Mediaumat.info – Keputusan agar segera dilakukan merger atau dalam ungkapan lain, ‘kawin paksa’, antara unit usaha syariah milik BTN dengan PT Bank Muamalat Tbk, dinilai akan membebani Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH).
“Kawin paksa BTN Syariah dan Bank Muamalat akan membebani BPKH,” ujar Pengamat Kebijakan Publik Dr. Ichsanudin Noorsy dalam keterangan tertulis, yang diterima media-umat.info, Senin (1/4/2024).
Diberitakan sebelumnya, meski uji tuntas atau due diligence terhadap Bank Muamalat hingga kini belum final, keputusan untuk melakukan merger akan segera dilakukan.
Hal ini disampaikan Direktur Utama BTN Nixon LP Napitupulu memberi update proses merger antara unit usaha syariah milik BTN dengan PT Bank Muamalat Tbk.
“Masih diatur, karena seluruh perjanjian dilihat, laporan keuangan juga dilihat,” kata Nixon, di Jakarta (10/3).
Meski begitu, perseroan telah memberi target waktu. “Di April kita mengambil keputusannya,” jelasnya.
Terlepas itu, kata Noorsy lebih lanjut, isu ‘kawin paksa’ BTN Syariah dan Bank Muamalat yang terus bergulir ini, lebih merupakan keputusan subyektif pemegang kekuasaan, baik Meneg BUMN, Kemenag, dan OJK sebagai pengawas perbankan dan industri keuangan.
Ini berarti, upaya merger bakal membutuhkan konsultan keuangan dan manajemen yang pembiayaannya berpotensi besar dibebankan kepada umat Islam yang ingin naik haji.
“Dilihat dari angka-angka yang beredar di publik selain data di atas (jumlah pembiayaan pasca merger menjadi Rp57,5 triliun), penggabungan ini menyimpan berbagai masalah. Misalnya (biaya) penilaian korporasi,” paparnya.
Sekadar ditambahkan, penilaian korporasi dimaksud didasarkan nilai pasar yang berdampak pada pajak, dan nilai buku berikut kebutuhan akan konsultan keuangan dan manajemen yang menyita biaya tersendiri.
Padahal ini tidak dikehendaki oleh kedua belah pihak. “Logikanya, di tengah perekonomian seperti sekarang, kenapa harus mengeluarkan biaya yang tidak diperlukan, yang manfaat dan risikonya membutuhkan kajian lebih mendalam?” lontarnya.
Di sisi lain, kecukupan modal yang menurun akan mewajibkan para pemegang saham untuk menyetor. “Bank Muamalat kini kecukupan modalnya mencapai 29 persen akan menjadi sekitar 17 persen setelah kawin paksa,” ungkapnya.
Dalam pendekatan komersial, turunnya kecukupan modal ini tidak memberi daya tarik bisnis dan mengurangi daya ekspansif korporasi sehingga membutuhkan injeksi modal, yang berarti pula, BPKH harus merogoh kocek lagi.
Padahal, hasil optimalisasi dana haji sendiri makin menurun yang diikuti dengan meningkatnya ongkos naik haji (ONH).
“Sudah sejak lama saya menyampaikan, suatu saat BPKH akan mengalami mismatch. Artinya hasil total optimalisasi tidak mencukupi lagi untuk mensubsidi ONH,” ulasnya.
Sementara, sambung Noorsy, masyarakat yang kurang mampu akan menutup ONH, lalu menarik dananya disertai dengan kewajiban BPKH membayarkan hasil opitimalisasi dana jemaah yang bersangkutan.
Belum persoalan lainnya, yaitu masalah akulturasi korporasi BTN Syariah dan Bank Muamalat. Sebagaimana pengalaman Bank Mandiri, Bank Permata, dan BSI yang juga merupakan hasil penggabungan, menunjukkan tidak mudahnya menyelesaikan masalah internal, termasuk kewajiban ‘mencuci piring’ atas berbagai produk pembiayaan.
Ditambah, ‘kawin paksa’ ini sebelumnya juga menjadi tanda tanya besar. “Kenapa Unit Usaha Syariah BTN Syariah tidak digabungkan saat Bank Syariah Mandiri disatukan dengan BRI Syariah dan BNI Syariah menjadi Bank Syariah Indonesia (BSI)?” herannya.
Namun, terlepas apa pun alasannya, kata Noorsy, tidak digabungkannya UUS BTN dengan bank syariah ‘plat merah’ menunjukkan adanya masalah tersendiri yang diduga memberi keuntungan atau manfaat kepada kalangan tertentu.
Tak ayal, Noorsy pun menegaskan, rencana ‘kawin paksa’ tersebut akan bijaksana jika dibatalkan. “Apalagi jika berdampak menggerus lagi dana BPKH, yang berarti memberi keuntungan bagi pihak tertentu,” pungkasnya. [] Zainul Krian
Dapatkan update berita terbaru melalui channel Whatsapp Mediaumat