Menyongsong Kehancuran Kapitalisme

 Menyongsong Kehancuran Kapitalisme

Oleh: Lutfi Syarif Hidayat (Direktur CAF)

Diterpa pandemi covid-19, sistem ekonomi kapitalis benar-benar telah mati suri, setelah sistem Sosialisme-Komunisme benar-benar terkubur.

Berbagai langkah juga telah dilakukan secara global, segera mengadakan pertemuan, dan mengundang pertemuan lebih luas untuk mengkaji sistem moneter. Begitu juga menteri-menteri keuangan dan para pimpinan bank sentral. Namun, apakah upaya-upaya ini akan bisa menyelamatkan ekonomi kapitalis, sebagaimana istilah yang digunakan oleh Amerika Serikat untuk menyebut langkahnya itu dengan istilah “Rancangan Penyelamatan”?

Sebenarnya sistem ekonomi kapitalis saat ini tengah berada di tepi jurang yang dalam, jika belum terperosok di dalamnya. Semua rencana penyelamatan yang mereka buat tidak akan pernah bisa memperbaiki keadaan, kecuali hanya menjadi obat yang meringankan rasa sakit untuk sementara waktu. Itu karena sebab-sebab kehancurannya berpangkal pada akarnya, bukan hanya robek di dahan-dahannya. Yakni:

Pertama, dengan menyingkirkan emas sebagai cadangan mata uang, dan dimasukkannya dolar sebagai pendamping mata uang dalam Perjanjian Bretton Woods, setelah berakhirnya Perang Dunia II, kemudian sebagai substitusi mata uang pada awal dekade tujuh puluhan, telah menyebabkan dollar AS mendominasi perekonomian global. Akibatnya, goncangan ekonomi sekecil apapun yang terjadi di AS pasti akan menjadi pukulan yang telak bagi perekonomian negara-negara lain. Sebab, sebagian besar cadangan devisanya, jika tidak keseluruhannya, di-cover dengan dolar yang nilai intrinsiknya tidak sebanding dengan kertas dan tulisan yang tertera di dalamnya. Setelah Euro memasuki arena pertarungan, baru negara-negara tersebut menyimpan cadangan devisanya dengan mata uang non-dolar, meski dolar tetap saja memiliki persentase terbesar dalam cadangan devisa negara-negara tersebut secara umum.

Karena itu, selama emas tidak menjadi cadangan mata uang, maka krisis ekonomi seperti ini akan terus terulang. Sekecil apapun krisis yang menimpa dolar, maka krisis tersebut akan dengan segera menjalar ke perekonomian negara-negara lain. Kondisi seperti akan menimpa uang kertas negara manapun yang mempunyai kontrol terhadap mata uang negara lain.

Kedua, utang-utang ribawi (bunga berbunga) telah menciptakan masalah perekonomian yang besar, hingga kadar utang pokoknya menggelembung seiring dengan waktu, sesuai dengan persentase bunga yang diberlakukan kepadanya. Akibatnya, ketidakmampuan individu dan negara dalam banyak kondisi menjadi problem yang nyata. Sesuatu yang menyebabkan terjadinya krisis pengembalian pinjaman, dan lambannya roda perekonomian, karena ketidakmampuan sebagian besar kelas menengah dan atas untuk mengembalikan pinjaman dan melanjutkan produksi.

Ketiga, sistem yang digunakan di bursa dan pasar modal, yaitu jual-beli saham, obligasi dan komoditi tanpa adanya syarat serah-terima komoditi yang bersangkutan, bahkan bisa diperjualbelikan berkali-kali, tanpa harus mengalihkan komoditi tersebut dari tangan pemiliknya yang asli, adalah sistem yang jelas telah menimbulkan masalah, bukan sistem yang bisa menyelesaikan masalah, dimana naik dan turunnya transaksi terjadi tanpa proses serah terima dan tanpa dasar yang riil, bahkan tanpa adanya komoditi yang bersangkutan. Semuanya itu memicu terjadinya spekulasi dan goncangan di pasar. Begitulah, berbagai kerugian dan keuntungan terus terjadi melalui berbagai cara penipuan dan manipulasi. Semuanya terus berjalan dan berjalan, sampai terkuak dan menjadi malapetaka ekonomi.

Disamping itu, adanya produk derivasi (turunan) – seperti obligasi kolateral dari utang (collateralised debt obligations), obligasi utang pembelian rumah (mortgage debt obligations), penukaran kredit jatuh tempo (credit default swaps) – yang semuanya merupakan sumber terjadinya kegagalan kredit makin memperumit keadaan. Filsafat pemikiran yang mendasari pertumbuhan derivativasi adalah asumsi teoretis bahwa resiko bisa dipindahkan ke lembaga lain yang mampu mengatasinya. Pada prakteknya, derivativasi tidak lain adalah bentuk senjata keuangan penghancur massal. Semua lembaga yang akhirnya bangkrut termakan oleh asumsi tersebut dimana mereka berharap mengambil keuntungan dengan mentransfer resiko ke lembaga lainnya. Yang terjadi adalah mereka justru menumpuk sebatas kertas-kertas tidak bernilai yang memicu timbulnya kerugian yang sangat besar. Ini semua membuka kedok Kapitalisme yang mempromosikan praktik-praktik keuangan semacam ini.

Memang, berbagai pakar dan analis mengurai berbagai alasan yang melahirkan krisis yang terjadi, misalnya peraturan yang longgar, tidak adanya transparansi, kinerja perusahaan yang menilai resiko dan juga sekuritas pinjaman sub-prime yang kompleks. Meskipun faktor-faktor tersebut memang memberikan kontribusi kepada krisis, penfokusan hanya pada faktor-faktor itu justru akan mengesampingkan isu yang jauh lebih besar dan tidak akan mengambil pelajaran dari krisis yang terjadi sebelum krisis yang terakhir.

Krisis yang terakhir, sebagaimana krisis sebelumnya selama 200 tahun terakhir sebenarnya memiliki pola yang mirip, sebagaimana proses terjadinya suatu gelembung, yang membesar, dan kemudian meletus. Ironisnya, orang-orang yang berpartisipasi dalam pembentukan gelembung justru baru menyadari betapa tidak rasionalnya tindakan mereka setelah mengalami pecahnya gelembung. Ada empat tahap terjadinya gelembung ekonomi (bubble economy):

Pertama, pengembangan atau inovasi teknologi atau produk. Bila di masa lampau dahulu pengembangan dan inovasi produk dilakukan seperti dengan pembangunan jaringan kereta api, telekomunikasi, perkapalan, dan perusahaan internet dotkom, kini ”inovasi produk” juga dilakukan dalam industri keuangan, yang intinya sebenarnya hanya memainkan riba dan spekulasi (judi).

Kedua, pemasaran produk dengan intensitas tinggi pada masyarakat dengan janji bahwa produk atau inovasi tertentu akan mengubah cara dan gaya hidup secara luarbiasa, yang intinya sebenarnya hanya menawarkan harapan yang didasarkan pada kepercayaan rapuh.

Ketiga, terbentuknya pola perdagangan spekulatif, yang mulai mengenyampingkan akal sehat, mendorong akselerasi pembesaran gelembung. Semua orang dari berbagai latarbelakang ikut-ikutan terjun dalam perdagangan ini. Masyarakat dan para pakar pun dicekoki dengan jaminan bahwa pasar tidak akan jatuh, dan bahwa situasi yang ada berbeda dan tidak akan mengulang krisis sebelumnya. Jaminan seperti ini diikuti dengan adanya ‘inovasi’ keuangan seperti pengembangan produk sekuritas yang kompleks (obligasi hutang kolateral, dimana hutang seseorang dijual kepada pihak ketiga hingga berkali-kali guna mengurangi dan menyebarkan tingkat resiko). Praktik inovasi ini dianggap sebagai revolusi keuangan. Sekali lagi industri keuangan berusaha meyakinkan publik bahwa ’saat ini adalah saat yang berbeda, dasar pemikirannya jauh lebih solid’.

Keempat, timbulnya kesadaran bahwa inovasi baru yang ditawarkan secara gencar ternyata tidak sebaik yang diharapkan. Uang atau modal yang telah terinvestasi, dan ikut membantu pembesaran gelembung pada tahap sebelumnya, ternyata tidak berhasil menghasilkan keuntungan yang telah dibayangkan sebelumnya. Pada titik ini, gelembung pun pecah dan akibatnya benar-benar melahirkan bencana. Ekses ekonomi telah melahirkan Depresi Besar di tahun 1920an, dan meletusnya gelembung Dotkom ketika perusahaan Dotkom mulai bangkrut karena janji-janji mereka untuk menghasilkan keuntungan ternyata perlu waktu 50 tahun. Ambruknya perusahaan peminjaman hutang pembelian rumah (subprime mortage) pada bulan April 2007 –13 tahun lalu– juga berawal dari informasi, bahwa pasar penjualan rumah di AS memiliki fondasi yang kuat.

Mereka yang bertanggungjawab pada gelembung spekulatif di tahun 2007 sama sekali tidak membayangkan bahwa pada satu hari gelembung itu akan pecah. Di situlah kesombongan mulai timbul. Aktivitas yang menghasilkan keuntungan secara masif dan diikuti oleh bonus dengan yang besar menjadi motor pasar properti. Bahkan ketika mulai ada tanda-tanda keretakan, mereka menyalahkan semua orang kecuali mereka sendiri. Krisis yang terjadi akhir-akhir ini sebenarnya menunjukkan bahwa kekuatan pasar keuangan hanyalah sebatas ilusi saja. Mood kesenangan bisa hilang dalam sekejap, kerugian yang berakhir dengan dipecatnya eksekutif perusahaan.

Adalah sifat kapitalisme yang tidak pernah cukup, dan semuanya serba kurang, tidak ada pertumbuhan yang terlalu tinggi, tidak ada spekulasi yang sangat spekulatif, tidak ada gaji yang terlalu tinggi, tidak ada mobil yang terlalu banyak, tidak ada produksi minyak yang terlalu tinggi, semuanya serba kurang, dan harus digenjot semaksimal mungkin. Apa yang Kapitalisme telah ciptakan tidak lain adalah spekulasi,kerakusan, kesombongan dan berfoya-foya. Itulah sebabnya setiap gelembung selalu berakhir dengan letusan, dan akan terus terjadi secara berulang-ulang, seperti yang saat ini kembali terjadi.[]

Share artikel ini:

Related post

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *