Mewaspadai Dibalik Slogan “Antipolitisasi Masjid”

Oleh: Achmad Fathoni (dir. El harokah Research Center)

Beberapa hari ini muncul seruan sekelompok orang yang menyebut diri mereka sebagai “antipolitisasi masjid” mungkin saja diartikan oleh sekelompok orang Islam sebagai seruan “larangan berpolitik bagi orang Islam. Menurut Menag Lukman Hakim Saifuddin, soal deklarasi “Program Antipolitisasi Masjid” yang diluncurkan relawan Joko Widodo.

“Anti politisasi itu pada setiap dan semua rumah ibadah, tak hanya masjid. Politisasi yang dicegah adalah berkampanye dan lakukan politik praktis pragmatis di rumah ibadah..,” tegas Lukman di akun Twitter @lukmansaifuddin meretwet tulisan bertajuk “Relawan Jokowi Luncurkan Program Antipolitisasi Masjid”.

Kontan, slogan tersebut mendapat respon keras dari berbagai kalangan umat Islam, yang diantaranya menganggap siapapun yang melarang membahas politik di masjid ini sama halnya dengan mengamputasi atau memangkas salah satu bagian yang sangat penting dalam Islam, padahal politik dan ekonomi diatur oleh Islam sebagaimana Islam mengatur shalat, akhlak, makanan, pakaian dan seterusnya.

“Di dalam masjid juga termasuk membicarakan masalah ekonomi dan politik. Pemerintah jajahan Belanda tempo dulu juga sudah melarang politisasi masjid. Dengan mengikuti arah Snouck Hurgronje, pemerintah Belanda yang hanya mengizinkan eksistensi masjid dan kaum Muslim itu hanya untuk soal ritual dan ibadah, atau ada dikotomi antara Islam ritual dan Islam ibadah,” kata Pakar sufisme dan Guru Besar Universitas Paramadina, Prof DR Abdul Hadi WM kepada Republika.co.id, di Jakarta, Senin (23/4).

Kita berharap negeri ini damai, sebagaimana kita juga berharap janganlah sampai ada siapapun, baik muslim maupun non muslim melarang-larang orang Islam bicara politik di masjid. Jika di suatu waktu terdapat intel di masjid yang ditugaskan untuk menginteli umat Islam berpidato, berceramah, tentu ini justru mengganggu Islam, menakut-nakuti umat Islam agar tidak membicarakan Islam secara kaffah.

Hari ini kita merasakan dukungan terhadap syariah Islam tiap tahunnya makin kuat, dan The Jakarta Post pernah memuat laporan dengan tajuk, “Dukungan terhadap Syariah Islam yang Menghawatirkan”, dengan menyebut 52% rakyat Indonesia setuju syariah Islam. Menurut beberapa penelitian, rakyat yang setuju penerapan syariah Islam mencapai 74%. Bahkan awal 2008 lalu Shariah Economic and Management Institute merilis, bahwa ada 83% rakyat Indonesia yang setuju syariah Islam diterapkan. Inilah yang sangat ditakuti oleh kalangan islamphobia yang didukung oleh negara-negara kafir, khususnya AS, Australia dan Singapura. Mereka sangat khawatir akan munculnya kekuatan Islam. Karenanya, sebelum terus membesar, kekuatan Islam perlu dicitraburukkan.

Satu hal yang sudah jelas: dari awal isu ‘Program Antipolitisasi Masjid’ menimbulkan tanda Tanya bagi sebagian ulama, sebagian menduga ini adalah ekspresi Islamophobia. Karenanya, umat Islam perlu menyadari bahwa isu ini mampu menjadi alat politik kaum sekuler untuk membungkam ekspresi syiar politik Islam. Maka umat Islam perlu terus menjalin persatuan dan kesatuan antar berbagai komponen umat Islam sehingga tidak porakporanda dengan adanya isu tersebut. Terakhir, umat Islam perlu istiqamah berjuang menegakkan syariah Islam dan menyatukan umat dalam bingkai politik Islam melalui metode yang dicontohkan Nabi saw.: fikriyah (pemikiran), siyasiyah (politik) dan ghayru ‘unfiyah (tanpa kekerasan).[]

Share artikel ini: