereka tuding sebagai negara penjajah bagi negeri-negeri di sekitarnya. Mereka kemudian meniupkan nasionalisme di Arab Saudi, Mesir, Libanon, Suriah, dan sebagainya untuk melakukan perlawanan terhadap Khilafah Ustmaniyah. Perjanjian Sykes-Picot (1915) yang membagi-bagi wilayah Khilafah Ustmaniyah di tangan penjajah merupakan bukti ‘keampuhan’ ide nasionalisme dalam memecah-belah kaum Muslim dan menghancurkan Khilafah (Abdul Qadim Zallum, Kayfa Hudimat al-Khilafah, 1990).
Di Indonesia, politik belah-bambu (Defide at Impera) menjadi senjata klasik yang ampuh digunakan Belanda untuk menundukan Nusantara sekaligus mempertahankan kekuasaannya. Sejak periode sebelum kemerdekaan, Belanda secara konsisten menerapkan politik Devide at Impera untuk menundukan dan memadamkan api perjuangan kaum Muslim di Nusantara.
Perang Diponegoro dan Perang Padri adalah contoh paling heroik perjuangan kaum Muslim di Nusantara dengan semangat jihad yang sangat merepotkan Belanda. Perang Diponegoro yang juga dikenal dengan sebutan Perang Jawa (1825-1830) dan Perang Padri (1803 hingga 1838) tidak akan pernah berhasil dimenangkan Belanda jika saja tidak ada pengkhianatan dan perpecahan di tubuh kaum Muslim. Dengan Politik Devide at Impera, kelicikan dan pengkhianatan, Belanda mampu menumpas perlawanan kaum Muslim pada Perang Diponegoro dan Perang padri.
Pasca Kemerdekaan, politik adu domba masih menjadi pilihan favorit para penjajah untuk membelah dan melumpuhkan kekuatan Islam. Kekuatan nasionalis sekular yang diwakili Partai Nasional Indonesia didorong menjadi kekuatan penyeimbang untuk membendung arus perjuangan umat Islam yang telah berfusi dalam satu wadah politik Partai Masyumi. Entitas komunis juga mengambil peran dalam ruang politik dan mendominasi kekuasaan melalui Partai Komunis Indonesia (PKI). Bahkan untuk melakukan penyeimbangan kekuasaan, Soekarno terpaksa mengadopsi politik Nasakom (Nasionalis, Agama dan Komunis). Padahal sangat mustahil bisa menyatukan Islam dengan Komunisme, sama mustahilnya mencampurkan air dengan api.
Pada saat tampuk kekuasaan beralih ke Rezim Soeharto, adu domba digunakan dengan menekan kekuatan Islam agar berfusi menjadi satu parpol (PPP) yang dikontrol penguasa. Dimunculkan sebuah kelompok kekaryaan (Golkar) meskipun pada faktanya adalah Partai Politik. Kekuatan nasionalis sekular pengikut Soekarno ditekan dan dimarginalkan melalui Partai Demokrasi Indonesia (PDI). Untuk memperoleh legitimasi dan dukungan umat, Sosialisme-komunis ditekan habis, PKI dikubur sebagai sampah sejarah.
Namun, kekuatan penjajahan yang telah bergeser ke Amerika, mulai masuk melakukan upaya aneksasi di Indonesia dengan pendekatan politik, ekonomi, perang pemikiran dan kebudayaan. Senjata utama untuk menguasai Indonesia adalah dengan utang dan perjanjian-perjanjian. Amerika pun tetap tidak pernah meninggalkan politik adu domba warisan penjajahan sebelumnya. Entitas politik yang dianggap sebagai penantang penjajahan secara khusus dan perlawanan terhadap ideologi Kapitalisme global adalah umat Islam.
Dengan strategi memasarkan kebebasan, demokrasi, kesetaraan, HAM dan pluralisme, Amerika berusaha mengontrol arus politik bangsa Indonesia pasca runtuhnya rezim Orde Baru. Pada Pemilu pertama Era Reformasi tahun 1999, dibukalah kran liberalisasi politik. Amerika berhasil mencegah berfusinya partai-partai Islam dan kesatuan umat Islam dengan mendorong semua kelompok Islam masuk dalam panggung politik demokrasi.
Pada era Reformasi umat Islam dibenturkan satu sama lain berdasarkan arah dan kebijakan Barat. Amerika dan Barat intensif mempro-mosikan secara terus-menerus ide tentang kebebasan, keadilan, dan HAM sekaligus melakukan konfrontasi secara agresif kepada siapa saja yang menentang demokrasi. Langkah dan kebijakan AS adalah dengan mendukung kelompok modernis, memperke-nalkan pandangan-pandangan Islam yang moderat ke dalam kurikulum-kurikulum Islam, menyediakan opini dan penilain terhadap fundamentalis dan mempertentangkan persaingan antara kelompok-kelompok Islam dan memposisikan sekularisme dan modernisme sebagai pilihan utama bagi kaum muda Islam.
Amerika mendukung kaum tradisionalis dalam menentang kaum fundamentalis dengan menerbitkan kritik-kritik kaum tradisionalis terhadap ekstremisme kaum fundamental serta mendorong perbedaan antara tradisionalis dengan fundamentalis, mencegah aliansi tradisionalis dengan fundamentalis, memasukan profil modernis ke dalam kelompok tradisionalis dan melakukan diskriminasi antara sektor-sektor tradisionalis yang berbeda dengan fundamentalis.
Cara berikutnya adalah dengan mengkonfrontir dan menentang kaum fundamentalis, secara selektif mendukung kaum sekular dan mendorong pengakuan terhadap fundamentalisme sebagai musuh bersama, dengan mematahkan kekuatan anti-Amerikanisme sekaligus mendorong nasionalisme; mendorong ide bahwa agama dan negara juga dapat dipisahkan dalam Islam dan bahwa hal ini tidak membahayakan keimanan tetapi malah akan memperkuatnya; serta mencemari dan mengancam kelompok yang memperjuangkan hal tersebut (Rand Corporation, Civil Democratic Islam: Partners, Resources and Strategies).
Pada dekade Reformasi jilid II ini, model penjajahan tidak pernah berubah, cara melakukan penjajahan juga masih istiqamah. Hanya saja, kaum Muslim hari ini belum juga mampu mengusir penjajahan Amerika dan Barat. Bangsa Cina malah telah ikut nimbrung berebut jajahan. Akibatnya, kaum Muslim di negeri ini laksana makanan yang siap disantap kaum kafir penjajah dari sudut dan arah manapun.[]