Metode Penyampaian Dakwah

Oleh KH M. Shiddiq al-Jawi

ادْعُ إِلَى سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُمْ بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَنْ ضَلَّ عَنْ سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ

Serulah mereka ke jalan Tuhanmu dengan hikmah dan nasihat yang baik serta bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik. Sesungguhnya Tuhanmu adalah Yang lebih mengetahui siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk (QS An-Nahl [16]: 125).

Sabab an-Nuzûl Ayat

Para mufasir berbeda pendapat seputar sabab an-nuzûl (latar belakang turunnya) ayat ini. Al-Wahidi menerangkan bahwa ayat ini turun setelah Rasulullah saw. menyaksikan jenazah 70 sahabat yang syahid dalam Perang Uhud, termasuk Hamzah, paman Rasulullah.[1] Al-Qurthubi menyatakan bahwa ayat ini turun di Makkah ketika adanya perintah kepada Rasulullah saw. untuk melakukan gencatan senjata (muhâdanah) dengan pihak Quraisy. Akan tetapi, As-Suyuthi tidak menjelaskan adanya riwayat yang menjadi sabab an-nuzûl ayat tersebut.[2]

Meskipun demikian, ayat ini tetap berlaku umum untuk sasaran dakwah siapa saja, Muslim ataupun kafir, dan tidak hanya berlaku khusus sesuai dengan sababun nuzul-nya (andaikata ada sabab an-nuzûl-nya). Sebab, ungkapan yang ada memberikan pengertian umum[3]—setelah kata ud‘u (serulah) tidak disebutkan siapa obyek (maf‘ûl bih)-nya. Ini adalah uslûb (gaya pengungkapan) bahasa Arab yang memberikan pengertian umum (li at-ta’mîm).[4] Dari segi siapa yang berdakwah, ayat ini juga berlaku umum. Meski ayat ini adalah perintah Allah kepada Rasulullah, perintah ini juga berlaku untuk umat Islam.[5]

Makna Global Ayat

Ayat di atas menerangkan tiga metode (tharîqah) dakwah, yakni cara pengemban dakwah menyerukan Islam kepada manusia. Ada cara yang berbeda untuk sasaran dakwah yang berbeda.

Pertama, dengan hikmah, maksudnya dengan dalil (burhan) atau hujjah yang jelas (qath‘i ataupun zhanni) sehingga menampakkan kebenaran dan menghilangkan kesamaran.[6] Cara ini tertuju kepada mereka yang ingin mengetahui hakikat kebenaran yang sesungguhnya, yakni mereka yang memiliki kemampuan berpikir yang tinggi atau sempurna;[7] seperti para ulama, pemikir, dan cendekiawan.

Kedua, dengan maw‘izhah hasanah, yaitu peringatan yang baik yang dapat menyentuh akal dan hati (perasaan).[8] Misalnya, dengan menyampaikan aspek targhîb (memberi dorongan/pujian) dan tarhîb (memberi peringatan/celaan) ketika menyampaikan hujjah.[9] Cara ini tertuju kepada masyarakat secara umum. Mereka adalah orang-orang yang taraf berpikirnya di bawah golongan yang diseru dengan hikmah, namun masih dapat berpikir dengan baik dan mempunyai fitrah dan kecenderungan yang lurus.[10]

Ketiga, dengan jadal (jidâl/mujâdalah) billati hiya ahsan, yaitu debat yang paling baik. Dari segi cara penyampaian, perdebatan itu disampaikan dengan cara yang lunak dan lembut, bukan cara yang keras dan kasar.[11] Dari segi topik, semata terfokus pada usaha mengungkap kebenaran, bukan untuk mengalahkan lawan debat semata atau menyerang pribadinya.[12] Dari segi argumentasi, dijalankan dengan cara menghancurkan kebatilan dan membangun kebenaran. Cara ini tertuju kepada orang yang cenderung suka berdebat dan membantah, yang sudah tidak dapat lagi diseru dengan jalan hikmah dan maw‘izhah hasanah.[13]

Bagian akhir ayat memberikan arti, bahwa jika kita telah menyeru manusia dengan tiga jalan tersebut, maka urusan selanjutnya terserah Allah. Memberikan hidayah bukan kuasa manusia, melainkan kuasa Allah semata. Kita hanya berkewajiban menyampaikan (balâgh); Allahlah yang akan memberikan petunjuk serta memberikan balasan, baik kepada yang mendapat hidayah maupun yang tersesat.[14]

Sebagian ulama seperti al-Qurthubi dan al-Baghawi berpendapat, ayat ini telah di-nasakh (dihapus) oleh ayat perang, jika yang menjadi sasaran dakwah adalah orang kafir. Namun, yang lebih tepat adalah pendapat jumhur ulama, yang mengatakan ayat ini muhkam (tidak di-nasakh), dan tetap dapat diberlakukan kepada sasaran dakwah yang Muslim ataupun kafir.[15] Jika sasaran dakwahnya kaum kafir, ayat ini dipahami sebagai langkah pertama untuk mereka, yakni mengajak mereka masuk Islam. Langkah itu wajib ditempuh sebelum langkah kedua, yakni ajakan membayar jizyah dan menjadi ahl adz-dzimmah, dan langkah ketiga, yakni perang (al-qitâl) di jalan Allah.[16]

Pendapat Mufasir dan Analisisnya

a. Makna Hikmah.

Sebagian mufasir seperti as-Suyuthi, al-Fairuzabadi, dan al-Baghawi mengartikan hikmah sebagai al-Quran.[17] Ibnu Katsir menafsirkan hikmah sebagai apa saja yang diturunkan Allah berupa al-Kitab dan As-Sunnah.[18]

Penafsiran tersebut tampaknya masih global. Mufasir lainnya lalu menafsirkan hikmah secara lebih rinci, yakni sebagai hujjah atau dalil. Sebagian mensyaratkan hujjah itu harus bersifat qath‘i (pasti), seperti an-Nawawi al-Jawi. Yang lainnya, seperti al-Baidhawi, tidak mengharuskan sifat qath‘i, tetapi menjelaskan karakter dalil itu, yakni kejelasan yang menghilangkan kesamaran.

An-Nawawi al-Jawi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang menghasilkan akidah yang meyakinkan.

An-Nisaburi menafsirkan hikmah sebagai hujjah yang qath‘i yang dapat menghasilkan keyakinan.

Al-Baidhawi dan Al-Khazin mengartikan hikmah dengan ucapan yang tepat (al-maqâlah al-muhkamah), yaitu dalil yang menjelaskan kebenaran dan menyingkirkan kesamaran (ad-dalil al-muwadhdhih li al-haq wa alimuzîh li asy-syubhah). Al-Asyqar menafsirkan hikmah dengan ucapan yang tepat dan benar (al-maqâlah al-muhakkamah ash-shahîhah).

Kesimpulannya, jumhur mufasir menafsirkan kata hikmah dengan hujjah atau dalil.

Dari ungkapan para mufasir di atas juga dapat dimengerti, bahwa hujjah yang dimaksud adalah hujjah yang bersifat rasional (‘aqliyyah/fikriyyah), yakni hujjah yang tertuju pada akal. Sebab, para mufasir seperti al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi mengaitkan seruan dengan hikmah ini kepada sasarannya yang spesifik, yakni golongan yang mempunyai kemampuan berpikir sempurna.[19]

b. Makna maw‘izhah hasanah.

Sebagian mufasir menafsirkan maw‘izhah hasanah (nasihat/peringatan yang baik) secara global, yaitu nasihat atau peringatan al-Quran (mawâ‘izh al-Qur’ân). Demikian pendapat al-Fairuzabadi, as-Suyuthi, dan al-Baghawi. Namun, as-Suyuthi dan al-Baghawi sedikit menambahkan, dapat juga maknanya perkataan yang lembut (al-qawl ar-raqîq).

Merinci tafsiran global tersebut, para mufasir menjelaskan sifat maw‘izhah hasanah sebagai suatu nasihat yang tertuju pada hati (perasaan), tanpa meninggalkan karakter nasihat itu yang tertuju pada akal.

Sayyid Quthub menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai nasihat yang masuk ke dalam hati dengan lembut (tadkhulu ilâ al-qulûb bi rifq).

An-Nisaburi menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai dalil-dalil yang memuaskan (ad-dalâ’il al-iqna’iyyah), yang tersusun untuk mewujudkan pembenaran (tashdîq) berdasarkan premis-premis yang yang telah diterima.

Al-Baidhawi dan Al-Alusi menafsirkan maw‘izhah hasanah sebagai seruan-seruan yang memuaskan/meyakinkan (al-khithâbât al-muqni‘ah) dan ungkapan-ungkapan yang bermanfaat (al-‘ibâr al-nâafi‘ah).

An-Nawawi al-Jawi menafsirkannya sebagai tanda-tanda yang bersifat zhanni (al-amârât azh-zhanniyah) dan dalil-dalil yang memuaskan.

Al-Khazin menafsirkan maw‘izhah hasanah dengan targhîb (memberi dorongan untuk menjalankan ketaatan) dan tarhîb (memberikan ancaman/peringatan agar meninggalkan kemaksiatan).[20]

Dari berbagai tafsir itu, karakter nasihat yang tergolong maw‘izhah hasanah ada dua:

Pertama, menggunakan ungkapan yang tertuju pada akal. Ini terbukti dengan ungkapan yang digunakan para mufasir, seperti an-Nisaburi, al-Baidhawi, dan al-Alusi, yakni kata dalâ’il (bukti-bukti), muqaddimah (premis), dan khithâb (seruan). Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi akal untuk memahami.

Kedua, menggunakan ungkapan yang tertuju pada hati/perasaan. Terbukti, para mufasir menyifati dalil itu dengan aspek kepuasan hati atau keyakinan. An-Nisaburi, misalnya, mengunakan kata dalâ’il iqnâ‘iyyah (dalil yang menimbulkan kepuasan/keyakinan).

Al-Baidhawi dan al-Alusi menggunakan ungkapan al-khithâbât al-muqni‘ah (ungkapan-ungkapan yang memuaskan). Adanya kepuasan dan keyakinan (iqnâ‘) jelas tidak akan terwujud tanpa proses pembenaran dan kecondongan hati. Semua ini jelas berkaitan dengan fungsi hati untuk meyakini atau puas terhadap sesuatu dalil.

Di antara upaya untuk menyentuh perasaan adalah menyampaikan targhîb dan tarhîb, sebagaimana ditunjukkan oleh Al-Khazin. Seruan dengan maw‘izhah hasanah ini tertuju pada umumnya masyarakat, yakni yang kemampuan berpikirnya tidak secanggih golongan yang diseru dengan hikmah, tetapi masih mempunyai fitrah yang lurus. Demikian menurut al-Baidhawi, al-Alusi, an-Nisaburi, al-Khazin, dan an-Nawawi al-Jawi.

c. Makna jidâl billati hiya ahsan.

Sebagian mufasir memaknai jidâl billati hiya ahsan (debat yang terbaik) secara global. Misalnya Al-Fairuzabadi, beliau menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai berdebat dengan al-Quran atau dengan kalimat Lâ ilâha illâ Allâh.[21] Contohnya, menurut as-Suyuthi, adalah seperti seruan kepada Allah dengan ayat-ayat-Nya dan seruan pada hujjah-hujjah-Nya.[22]

Pada penafsiran yang lebih terinci, akan didapati perbedaan pendapat di kalangan para mufasir. Akan tetapi, perbedaan itu sesungguhnya dapat dihimpun (jama’) dan diletakkan dalam aspeknya masing-masing.

Perbedaan itu dapat dikategorikan menjadi tiga aspek. Pertama, dari segi cara (uslûb), sebagian mufasir menafsirkan jidâl billati hiya ahsan sebagai cara yang lembut (layyin) dan lunak (rifq), bukan dengan cara keras lagi kasar. Inilah penafsiran Ibn Katsir, al-Baghawi, al-Baidhawi, al-Khazin, dan M. Abdul Mun’in Al-Jamal.

Kedua, dari segi topik (fokus) debat, sebagian mufasir menjelaskan bahwa jidâl billati hiya ahsan sebagai debat yang dimaksudkan semata-mata untuk mengungkap kebenaran pemikiran, bukan untuk merendahkan atau menyerang pribadi lawan debat. Sayyid Quthub menerangkan bahwa jidâl billati hiya ahsan bukanlah dengan jalan menghinakan (tardzîl) atau mencela (taqbîh) lawan debat, tetapi berusaha meyakinkan lawan untuk sampai pada kebenaran (Fî Zhilâl al-Qur’ân, XIII/292).

Ketiga, dari segi argumentasi, sebagian mufasir menjelaskan bahwa argumentasi dalam jidâl billati hiya ahsan mempunyai dua tujuan sekaligus, yaitu untuk menghancurkan argumentasi lawan (yang batil) dan menegakkan argumentasi kita (yang haq).

Imam an-Nawawi al-Jawi (Marah Labid, I/517) menjelaskan bahwa tujuan debat adalah ifhâmuhum wa ilzâmuhum (untuk membuat diam lawan debat dan menetapkan kebenaran pada dirinya).[23]

Imam al-Alusi mencontohkan debatnya Nabi Ibrahim a.s. dengan Raja Namrudz (Rûh al-Ma‘âni, V/487).

Jika kita dalami, dalam debat itu ada dua hal sekaligus: menetapkan kebenaran dan menghancurkan kebatilan (Lihat: QS al-Baqarah [2] : 258). Seruan dengan jidâl billati hiya tertuju kepada orang yang menentang kebenaran dan cenderung untuk membantah dan mendebat.

Aplikasi dalam Dakwah

Jika kita hendak menjelaskan wajibnya menegakkan Khilafah Islamiyah, misalnya, kita dapat menggunakan cara hikmah; jika kita berdakwah kepada ulama, intelektual, pemikir, dan semisalnya, dalam forum yang khusus dan terbatas (bukan forum umum).

Di sana dapat dijelaskan wajibnya Khilafah secara detil dan mendalam, misalnya dengan menerangkan definisinya; berbagai definisi Khilafah dan tarjîh (analisis)-nya; dalil-dalil kewajibannya secara rinci dari ayat al-Quran, as-Sunnah, Ijma Sahabat, Qâwâ‘id Syar‘iyyah, termasuk juga wajh istidlâl (cara penyimpulan hukum dari dalilnya) sesuai dengan disiplin ilmu ushul fikih; berbagai pendapat ulama salaf dan khalaf seputar wajibnya Khilafah, kitab-kitab rujukannya, termasuk bantahan terhadap pendapat yang mengingkari wajibnya Khilafah, baik pendapat dari orang terdahulu maupun orang sekarang.

Kepada masyarakat awam, dalam forum-forum yang umum dan terbuka, ditempuh cara maw‘izhah hasanah. Di sini tetap harus dijelaskan wajibnya Khilafah beserta dalil-dalilnya, hanya saja tidak sedetil dan sedalam penjelasan kita kepada golongan yang diseru dengan hikmah di atas, disertai dengan targhîb dan tarhîb untuk menyentuh perasaan mereka, misalnya disampaikan hadis sahih riwayat Imam Muslim, bahwa siapa saja yang tidak berbaiat kepada Khalifah, dia akan mati jahiliah.

Adapun kepada para penentang Khilafah, seperti kaum sekular dan liberal, ditempuh cara jidâl billati hiya ahsan, baik dalam forum khusus maupun umum. Kita berbicara secara lunak, tidak kasar; terfokus pada ide, bukan pribadi. Kita menghancurkan argumen-argumen palsu mereka untuk menolak Khilafah, yang sesungguhnya adalah ide sekularisme yang kufur. Lalu kita menegakkan hujjah-hujjah kita atas mereka bahwa kewajiban Khilafah adalah sesuatu yang tidak dapat diragukan lagi, kecuali bagi orang-orang kafir atau munafik yang sombong terhadap kebenaran. Wallâhu a‘lam. []

Catatan kaki:

[1] Al-Wahidi, Asbâb an-Nuzûl, dalam Syaikh Hasanain Muhammad Makhluf, hamisy (margin) Tafsîr wa Bayân Kalimât al-Qur’ân, hlm. 249.

[2] As-Suyuthi dan al-Mahalli, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm (Tafsîr al-Jalâlayn), hlm. 196-197.

[3] Ini berdasarkan kaidah ushul, “Al-‘Ibrah bi ‘umûm al-lafzhi lâ bi khushûsh as-sabab” (Yang menjadi patokan adalah keumuman ungkapan, bukan kekhususan sebab). Lihat Muhammad bin ‘Alawi Al-Maliki, Zubdah al-Itqân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, hlm. 12; Wahbah az-Zuhaili, Ushûl al-Fiqh al-Islâmi, I/273.

[4] Contoh lain seperti ini, firman Allah yang berbunyi: Wallâhu yad‘u ilâ Dâr as-Salâm (Allah menyeru [manusia] ke Darus Salam [surga]. [QS Yunus (10): 25]). Lihat asy-Syaukani, Irsyâd al-Fuhûl, hlm. 132; Syaikh Muhammad Nashir aAs-Sa’di, 70 Kaidah Penafsiran Al-Qur`an (Al-Qawâ‘id al-Hasan fî Tafsîr al-Qur’ân), hlm. 14.

[5] Ini sesuai dengan kaidah ushul, “Khithâb ar-rasûl khithâb li ummatihi” (Seruan [Allah] kepada Rasulullah adalah seruan pula kepada umatnya). Lihat Syaikh Taqiyuddin an-Nabhani, Asy-Syakhshiyah Al-Islamiyah, III/241.

[6] Al-Baidhawi, Anwâr at-Tanzîl wa Asrâr at-Ta‘wîl (Tafsîr al-Baydhawi), III/195; Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma‘âni at-Tanzîl, IV/124; Muhammad Sulayman al-Asyqar, Zubdah at-Tafsîr min Fath al-Qadîr, hlm. 363.

[7] An-Nawawi al-Jawi, Marah Labid Tafsir An-Nawawi, I/516-517.

[8] Muhammad Abdul Mun’in Al-Jamal, At-Tafsîr al-Farîd li al-Qur’ân al-Majîd, hlm. 1704.

[9] Al-Khazin, Lubâb at-Ta‘wîl fî Ma‘âni at-Tanzîl, IV/124. Ini sesuai dengan makna bahasa maw’izhah, yakni memberi nasihat atau peringatan dengan menerangkan akibat-akibat (bi al-‘awâqib) dari sesuatu perbuatan. Lihat Ibrahim Anis dkk, Al-Mu‘jam Al-Wasîth, hlm. 1043.

[10] An-Nisaburi, Gharâ’ib al-Qur’ân wa Raghâ’ib al-Furqân, XIV/130-131.

[11] Demikian menurut Muhammad Khayr Haikal, Al-Jihâd wa al-Qitâl fî as-Siyâsah asy-Syar‘iyyah, I/786 & 790, mengikuti pendapat al-Mawardi dalam Al-Ahkâm ash-Shulthaniyah hlm. 37-38, al-Kasani dalam Badâ`i‘ ash-Shana`i‘, VII/100, dan As-Sarakhsi dalam Syarh as-Sayr al-Kabîr, I/75-76.

[12] Sayyid Quthub, Fî Zhilâl al-Qur’ân, XIII/292.

[13] Al-Alusi, Rûh al-Ma‘âni, V/487.

[14] Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur’ân al-‘Azhîm, II/591.

[15] Al-Alusi, V/487; Dr. Muhammad Abdul Mun’in al-Jamal, hlm. 1704.

[16] Tiga alternatif bertahap ini didasarkan pada hadis sahih riwayat Imam Muslim dari sahabat Buraidah al-Aslami r.a. (Shahîh Muslim, hadis no. 1731); Muhammad Khayr Haikal, I/786 & 790.

[17] As-Suyuthi dan Imam Al-Mahalli, hlm. 199; al-Baghawi, Ma‘âlim at-Tanzîl (Tafsîr al-Baghawi), III/74; al-Fayruzabadi, hlm. 232.

[18] Ibnu Katsir, II/591.

[19] Lihat: Al-Baidhawi, III/195; Al-Alusi, V/487; an-Nisaburi, XIV/130-131; Al-Khazin, IV/124; an-Nawawi, I/516-517.

[20] Lihat: Sayyid Quthub, XIII/292; an-Nisaburi, XIV/131; al-Baidhawi, III/195; al-Alusi, V/487; an-Nawawi, I/517; al-Khazin, IV/124.

[21] Al-Fayruzabadi, hlm. 232.

[22] As-Suyuthi dan al-Mahalli, hlm. 199.

[23] An-Nawawi al-Jawi, I/516-517.

Share artikel ini: