“Kekuatan anti Islam politik tidak mau dan takut kepentingan kekuasaan mereka menghilang karena menguatnya kekuatan umat Islam pimpinan non formal ini.”
“Islam beribadah itu akan dibiarkan. Islam berekonomi akan diawasi. Islam berpolitik itu akan dicabut seakar-akarnya,” demikian pernyataan Mohammad Natsir.
Pernyataan pendiri Masyumi tersebut, ternyata masih berlaku dan relevan hingga saat ini, meski katanya Indonesia telah memasuki era baru yakni era kebebasan. “Kekuatan anti Islam politik sesungguhnya tidak rela dan takut kalau kekuatan Islam politik memegang tampuk kekuasaan negara,” kata Muchtar Effendi Harahap, Ketua Dewan Pendiri NSEAS (Network for South East Asian Studies).
Dalam tulisan yang tersebar di dunia maya, ia mengemukakan alasan kelompok anti Islam untuk menjegal kekuatan politik umat Islam. “Agar kekuatan Islam ini melemah dan tidak menjadi ancaman pada Pileg (pemilihan legislatif) dan Pilpres (pemilihan presiden) 2019 mendatang,” jelasnya.
Ia menjelaskan, fakta menunjukkan tokoh-tokoh Islam formal sudah ditinggal umat Islam sebagai panutan dan beralih pada tokoh Islam non formal, yang disebut sebagai ulama, ustadz dan habib. Ini dibuktikan dengan Aksi Bela Islam I, II, dan III.
“Kekuatan anti Islam politik tidak mau dan takut kepentingan kekuasaan mereka menghilang karena menguatnya kekuatan umat Islam pimpinan non formal ini, terutama umat Islam kelas menengah perkotaan,” jelas Muchtar.
Mengapa kelompok kelas menengah baru Muslim ini ditakuti? Menurutnya, karena mereka lebih mandiri dan cenderung tidak bergantung pada negara dalam perolehan sumber pencaharian/pendapatan, bahkan tidak suka masuk ke dalam dunia kepartaian juga sebagai anggota legislatif.
Di sinilah, kata Muchtar, bisa dipahami mengapa para tokoh umat non formal sekarang dikriminalisasi. Secara fakta, memang mereka tidak bisa di-KPK-kan karena bukan sebagai penyelenggara negara atau korporat penyogok penyelenggara negara. Ini sangat berbeda dengan tokoh-tokoh Islam formal yang memang lemah dan tersandera secara politik.
Muchtar menegaskan, kekuatan anti Islam Politik ini sesungguhnya tidak takut dengan Habib Rizieq Shihab. Mereka hanya takut dengan kebangkitan kekuatan Islam politik yang terbukti pada Aksi Bela Islam yang anti komunisme, sekulerisme, dan neo-Nasakom.
Bentuk Kriminalisasi
Tokoh-tokoh ABI baik yang di dunia nyata maupun di dunia maya menjadi sasaran kriminalisasi. Tokoh utama ABI Habib Rizieq Shihab bahkan dijerat dengan berbagai ‘kesalahan/kejahatan’ agar bisa ditersangkakan.
Rizieq menyatakan, semua tokoh-tokoh Gerakan Nasional Pengawal Fatwa Majelis Ulama Indonesia (GNPF-MUI) sedang dibidik oleh aparat kepolisian. “Seluruh ceramah-ceramahnya bahkan yang sudah bertahun-tahun lalu semua diperiksa, ditonton lagi dan dicari-cari mana yang bisa dikriminalisasi,” kata Rizieq tak beberapa lama setelah ABI 212.
Ia sendiri menghadapi lima tudingan dari 11 laporan yang masuk ke pihak kepolisian. Mulai dari kasus pelecehan adat dan budaya, penghinaan Pancasila, penistaan agama Kristen dan menebar kebencian berbau SARA, menyebarkan berita bohong karena menyebut lambang Bank Indonesia di uang yang baru adalah ‘palu arit’—lambang Partai Komunis Indonesia/PKI; dan kasus SARA dan menebar kebencian.
Tokoh GNPF lainnya Bachtiar Nasir dan Munarman. Bachtiar dituding telah menyelewengkan dana bantuan untuk rakyat Suriah kepada ISIS. Sedangkan Munarman dituduh telah mencemarkan nama baik pecalang Bali.
Selain tindakan kriminalisasi secara hukum, persekusi yang melanggar hukum terjadi di lapangan. Wakil Sekjen Majelis Ulama Indonesia (MUI) Pusat, Tengku Zulkarnain diancam dengan kekerasan saat ia hendak mengisi Tabligh Akbar di Sintang, Kalimantan Barat. Tengku dihadang tentara Dayak yang membawa senjata tajam saat pesawat Garuda yang ditumpanginya baru saja mendarat di Bandara Sintang. Bukannya di luar bandara, orang berpakaian adat Dayak ini sampai di apron bandar—tempat parkir pesawat yang akan menurunkan penumpang.
Hal yang sama dialami Ketua Umum FPI Sobri Lubis. Ia dihadang orang-orang Dayak di apron Bandara Tjilik Riwut Palangkaraya. Seperti di Sintang, mereka masuk ke apron dengan mengacung-acungkan mandau (senjata khas Dayak).
Penghadangan juga dilakukan terhadap Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah di Bandara Sam Ratulangi Manado. Kelompok agama tertentu masuk ke areal apron Bandara dengan membawa senjata tajam untuk menolak kedatangan Fahri ke kota tersebut.
Selain itu, tokoh yang getol menyuarakan bahaya kebangkitan PKI Ustadz Alfian Tanjung harus menghadapi kriminalisasi. Ia diseret ke meja hijau di Surabaya karena dianggap telah mencemarkan nama Jokowi. Namun, pengadilan membebaskannya. Tapi begitu keluar dari LP Madaeng di Surabaya, ia kembali ditangkap dan diperlakukan bak penjahat kambuhan dengan tudingan pencemaran nama baik Teten Masduki—yang dituding Alfian sebagai anggota PKI.
Nah, di dunia maya, pegiat media sosial Jonru Ginting juga ditangkap. Ia selama ini aktif mengkritik kebijakan pemerintah. Ia dikenai tudingan ujaran kebencian pendukung Jokowi. Sebelumnya Buni Yani yang mengunggah potongan video Ahok di Kepulauan Seribu pun harus menjadi pesakitan. Padahal, Ahok sendiri terbukti bersalah.
Jaringan kaum Muslim yang kritis pun diciduk. Mereka dituduh sebagai bagian dari kelompok Saracen—pegiat dunia maya yang pro Islam. Beberapa aktivis media sosial tersebut kini mendekam di tahanan kepolisian dengan tudingan yang sumir.
Tak hanya individu, puncak dendam kelompok pendukung penista agama itu ditunjukkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang No 2 Tahun 2017 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Dengan Perppu itu, mereka mencabut izin organisasi Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) tanpa proses pengadilan. HTI dituding punya andil sentral dalam kampanye ‘Tolak Pemimpin Kafir’ yang itu memicu Ahok menistakan agama Islam.
Memadamkan Cahaya Islam
Untuk menandingi geliat umat Islam, pemerintah menggelar program deradikalisasi yang melibatkan perguruan tinggi. Rektor dikumpulkan di Bali. Harapannya, semua kampus melaksanakan program ini.
Apa yang dimaksud radikalisme? Definisi orang-orang liberal yang digunakan. Pokoknya, semua yang tidak setuju dengan Ahok dianggap radikal.
Tindak lanjutnya adalah peringatan Sumpah Pemuda, 28 Oktober. Momentum itu digunakan untuk menggalang kekuatan mahasiswa melawan radikalisme dengan tajuk: Aksi Kebangsaan Perguruan Tinggi Melawan Radikalisme.
Namun, upaya itu gagal. Target 4,5 juta mahasiswa tak terwujud. Acara yang di-setting menggemparkan itu tak ada gaungnya. Padahal, usut punya usut, sejumlah uang ditawarkan bagi mahasiswa yang bersedia ikut acara mulai dari Rp 50 ribu hingga Rp 100 ribu per orang. Mungkin mahasiswa masih berpikir rasional. []