Menyorot Gagasan Revolusi Sistem Mata Uang… (Bag. 1)
Oleh: Ahmad Rizal (Dir. Indonesia Justice Monitor)
Hari ini Dollar AS menyentuh posisi tertinggi di Rp 14.910. Kondisi itu kemudian menimbulkan anggapan bahwa fundamental ekonomi dalam negeri saat itu lebih buruk dari 1998. Sebagian ekonom dan praktisi berpendapat bahwa kondisi fundamental perekonomian Indonesia saat ini sangat berbeda dengan fundamental perekonomian Indonesia 20 tahun lalu. Penguatan mata uang AS telah meningkatkan kekhawatiran atas kemampuan negara berkembang untuk melunasi utang dalam dolar AS.
Indonesia, salah satu dari sedikit negara di kawasan Asia yang alami defisit transaksi berjalan pada Juli naik menjadi USD 2,03 miliar. Angka ini tertinggi dalam lima tahun. Termasuk utang luar negeri juga menekan mata uang. BI dituding turut jadi penyebab rupiah terpuruk, namun dari BI sendiri melakukan inisiatif untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, melakukan intervensi baik di pasar valas maupun pasar SBN.
Dengan sistem ekonomi neoliberal saat ini, tampaknya pelemahan rupiah tak semata akibat persoalan di luar negeri. Persoalan menurunnya kepercayaan stake holder, pasar, investor dan publik pada pemerintah ikut memberi andil terhadap merosotnya rupiah. Adanya dana yang mengalir keluar negeri juga terjadi karena ada ketidakpercayaan investor terhadap fundamental ekonomi Indonesia. Misalkan risiko utang yang terus meningkat, serta pengelolaan fiskal yang tidak kredibel, yang tercermin dari shortfall pajak yang terus terjadi selama pemerintahan Jokowi.
Sebagian pihak menuding pemerintah gagal mengoptimalkan investment grade yang diraih pada 2017. Utang yang ditarik ternyata juga tidak mampu menggerakan ekonomi, yang terlihat dari pertumbuhan ekonomi yang medioker di antara negara-negara emerging market. Target pertumbuhan ekonomi tujuh persen pun tidak tercapai. Lebih jauh, dampak pelemahan rupiah ini terhadap beban pembayaran bunga dan pokok utang berdenominasi dolar AS. Rupiah yang lemah membuat beban pembayaran utang bertambah berat. Saat ini untuk utang Pemerintah saja, ada sekitar 109 miliar dolar AS yang memakai valas. Ini tentu akan membebani APBN.
Sebagaimana halnya mata uang kertas lainnya, nilai tukar rupiah dipengaruhi oleh faktor permintaan dan penawaran, ada beberapa faktor yang menjadi penyebab utama pelemahan rupiah belakangan ini, yaitu:
- Semakin tingginya ketergantungan Indonesia pada impor barang dan jasa seperti BBM,bahan pangan,bahan baku industri dan alat-alat berat lainnya. Di sisi lain, kinerja ekspor Indonesia mengalami penurunan baik akibat melemahnya permintaan berbagai negara tujuan ekspor maupun penurunan harga-harga komoditas terutama perkebunan dan pertambangan yang menjadi andalan ekspor Indonesia. Akibatnya, surplus neraca perdagangan Indonesia semakin menipis.
- Ketergantungan pada jasa asing terutama transportasi barang dan penumpang. Indonesia misalnya, masih sangat bergantung pada kapal asing untuk mengangkut barang ekspor dan impor. Demikian pula dengan pembayaran royalti, lisensi, sewa barang dan jasa berbasis kecakapan intelektual -seperti konsultan bisnis dan riset- kepada penduduk asing jauh lebih tinggi dibandingkan pendapatan Indonesia.
- Tingginya investasi asing dan besarnya utang luar negeri pemerintah dan swasta membuat aliran pendapatan investasi keluar asing dan pembayaran bunga dari Indonesia ke luar negeri jauh lebih besar dibandingkan dengan yang masuk.
- Aliran masuk investasi terutama investasi portovolio seperti saham, obligasi dan transaksi derivatif mengalami peningkatan yang sangat besar. Meskipun demikian, dana-dana tersebut juga amat mudah untuk keluar, baik karena faktor fundamental seperti penurunan pertumbuhan ekonomi dan inflasi tinggi atau faktor spekulasi ,motif yang sangat mendominasi investasi di sektor ini. Dalam tiga tahun terakhir, neraca pembayaran Indonesia yang merupakan akumulasi dari poin-poin di atas sudah negatif alias dolar yang mengalir ke luar jauh lebih besar dibandingkan yang masuk ke Indonesia.
- Menurut M. Ishak (2014), mata uang Rupiah termasuk dollar adalah mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas yang bernilai (fat money). Dengan demikian, mata uang ini dengan mudah dapat diproduksi oleh otoritas moneter suatu negara. Inilah yang dilakukan oleh The Fed,
bank sentral AS untuk menyelamatkan ekonomi negara terbesar di dunia tersebut dari keruntuhan akibat krisis tahun 2008 . Besarnya kendali AS atas pasokan dolar membuat inflasi menjadi tak terkendali dan telah menyebabkan mata uang negara-negara lain khususnya di negara-negara berkembang yang bergantung pada dollar,, menjadi tidak stabil. Padahal, nilai tukar yang tidak stabil sangat merugikan. Sekedar contoh PLN pada
tahun 2012 mengalami rugi selisih sebesar Rp 5,9 triliun akibat pelemahan Rupiah sehingga utang-utangnya dalam bentuk dollar mengalami kenaikan.
Demikianlah lima faktor utama yang menyebabkan rupiah semakin terpuruk dari waktu ke waktu. Ketika sistem moneter dunia menggunakan sistem emas, keadaan saat itu stabil dan jarang krisis. Namun, tatkala sistem moneter internasional diganti dengan sistem pertukaran emas parsial (Bretton Woods), lalu diteruskan dengan uang kertas biasa semenjak 1971, dunia internasional sangat rentan krisis moneter. Bahkan jika suatu negara mengalami krisis moneter, krisis itu cepat menjalar dan menyerang negara-negara lain (contagion effect ) []