Oleh : Henri Kusuma, SH
Kuasa Hukum Ketua LBH Pelita Umat
Klien kami yang tak lain adalah ketua LBH Pelita Umat, Rekan Ahmad Khozinudin, SH, dijerat pasal 14 ayat (2) dan/atau pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana, yakni dugaan tindak pidana menyebarkan berita atau pemberitahuan bohong dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat.
Pasal ini umumnya disebut sebagai “pasal menebar hoax”, karena substansi pelanggaran adalah adannya menyebarkan berita atau pemberitahuan bohong (hoax) dengan sengaja menerbitkan keonaran dikalangan rakyat.
Sejak diundangkan pada tahun 1946, pasal ini tidak atau jarang sekali digunakan oleh penguasa Orde Baru untuk membungkam suara kritis rakyat. Di era SBY, Pasal ini tak pernah di aktifkan.
Wajar jika pasal ini tak pernah digunakan, sebab pasal ini adalah delik materil. Artinya, yang dipersoalkan bukan hanya sekedar menerbitkan kebohongan tetapi juga menerbitkan keonaran.
Di era Jokowi, pasal “menebar hoax” ini pertama kali digunakan untuk menjerat Ratna Sarumpaet. Pada kasus Ratna, pasal ini relevan diterapkan karena jelas Pernyataan Ratna tentang keadaannya adalah bohong, dia mengklarifikasi sendiri kebohongannya, bahwa sesungguhnya tidak ada kekerasan yang dialaminya, namun sesungguhnya dirinya melakukan operasi plastik (oplas).
Dalam kasus Ratna, efeknya juga menerbitkan keonaran ditengah rakyat. Pada situasi kampanye pilpres, rakyat menjadi onar dan terbelah.
Namun, pasca Ratna Sarumpaet, pasal menebar hoax ini menjadi langganan rezim untuk mengkriminalisasi para aktivis. Dengan dalih menyebar hoax, aktivis ditangkapi.
Pada kasus klien kami, Rekan Ahmad Khozinudin mengunggah lima artikel di laman Facebook nya. Isi artikel pada pokoknya mengkritisi Kasus Korupsi Jiwasraya, mempertanyakan peranan Jokowi dalam kasus tersebut, menyoal perlawanan SBY dalam kasus korupsi Jiwasraya, mengkritisi soal bantuan Ormas sebesar 1,5 T, mengkritisi Pancasila tertolak dan mengunggah artikel tentang Khilafah ala TV One.
Pada kasus ini, sangat berbeda jauh dengan apa yang dilakukan Ratna Sarumpaet, disebabkan :
Pertama, sejumlah ulasan artikel yang diunggah oleh klien kami ada sumber dan rujukannya. Korupsi Jiwasraya itu bukan hoax, tapi fakta nyata dan perkaranya sedang disidik Kejagung.
Soal SBY yang komplain melalui staf pribadinya, Ossy Dermawan karena audit BPK ditarik hingga periode tahun 2006 (era SBY) juga bisa di cek diberbagai media.
Tentang mempertanyakan dugaan dana korupsi Jiwasraya digunakan untuk Pilpres 2019, itu juga sebuah analisis bukan bukan vonis.
Dana bantuan Ormas PBNU sebesar 1,5 T yang dikomplain ketua PBNU belum cair, selanjutnya diklarifikasi oleh Menkeu Sri Mulyani telah disalurkan sebesar Rp 211 miliar, juga ada sumbernya. Bukan berita bohong.
Adapun artikel yang mengunggah “Khilafah ala kadarnya TV One” juga merujuk laporan khusus redaksi TV One atas rencana Kemenag menghapus pelajaran fiqh khilafah dan hanya dicantumkan dalam pelajaran sejarah saja.
Kedua, jika pasal tersebut digunakan untuk menuduh klien kami semestinya sebelum menetapkan klien kami sebagai tersangka, Penyidik terlebih dahulu memastikan kebenaran sumber berita.
Karena itu sangat beralasan jika kami meminta Konfrontir dengan saksi fakta, yakni :
1. Staf Pribadi SBY Ossy Dermawan, 2. Sri Mulyani selaku Menkeu, 3. KH Said Aqil Siroj Ketua PBNU, 4. Jokowi (Presiden Joko Widodo), dan 5. Redaktur TV One, terkait kutipan dalam artikel ‘Khilafah Ala TV One’.
Namun belum juga dilakukan konfrontir, berkas klien kami justru dinyatakan lengkap (P-21). Jika demikian apa dasarnya tuduhan menyebar hoax terhadap klien kami ? Bukankah berita yang menjadi bahan ulasan artikel itu ada sumber rujukannya ?
Ketiga, konten yang diunggah klien kami adalah artikel bukan berita atau pemberitahuan. Karenanya, konten klien kami tunduk pada core kebebasan menyatakan pendapat sebagaimana dijamin Konstitusi.
Dalam artikel, selain memaparkan fakta juga membuat sejumlah analisis dan simpulan. Jika analisis dan simpulan ini tidak tepat, tetap saja masuk kategori pendapat. Bukan berita atau pemberitahuan.
Keempat, unsur yang terpenting dari pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 tahun 1946 tentang Peraturan Pidana, wajib timbulnya unsur “menerbitkan keonaran ditengah rakyat”.
Pada Kasus klien kami, keonaran apa yang ditimbulkan ? Rakyat yang mana yang dibikin heboh ? Apakah artikel yang diunggah klien kami berulangkali diberitakan media seperti kasus Ratna Sarumpaet ? Jawabnya tidak ada.
Artinya, kasus klien kami tidak memenuhi unsur “menerbitkan keonaran ditengah rakyat”.
Berbeda kasusnya dengan apa yang disampaikan Presiden Jokowi. Presiden Joko Widodo (Jokowi) pernah mengungkap sudah ada resep obat hasil riset dan pengalaman beberapa negara yang bisa diterapkan untuk mengobati pasien corona atau covid-19.
“Obat tersebut akan sampai pada pasien yang membutuhkan melalui dokter keliling dari rumah ke rumah, melalui rumah sakit dan puskesmas di kawasan yang terinfeksi,” begitu kabar yang disampaikan oleh Presiden Jokowi, pada Jumat (20/3/2020).
Namun, Presiden Joko Widodo (Jokowi) pada kesempatan lain justru mengingatkan bahwa belum ada satu pun obat yang ampuh melawan virus corona (COVID-19). Presiden mengingatkan COVID-19 hanya bisa dicegah melalui kedisiplinan.
“Saat ini obat ampuh untuk melawan virus corona belum ada, tapi penyebaran corona dapat dicegah dengan kedisiplinan yang kuat dari kita sendiri. Ya, disiplin diri. Mulai dari disiplin menggunakan masker, disiplin menjaga jarak, disiplin hindari kerumunan, dan ini harus dilakukan secara bersama-dan terus menerus tidak boleh terputus,” demikian, ujar Presiden Jokowi dalam video rekaman Setpres, Sabtu (18/4/2020).
Semestinya jika hukum itu adil, ada kesetaraan dimuka hukum maka kasus Pemberitahuan atau berita bohong atau tidak lengkap yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ini juga ditindak, mengingat Pasal 27 ayat (1) UUD 45 menyebutkan :
”Segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. [].