Mewaspadai Kolonialisasi Cina Melalui One Belt One Road (OBOR)

 Mewaspadai Kolonialisasi Cina Melalui One Belt One Road (OBOR)

Oleh: KH. Heru Ivan Ilyasa (Ulama Aswaja Jawa Timur)

China sebagai rival dari Amerika Serikat dalam perebutan kue ekonomi dunia, tampaknya ingin mewujudkan mimpinya kembali ke masa kejayaan Jalur Sutra. Harus diakui pula, dorongan ideologi komunis China dan kapitalisme dalam ekonominya, menjadikan China mencari wilayah baru dalam gaya kolonialisasi. Targetnya jelas mengumpulkan kekayaan sebanyak-banyaknya dan menyandera negara lain dalam skema kerja sama yang tidak saling menguntungkan.

One Belt One Road (OBOR) menjadi mimpi besar China menjadi digdaya. Gagasan OBOR menjadi proyek besar China untuk masuk ke negara-negara berkembang, kaya sumber daya alam, dan yang mudah bertekuk lutut. Konsep OBOR juga menjadi master plan pembangunan jalur perdagangan Asia ke Afrika dan Eropa. Indonesia menjadi sasaran dalam lingkaran OBOR. Akankah OBOR menguntungkan Indonesia? Ataukah justru menjadikan Indonesia sebagai jajahan baru dan bertekuk lutut dalam hegemoni China secara politik dan ekonomi?

Nyala OBOR ke Indonesia

Pada tahun 2013, Presiden Tiongkok, Xi Jinping, mengumumkan gagasan One Belt One Road (OBOR) yang merupakan inisiasi strategi geopolitik Tiongkok dengan pemanfaatan jalur transportasi dunia sebagai jalur perdagangan yang tersebar di kawasan Eurasia. Visi dari OBOR itu sendiri ialah meningkatkan kesejahteraan dan perwujudan modernisasi Tiongkok di tahun 2020 dengan meningkatkan intensitas perdagangan dengan penyediaan fasilitas infrastruktur, baik darat maupun laut, yang memadai di seluruh kawasan yang ditargetkan.

Dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) OBOR Pada 14-15 Mei 2017 di Beijing, Tiongkok. Terdapat sebuah pertemuan antara 29 Kepala negara dan 50 delegasi dari negara anggota OBOR dan 50 delegasi. Pertemuan tersebut membahas kerjasama ekonomi dan pengembangan proyek infrastruktur.

Dalam suatu kesempatan Presiden Rupublik Indonesia Ir. Joko Widodo, mengatakan bahwa Indonesia merupakan negara Poros Maritim dengan potensi konektifitas antara pulau, pengembangan Industri perkapalan dan kekayaan sumber daya alam ikan. Kemudian Indonesia melihat bahwa koneksitas yang dimiliki oleh OBOR dapat mempengaruhi kegiatan dan perkembangan ekonomi maritim.

Menko Maritim Luhut Binsar Panjaitan, memastikan tahap pertama proyek One Belt One Road China (OBOR) akan ditandatangani bulan April 2019. Ada 28 proyek yang akan ditawarkan. Nilainya mencapai US$ 91,1 miliar setara Rp1.296 triliun. Salah satu proyek yang ditawarkan adalah Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Jonggol. Benar Anda tidak salah baca. Jonggol yang dimaksud adalah sebuah kawasan di Kabupaten Bogor, Jawa Barat.

Jika terealisir daerah yang berdekatan dengan kawasan wisata Puncak itu, akan menjadi enclave baru komunitas pekerja Cina di Indonesia. Mirip Morowali di Sulawesi Tenggara.

Pilihan waktu penandatangannya pada bulan April menunjukkan ada sesuatu yang sangat penting, mendesak, sekaligus darurat. Sulit menghapus kecurigaan Jalur Sutera Modern ini sebagai proyek kejar tayang. Harus beres sebelum pilpres 17 April 2019. Jelas sekali terlihat ada kekhawatiran, jika konstelasi politik Indonesia pasca Pilpres 2019 berubah, proyek ini bisa tidak terlaksana. Karena itu harus dikebut sebelum terlambat.

Main tanda tangan, dan memaksakan proyek-proyek besar di masa injury time, ketika tenggat waktu hampir habis, bukanlah hal yang baru bagi rezim Jokowi. Pemain dan orangnya juga itu-itu saja. Proyeknya juga ada kaitannya dengan kelompok yang itu-itu juga. Modusnya begitu-begitu juga.

Tak Ada Untung

Bagi Cina ada tiga keuntungan besar dengan tersalurnya dana cadangan devisa yang melimpah. Pertama, dana tersebut tetap produktif. Kedua, tersedia lapangan kerja baru untuk tenaga kerjanya yang juga melimpah. Ketiga, memperkuat pengaruh Cina dalam geopolitik global.

Adapun bagi Indonesia dan negera yang telah melakukan kerja sama, lebih banyak buntungnya. Hal itu tampak dari beberapa jebakan yang sudah disiapkan China untuk mencengkeram negara tujuan kerja sama OBOR:

Pertama, pinjaman itu tidak gratis. Proyek-proyek tersebut mempersyaratkan kerjasama dengan perusahaan Cina. Alat mesin, barang-barang produksi, semua dari Cina. Dan yang lebih penting lagi melibatkan tenaga kerja. Kerjasama semacam ini disebut sebagai Turnkey Project. Pemerintah setempat tinggal “menerima kunci,” karena semuanya sudah dibereskan Cina.

Selain membanjirnya tenaga kerja Cina, proyek OBOR juga banyak menimbulkan petaka bagi negara bantuan. Fenomena ini disebut sebagai jebakan utang Cina. The China’s Debt Trap.

Kedua, gagal bayar proyek diserahkan ke China. Pemerintah Srilanka terpaksa menyerahkan pelabuhan laut dalam Hambantota karena tidak bisa membayar utangnya. Banyak pengamat yang mengkhawatirkan di bawah kendali Cina, pelabuhan itu akan dipergunakan sebagai pangkalan kapal selam untuk mengontrol kawasan di Samudera Hindia, dan Laut Cina Selatan.

Di Afrika, Cina juga berhasil mengambil-alih sebuah pelabuhan di Djibouti karena tidak bisa membayar utang. Langkah ini membuat kesal Amerika Serikat (AS) karena Djibouti menjadi pangkalan utama pasukan AS di Afrika. “Beijing mendorong negara lain mempunyai ketergantungan utang, dengan kontrak-kontrak yang tidak jelas, praktik pinjaman predator, kesepakatan korup yang membuat negara-negara lain terlilit utang,” kecam Menlu AS Rex Tillerson.

Ketiga, wilayah jajahan baru. Pemerintah Indonesia jika tidak paham upaya kolonilisasi China melalui OBOR, serta tidak menyiapkan diri menolaknya maka nasib Indonesia bisa saja sial. Indonesia hanya akan menjadi keran bahan baku bagi produsen-produsen global. Kondisi tersebut dengan praktik VOC atau Kongsi Dagang atau Perusahaan Hindia Timur Belanda jilid II.

Keempat, penguasaan SDA dan ekonomi. Jika OBOR dibiarkan, dalam jangka waktu ke depan, Indonesia berpotensi besar dalam orbit ekonomi China. Terkurasnya kekayaan alam Indonesia, banjirnya produk China hingga mematikan produk lokal, menyempitnya lahan dan lapangan pekerjaan bagi anak bangsa ini, bisa terjadi. Indonesia yang kaya, akan menjadi miskin, pengangguran tidak teratasi maksimal, dan bahaya krisis lahan ekonomi untuk rakyat, akibat ekspansi ekonomi China.

Khatimah

Berdasarkan kajian mendalam berkaitan OBOR sebagai proyek ambisius China dalam hegemoni kepentingan politik dan ekonomi, maka umat Islam sebagai pemilik sah negeri ini harus menolak semua itu. Kebijakan mengundang investor asing ke Indonesia dalam ambisius pembangunan infrastruktur oleh Presiden Jokowi, jelas-jelas merugikan rakyat Indonesia.

Ancaman terbesar Indonesia yaitu tergadainya negeri ini dalam jebakan hutang dan hegemoni asing penjajah. Bukankah Indonesia ini negeri yang kaya sumber daya alam dan manusianya? Seharusnya bisa dimanfaatkan untuk kepentingan rakyatnya dan dikelola secara mandiri. Hal yang paling penting yaitu mengelola negeri ini dengan syariah yang telah Allah turunkan. Begitu pun orang-orang kafir tidak boleh menjajah dan menguasai kembali kehidupan umat Islam. Sebagaimana Allah berfirman:

“Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir untuk memusnahkan orang-orang mukmin” (An-Nisa’ [4]: 141)

Tolak OBOR sebagai bentuk kolonialisasi China. Tegakkan kembali Khilafah Islamiyah untuk menyelamatkan umat dan hidup berkah dalam ridho-Nya.[]

Sumber: shautululama.co

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *