Meski Pejabat Cina Masuk Daftar Pelanggar HAM, Bukan Berarti Barat Peduli Uighur
Mediaumat.news – Dimasukkannya beberapa pejabat Cina ke dalam daftar hitam karena pelanggaran hak asasi manusia (HAM) oleh Uni Eropa, dinilai bukan sebagai bentuk kepedulian kepada Muslim Uighur tetapi semata-mata hanya untuk kepentingan Barat saja.
“Sesungguhnya Barat menggunakan isu hak asasi manusia ini, ya sesuai dengan kepentingan mereka. Barat sebenarnya tidak peduli pada nasib Muslim Uighur,” ujar Pengamat Politik Internasional Farid Wadjdi kepada Mediaumat.news, Jumat (19/3/2021).
Menurutnya, Barat dengan sikap pragmatismenya akan menggunakan isu demokrasi dan HAM jika menguntungkan mereka sebagaimana pelanggaran HAM yang dilakukan Cina terhadap Muslim Uighur di Xinjiang (Turkistan Timur).
Tapi, kata Farid, apabila isu HAM tersebut tidak menguntungkan mereka, maka Barat akan dengan mudah tidak peduli atau bahkan mendukung rezim yang melakukan pelanggaran HAM. Hal itu bisa dilihat dukungan Barat kepada rezim represif Bashar Asad di Suriah dan Al-Sisi di Mesir.
Farid menilai, ada kepentingan politik lain bagi Barat di balik isu HAM Uighur. Ia menyebut isu HAM Uighur itu digunakan Barat untuk menekan Cina, sebab isu HAM biasanya memang efektif untuk mengendalikan suatu negara. Contohnya isu HAM di Papua yang digunakan Barat untuk mendikte Indonesia.
Farid menegaskan, kaum Muslim tidak bisa berharap pada Amerika dan negara-negara Eropa untuk menyelesaikan pelanggaran HAM yang ada di negeri-negeri Islam termasuk di Turkistan Timur yang dicaplok Cina dan diganti namanya menjadi Xinjiang. Sebab mereka tidak akan serius dikarenakan memiliki kepentingan sendiri.
Oleh karena itu, menurut Farid, umat Islam harus memiliki kekuatan sendiri baik secara politik maupun militer untuk bisa menyelesaikan masalah HAM itu dengan cara pembebasan negeri-negeri Islam yang tertindas tersebut.
Terakhir, ia menyebut, hal itu tidak bisa dilakukan kalau umat Islam tidak memiliki institusi politik dalam level global yang bisa memengaruhi konstelasi politik internasional. “Dan itu hanya pernah terjadi ketika di tengah-tengah umat Islam ada negara khilafah,” pungkasnya.[] Agung Sumartono