Menyoal Fikih Konstitusi Mahfud MD: Negara Pancasila yang Islami Hanya “Mengada” jika Kitab Suci di Atas Konstitusi
Oleh: Pierre Suteki
Artikel Mahfud MD berjudul Fikih Konstitusi: Negara Pancasila yang Islami di Kompas tanggal 16 April 2022 cukup menarik untuk dikritisi, mengingat kalimat indah itu hingga saat ini hanya merupakan pemanis bibir, lips service. Orang Jawa bilang sekadar “abang-abang lambe,” yang kalau dibahasakan oleh seniman “jancuker” Sujiwo Tejo pantas kita bertanya, “Pancasilane ning endi (Pancasilanya di mana)?”
Keraguan ini bukan tanpa alasan mengingat sudah cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa perikehidupan bangsa Indonesia hingga kini jauh dari penerapan hakikat nilai-nilai Pancasila. Jadi Pancasila itu 404 alias “not found“. Lalu di mana Pancasila, bagaimana hubungannya dengan agama, ajaran Islam, dengan khilafah misalnya?
Terkait Islam dan Pancasila, belum lama ini juga santer suara tokoh nasional yang berusaha mendudukkan Pancasila di tengah pertarungan ideologi besar dunia, yakni Islam, kapitalisme, dan komunisme. Ada Ketua Umum PAN Zulkifli Hasan yang gencar menjajakan gagasan Islam Tengah. Ada juga Menkopolhukam yang beberapa kali berusaha menyingkirkan gagasan bahkan mengharamkan berdirinya pemerintahan negara ala Nabi.
Hingga terkini, Mahfud MD mengusung Fikih Konstitusi yang pada intinya menawarkan gagasan usang tentang negara Pancasila yang islami. Saya katakan usang karena sebenarnya dulu para pendahulu kita sudah ingin menjangkarkan bahtera Indonesia ini sesuai sila pertama Piagam Jakarta 22 Juni 1945. Namun, kesepakatan yang juga merupakan hasil ijtihad tokoh Islam waktu itu ternyata dihempaskan begitu saja oleh beberapa orang yang tidak bisa disebut sebagai hasil ijtihad, tetapi hasil persekongkolan politik yang kurang dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Perkembangan politik kenegaraan kita sejak kemerdekaan ternyata menunjukkan bahwa kita tidak telah dan sedang mengamalkan Pancasila. Rezim presiden pertama hingga ketujuh sekarang belum ada yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai Pancasila dalam bidang kehidupan bermasyarakat, berbangsa, bernegara, maupun mondial.
Pancasila diterjemahkan secara bebas tergantung kemauan politik rezim yang sedang berkuasa. Bisa sangat liberal kapitalistik, komunistik, campuran kapitalistik, dan komunis. Jadi, terkesan Pancasila itu sebatas tabularasa, kertas kosong yang isinya tergantung pena para rezim yang berkuasa.
Pancasila 404: Not Found
Anda tentu masih ingat beberapa mural (lukisan dinding) yang mengandung pesan kritis terhadap situasi dan kondisi kekinian. Ada tiga mural yang viral, yaitu:
1. Gambar mirip Presiden Jokowi dan tulisan “404: Not Found” (Batuceper, Tangerang).
2. “Dipaksa sehat di negara yang sakit” (Bangil, Pasuruan, Jatim).
3. “Tuhan, aku lapar” (Tigaraksa, Tangerang).
Kalau kita cermati, kritik sosial ini sebenarnya merupakan salah satu cara rakyat mengekspresikan ‘kegalauannya’ terkait realitas kehidupan di sekitarnya. Ada dugaan, rakyat putus asa menyampaikan aspirasinya melalui saluran resmi, yakni melalui wakil-wakilnya di dewan legislatif dan juga pemimpin-pemimpin daerah.
Aspirasinya tidak didengar. Kalau pun didengar tetapi tidak dipahami. Kalau pun dipahami tetapi tidak ditindaklanjuti. Ambyar bukan? Akhirnya rakyat memilih slogan GoJek, “Selalu ada jalan.” Jalan lain itu adalah dengan lukisan dinding atau mural.
Coba kita cermati makna tiga mural yang sempat heboh itu. Saya berpendapat, praktik kebijakan pemerintah negara ini lebih beraroma liberal kapitalistik yang sudah tercemar sosialisme komunis. Kita lihat bagaimana liberal kapitalistiknya ekonomi yang didukung dengan hukum yang liberal kapitalistik (KUHD, revisi UU KPK, UU Investasi, UU Minerba, PT, UU Omnibus Cipta Kerja dan lain-lain, harga PCR yang mencekik, tidak nalar, jauh dibandingkan negara lain).
Kita juga saksikan betapa represif dan diktatornya ala komunis penegakan hukum yang seolah negara ini bukan negara demokrasi. Misal penangkapan aktivis demokrasi, aktivis agama, ulama, tokoh masyarakat, extrajudicial killings, dan lain-lain, yang sebenarnya dapat diselesaikan secara restorative justice. Sehingga kita bertanya ke mana nilai-nilai Pancasila?
Kesaktian Pancasila Ambruk
Atas dasar Pancasila 404: not found, lalu kita pun bisa memprediksikan bahwa nilai-nilai Pancasila itu bersifat rapuh. Pancasila sebagai ideologi kehilangan kesaktiannya.
Ada empat faktor penyebab ambruknya kesaktian Pancasila. Sehebat apa pun juga, ideologi manusia tidak pernah sempurna. Islam bukan sekadar sebuah religi tetapi juga sebuah ideologi. Apabila hanya sekadar ideologi buatan manusia, maka ideologi itu dapat saja rapuh.
Rapuhnya kesaktian ideologi buatan manusia dijelaskan secara apik oleh John T. Jost (New York University) dalam The American Psychological Association 0003-066X/06; Oktober 2006), disebabkan karena empat faktor, yaitu:
(1) Ordinary citizens political attitudes lack the kind of logical consistency and internal coherence);
(2) Most people are unmoved by ideological appeals;
(3) There are really no substantive differences in terms of philosophical or ideological content;
(4) There are no fundamental psychological differences between proponents of left-wing and right-wing ideologies.
Saya mencoba mengelaborasi penyebab collaps-nya sebuah ideologi dengan menyitir pendapat John T. Jost di muka dan akan saya pakai sebagai pisau analisis terkait ideologi Pancasila.
Pertama, the first claim has arguably had the greatest impact within psychology, and it grew out of Converses (1964) famous argument that ordinary citizens political attitudes lack the kind of logical consistency and internal coherence that would be expected if they were neatly organized according to ideological schemata.
Contoh: Ketuhanan Yang Mahaesa bisa dimaknai esa dalam pluralitas, ketuhanan berkebudayaan, komunisme ateis diberi ruang gerak leluasa. Kemanusiaan yang Adil dan Beradab: HAM diredam. Persatuan Indonesia: bercerai berai, pseudo unity, mudah terbakar laksana daun kering alias sulit diikat mudah dibakar. Kedaulatan Rakyat: kedaulatan partai, demokrasi tak langsung: demokrasi langsung. Keadilan Sosial: keadilan individual dan sebagainya. Yang ada adalah logical inconsistency.
Kedua, a second and related claim is that most people are unmoved by ideological appeals and that abstract credos associated with liberalism and conservatism lack motivational potency and behavioral significance.
Contoh: dulu #2019GantiPresiden itu kebebasan HAM ternyata tetap persekusi, pelarangan tak mendasar padahal sudah dijelaskan secara hukum itu bukan makar melainkan hak kebebasan berbicara. Dengan Perppu Ormas No. 2 Tahun 2017, sudah diingatkan bahwa negara akan terjun bebas menjadi negara kekuasaan (bukan kedaulatan rakyat dan hukum). Masih berlanjut pula pada pembubaran Ormas (HTI dan FPI) tanpa due process of law yang berarti bertentangan dengan sila dua: HAM berserikat, berkumpul, dan lain-lain. Yang kekinian tentang Perppu Corona No. 1 Tahun 2020, yang juga banyak kontroversi motivasi namun justru tetap disetujui oleh DPR menjadi UU No. 2 Tahun 2020. Yang ada adalah weak motivation.
Ketiga, the third claim is that there are really no substantive differences in terms of philosophical or ideological content between liberal and conservative points of view.
Contoh: tidak ada perbedaan substantif antara ideologi Pancasila, sosialisme komunis, dan liberalisme kapitalis dalam hal berpolitik, berekonomi, berbudaya. Semua dalam area abu-abu. Kita mengaku berdemokrasi ekonomi Pancasila tetapi semua lini ekonomi kita dasarkan pada liberalisme kapitalisme. Lalu adakah perbedaan substantifnya? Yang ada ialah pragmatism ideology.
Keempat, a fourth claim, which first emerged as a criticism of Adorno, Frenkel-Brunswik,Levinson, and Sanfords (1950) The Authoritarian Personality,is that there are no fundamental psychological differences between proponents of left-wing and right-wing ideologies.
Contoh: tidak ada perbedaan psikologis yang fundamental para pendukungnya, antara sayap kanan dan sayap kiri. Perangainya, karakternya, gayanya sama saja dalam meraih dan memperebutkan kekuasaan. Tanpa visi ke depan yang panjang apalagi kehidupan setelah mati. Yang ada yaitu opportunist proponents.
Pancasila jika dipaksakan kedudukannya sebagai ideologi layaknya ideologi kapitalisme, komunisme, maka Pancasila adalah ideologi ciptaan manusia, yakni founding fathers bangsa Indonesia. Oleh karenanya Pancasila, ideologi ciptaan manusia ini bisa menjadi rapuh jika empat gejala faktor keambrukan ideologi yang sangat rawan itu melingkupi objek maupun subjek ideologi ini.
Jadi, kesaktian Pancasila akan lenyap ketika empat faktor penumbang ideologi merangsek, menggerogoti akarnya yang rapuh. Dan boleh jadi kita sekarang masih merasa memiliki Pancasila, namun sebenarnya kita hanya sekadar memiliki jasadnya, karena ruh Pancasila tidak lagi kita miliki. Kita lebih menggeluti dan mati-matian menerapkan ideologi liberal kapitalstik dan bercampur dengan sosial komunisme yang sangat sekuler dibandingkan menggeluti dan menerapkan ideologi Pancasila itu.
Ideologi yang tidak berbasis pada akidah yang benar adalah ideologi sesat dan akan menyesatkan pendukungnya dalam mencapai kebahagiaan sejati. Tidak mungkin kebahagiaan sejati akan tercapai tanpa ideologi yang berbasis pada akidah dan mampu pula untuk dirunut secara rasional.
Ideologi yang benar akan menjauhkan diri dari indoktrinasi. Indoktrinasi hanya akan melahirkan kepatuhan yang semu (pseudo obidience). Kepatuhan yang semu inilah awal dari sebuah ideologi memasuki senjakalanya.
Pancasila ketika dipaksa pembumiannya melalui percakapan indoktrinasi bukan melalui percakapan fitrah hidup dan nalar sehat nasibnya juga akan sama, dying—sekarat. Apalagi memaksakan diri harus ada lembaga yang menangani Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) dan doktrin ideologi dengan sebuah Haluan (HIP), bisa diprediksikan kepatuhan yang dihasilkan juga semu.
Ketika kita memahami adanya potensi ambruknya semua ideologi manusia lantaran adanya gelombang empat faktor yang dikemukakan oleh John T. Jost tadi, lalu langkah kita apa? Apakah tetap mau berkubang pada ideologi manusia yang penuh inkonsistensi itu, ataukah berharap pada kredo manusia yang diberikan oleh Tuhan manusia yang nota bene paling memahami manusia ciptaan-Nya? Apa itu? Tidak lain adalah religi. Ya religi lebih tepatnya religi yang dianut mulai Nabi Adam, Ibrahim, Musa, Isa hingga Muhammad SAW, yakni Islam.
Islam itu bukan fiksi apalagi fiktif, melainkan real ada. Tetapi sayang sekali, Islam tidak dipahami dengan baik bahkan oleh pemeluknya sendiri. Setelah dipahami dengan baik belum tentu diterapkan dalam seluruh bidang kehidupannya.
Inilah yang makin memperburuk kejatuhan peradaban Islam yang memiliki visi jauh ke depan. Futuristik! Anda mau tetap diam tanpa melakukan apa pun dalam rangka melakukan transformasi hidup agar sesuai dengan fitrah manusia? Lalu, apa sebenarnya tujuan hidup yang tengah dan akan kita capai?
Apakah peradaban Islam mampu menyelamatkan ideologi Pancasila? Sebagai karya manusia, Pancasila dapat dikokohkan justru dalam peradaban Islam. Nilai ketuhanan yang Mahaesa, nilai kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan, kerakyatan, dan keadilan sosial akan terjamin pelaksanaan dalam peradaban Islam.
Sebaliknya, tidak ada jaminan ideologi liberal kapitalisme dan sosial komunisme mampu mengokohkan nilai-nilai Pancasila, bahkan akan melumpuhkannya. Jadi, saya yakin nilai-nilai Pancasila akan kokoh, kukuh dan tangguh dalam bingkai peradaban Islam yang rahmatan lil ‘alamin.
Kitab Suci di Atas Konstitusi: Sebuah Tawaran Fikih Konstitusi Baru
Macam apa negara hukum yang hendak kita bangun itu? Negara hukum yang hendak dibangun itu adalah negara hukum yang berdasarkan atas Ketuhanan yang Mahaesa. Lebih konkret lagi negara hukum itu adalah negara hukum transendental.
Sebagai negara hukum transendental, menurut Thomas Aquinas maka hukum yang direproduksi kembali melalui lembaga-lembaga supra dan infrastruktur negara (human law) seharusnya dijiwai nilai ketuhanan baik nilai hukum ketuhanan yang tertulis di kitab suci (scripture), maupun nilai hukum ketuhanan yang melekat pada alam (hukum alam/ natural law).
Sampai di sinilah secara logika sederhana pun kita bisa memahami dan menerima secara nalar bahwa kitab suci itu berada di atas konstitusi sebagaimana telah disebutkan di muka. Bila penalaran ini kemudian kita tarik garis lurus, maka logikanya seharusnya disadari bahwa konstitusi tidak boleh bertentangan dengan kitab suci.
Juga dapat kita nalar bahwa membaca, mengkaji, memahami, menjalankan bahkan menyebarkan (mendakwahkan) perintah Tuhan dalam kitab suci yang kebenarannya tidak perlu diragukan adalah sebuah kebolehan bahkan sebuah kewajiban bagi para pemeluknya. Inilah yang kita sebut dalam Islam: amar makruf nahi mungkar.
Jadi, berdasarkan teori pembentukan hukum sebagai mana dikatakan oleh Thomas Aquinas, saya tetap berprinsip bahwa, “kitab suci di atas konstitusi”. Konstitusi dibuat juga bersumber dari devine law (kitab suci), sehingga sebuah konstitusi seharusnya tidak memuat ketentuan yang bertentangan dengan kitab suci. Oleh karenanya, dapat diamini dalil yang dikemukakan oleh ahli hukum kita, Oemar Seno Adji yang berbunyi: no law without moral, no moral without religion. Hukum (konstitusi) ternyata harus tetap bersumber dari nilai-nilai agama.
Berdasar prinsip ini, maka tidak boleh konstitusi dilanggar demi kepentingan rezim yang mengatasnamakan penerapan dalil “salus populi suprema lex esto“. Akhirnya harus diingat pula dalil yang dikatakan oleh Thomas Aquinas yang berbunyi: “lex injusta non est lex,” artinya hukum yang tidak adil bukanlah hukum.
Khilafah Ajaran Islam, Solusi Alternatif bagi Indonesia Keluar Krisis Multidimensi
Dalam chatting-an pada suatu Grup WA yang saya ikuti, ada anggota grup yang berpendapat sebagai berikut:
“Ga ada yg bs diperbuat selain melakukan perubahan fundamental. Presiden baru hrs org yg pede banget; semua parpol yg sdh ‘berdosa’ dibubarkan, smtr pimpinannya dicabut hak politiknya. Pemimpin-pemimpin politik yang telah memungkinkan dan menyebabkan semua malapetaka ini harus mempertanggungjawabkan kelakuannya. Nasionalisasi semua perusahaan yang slm ini tlh merugikan negara dan bangsa, tanpa pandang bulu. Sgt keras ya Pak? Mmg hrs begitu kalau kita mau menyelamatkan NKRI. Tapi jangan lupa juga untuk mengontrol pemimpin baru sehingga dia tidak melenceng dari kepentingan rakyat.”
Terhadap komentar tersebut di atas, saya kemudian mengajukan sebuah pertanyaan, dengan sistem apa tindakan-tindakan yang direkomendasikan oleh teman chatting saya ini bisa dilakukan? Di bawah sistem pemerintahan apa? Monarki, demokrasi? Jelas akan berpotensi mengulang kebobrokan demokrasi yang sudah disinyalir oleh Socrates dan muridnya, Plato, sejak 600 tahun sebelum Masehi?
Ataukah ada alternatif lainnya sebagai solusi tuntas? Jawabnya ada, yaitu sistem pemerintahan Islam. mau disebut imamah atau khilafah itu soal nomenklatur saja. Jadi, sebenarnya ada proposal baru yang dapat diajukan sebagai alternatif penyelesaian perkara NKRI secara tuntas yakni khilafah sebagai bagian dari ajaran Islam, yang khusus terkait dengan fikih siyasah.
Saudara sekalian, namun sebagaimana diketahui, sistem ini terkesan ditolak sebelum didiskusikan terutama oleh pengidap islamofobia terkait ajaran Islam, khususnya jihad dan khilafah, yakni bernegara ala Nabi, atas contoh Nabi menjadi kepala negara Madinah.
Pertanyaan yang perlu diajukan adalah: salahkah mengikuti cara “bernegara” Nabi itu? Tokoh pejabat nasional Mahfud MD menyatakan bahwa haram hukumnya mendirikan negara ala nabi di negeri ini. Dalam catatan saya, sudah dua kali Mahfud MD menyatakan hal itu.
Pertama, dalam diskusi “Harapan Baru Dunia Islam: Meneguhkan Hubungan Indonesia-Malaysia” di Gedung PBNU, Jakarta, Sabtu (25/1/2020).
Mantan Ketua MK, Mahfud MD menjelaskan, bahwa ada beberapa alasan mengapa negara khilafah tidak boleh diikuti. Mahfud MD mengatakan, “Kita dilarang mendirikan negara seperti yang didirikan Nabi karena negara yang didirikan Nabi merupakan negara teokrasi di mana Nabi mempunyai tiga kekuasaan sekaligus,” tutur Mahfud.
Mengapa kok tidak boleh diikuti? Menurutnya, ada tiga alasan. Di zaman Nabi Muhammad, negara yang dibentuk:
1. Nabi Muhammad itu lembaga legislatif,
2. Nabi Muhammad lembaga eksekutif,
3. Nabi Muhammad lembaga yudikatif.
Nabi Muhammad yang membuat hukum berdasarkan wahyu Alloh. Kalau dulu Rasululloh dipandu langsung oleh Alloh dgn wahyu, lalu sekarang wahyu siapa karena tidak ada lagi Nabi atau Rasul?
Kedua, pada tahun ini, 2022, Mahfud MD kembali menyebut haram hukumnya mendirikan sebuah negara layaknya pada zaman Nabi Muhammad SAW. Tanpa menyebut dalil, Mahfud mengeluarkan hukum haram mendirikan negara seperti negaranya Nabi SAW.
Dia mengatakan, “Kita enggak bisa dan dilarang membentuk negara seperti yang dibentuk oleh Nabi, enggak boleh. Haram hukumnya.”
Hal itu dikatakan oleh Mahfud saat ceramah tarawih dengan tema ‘Titik Temu Nasionalis-Islam dan Nasionalis-Sekuler dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara’ di Masjid UGM, Sleman, Minggu (3/4/2022).
Menurut saya, kalau pertanyaannya wahyu siapa, jawabnya mestinya: Wahyu Alloh dalam Al-Qur’an. Lalu apalagi dasarnya? Tentu hadist Rasululloh dan juga ijtihad para ulama. Bukankah begitu? Itukan sumber hukum Islam?
Pertanyaan saya selanjutnya tetap fokus pada, “Apakah betul mengikuti cara Nabi itu salah?” Bukankah Rasululloh itu ‘uswatun hasanah‘, suri tauladan yang baik? Lalu, apa yang pantas kita teladani dari Rasululloh? Hanya shalatnyakah, zakatnyakah, hajinyakah, puasanyakah? Bukankah Rasululloh juga memberikan contoh bagaimana mengelola negara, mengelola harta, berhubungan dengan negara luar, berperang, berdagang. Apakah dikira Rasululloh itu hanya sekelas ketua RT?
Menurut saya, tidak fair bila kita mengharamkan khilafah dan memusuhi orang yang mempelajari dan mendakwahkan khilafah. Itu tidak fair! Mengapa?
Pertama, karena dalam sejarah selama 1300 tahun umat Islam memang dalam kepemimpinan sistem kekhilafahan, apa pun bentuk dan variasinya. Bahkan, bukankah beberapa wilayah Indonesia sempat menjadi bagian atau wakil kekhalifahan Utsmani, misalnya Demak, DI Yogyakarta? Bukankah kita juga pernah dibantu khilafah ketika melawan penjajah Belanda? Apakah kita akan melupakan begitu saja jejak kekhalifahan di negeri ini? Itu tidak fair! Itu ahistori!
Kedua, taruhlah sistem dan jenis kekhalifahan itu tidak baku, namun apakah sesuatu yang tidak baku itu tidak bisa diikuti? Kalau sekarang kita ikuti sistem pemerintahan demokrasi, apakah demokrasi juga punya bentuk baku? Negara mana yang benar-benar menerapkan sistem demokrasi yang benar? Ala Amerika, ala Rusia, China, Eropa, Asia, Afrika? Sebut berapa jenis demokrasi yang ada?
Dan apakah negara yang menganut demokrasi benar-benar menerapkan prinsip dasar demokrasi? Atau mereka tidak tulus menerapkan demokrasi melainkan sekadar pseudo demokrasi? Atau bahkan sebenarnya mereka justru telah membunuh sendiri demokrasi yang mereka puja (harakiri), sebagaimana ditulis Steven Levitsky dan Daniel Ziblatt bahwa demokrasi pun akan mati bila kediktaktoran rezim justru dipertontonkan (how democracies die).
Ketiga, seandainya memang sistem pemerintahan Islam itu dikatakan tidak sesuai karakter bangsa Indonesia yang majemuk, beragam, pluralistik dan lain-lain, namun pernahkah kita juga berpikir bahwa apakah zaman Rasululloh dan Khulafaur Rasyidin itu masyarakat Madinah juga homogen? Masyarakatnya semua Muslim? Tidak bukan? Ada yang Muslim, musyrik, kafir, dan tidak beragama juga ada. Jadi, ketika hukum Islam diterapkan masyarakat Madinah juga plural, majemuk, beragam.
Lalu, benarkah alasan menolak ide kekhalifahan itu karena pluralitas masyarakatnya? Bukan itu! Alasannya ya karena kita tidak mau, dan tentu saja banyak yang merasa terancam karena ditegakkannya hukum-hukum Alloh atau setidaknya hukum yang bersumber dari hukum Islam.
Keempat, memang terbukti varian kekhalifahan itu beragam sistem. Namun, sebagai manusia yang dibekali cipta, rasa, dan karsa, tidak bisakah kita menyaring, memilah, dan memilih sistem kekhalifahan terbaik dari sekian banyak varian sistem kekhalifahan itu? Sebagaimana kita pilih demokrasi Pancasila yang konon terbaik meski hingga sekarang pun kita sulit mengidentifikasi karakteristiknya, karena Indonesia pun sistem pemerintahannya dikelola tidak lebih dan tidak kurang sama dengan negara liberal bahkan lebih liberal lagi.
Lalu, demokrasi Pancasila itu yang macam mana? Atau gampangnya begini, dari tujuh rezim yang berkuasa dan semuanya mengklaim rezimnya berideologi Pancasila, coba tunjukkan kepada saya, rezim mana yang telah menjalankan dan menerapkan ideologi Pancasila dan oleh karenanya berbeda dengan negara berideologi liberal dan atau komunis?
Baiklah, bila dari tujuh rezim yang telah berkuasa namun tidak mampu memberikan warna demokrasi Pancasila, lalu apakah diharamkan apabila umat Islam menawarkan resep lain demi mengatasi segala permasalahan bangsa dan negara Indonesia dengan sistem hukum Islam? Atau setidaknya menawarkan agar hukum Indonesia itu dibentuk dengan menjadikan hukum Islam sebagai sumber hukumnya?
Mengapa kita tidak mengambil strategi ini bahkan makin menjauhkan kehidupan bangsa dan negara dari hukum Alloh? Ataukah memang kini umat Islam masih meragukan bahwa hukum Alloh itu sumber hukum terbaik? Ya, saya kira ini persoalannya. Kita masih meragukan hukum Alloh sebagai hukum terbaik dan selalu benar karena difirmankan oleh Alloh Yang Maha Benar dengan segala firman-Nya?
Kelima, bila masih meragukan hukum Alloh sebagai hukum terbaik, tampaknya kita perlu memupuk lagi iman dan takwa kita. Tampaknya pula kita belum pantas disebut sebagai insan yang beriman dan bertakwa itu.
Kita masih mengambil dan menggunakan hukum Islam secara prasmanan. Bagian hukum yang enak kita kita pilih dan ambil, sedang bagian hukum yang dirasa tidak enak dan bahkan mengancam eksistensi kita, ramai-ramai kita singkirkan, kita halau bahkan kita musuhi.
Jika demikian, masihkah kita berharap pada nikmatnya surga ‘Adn yang dijanjikan bagi orang-orang beriman? Mereka tidak pernah takut kepada selain Alloh dan mereka tidak pula bersedih hati. Hal itu pula cara Nabi menyikapi riuh rendah hidup di dunia yang fana ini.
Dengan lima argumentasi tersebut di atas, apakah mengikuti cara Nabi itu salah? Saya hanya mengabarkan bahwa kita hendaknya fair! Itu saja!
Sebagai sebuah proposal, mestinya semua pihak menyikapinya secara fair, objektif, sebagai gagasan yang dapat didiskusikan dengan hati dan pikiran jernih. Tidak boleh apriori, alergi, dan berniat mempersekusi proposal tersebut.
Ingatlah kata Heraclitus bahwa the world is flux, dunia ini panthareih, mengalir tiada henti, dan kekuasaan pun dipergilirkan oleh Alloh. Demokrasi pun dapat tumbang dipergantikan dengan sistem yang dijamin Alloh paling baik, yakni sistem pemerintahan Islam, yang biasa disebut dengan kekhalifahan.
Jadi, pilih mana: perpanjangan masa jabatan presiden dengan berbagai skenario (amandemen untuk tunda pemilu, tambah masa jabatan dan tiga periode), ataukah ingin menerima dan menerapkan sistem pemerintahan Islam–khilafah, imamah— sebagai bagian ajaran Islam agar harapan teman chatting saya terpenuhi?
Atau masihkah kita akan mempertahankan sistem pemerintahan demokrasi yang sudah terbukti cacat celanya sejak 600 tahun sebelum Masehi (Socrates dan Plato)? Saya kira, hanya sebuah kedunguanlah yang membuat kita mau terjerumus berkali-kali di lubang kesalahan yang sama.
Ini yang perlu didiskusikan lebih lanjut pada banyak waktu dan kesempatan. Semuanya legal selama tidak ada gerakan pemaksaan, penggunaan kekerasan apalagi melakukan makar. Selamat merenung dan berdiskusi semoga mendapat dan menjadi pencerahan bagi setiap insan beriman.
Mau pilih mana, fikih konstitusi dengan model “jalan tengah”, ajaran Islam tengah, atau fikih konstitusi “jalan lurus” ajaran Islam kaffah?Dengan kata lain, dalam fikih konstitusi baru ini mendirikan negara ala Nabi atau pun ala Khulafaur Rasyidin tidak boleh diharamkan. Setidaknya, yang mampu menyelamatkan bangsa ini ketika fikih konstitusi berdasar pada prinsip kitab suci di atas konstitusi. Itu yang akan bisa mewujudkan negara Pancasila yang islami.
Jika tidak, tak usah berharap model negara Pancasila yang Islami itu bakal terwujud di negeri dengan 87,19 persen berpenduduk Muslim ini. Yang ada negara Pancasila yang sekuler.
Tabik..!!!
Semarang, Ahad, 17 April 2022