Oleh: Taufik S, Permana (Geopolitical Institute)
Indonesia menghadapi bencana ekonomi dan politik. kesulitan ekonomi yang dihadapi rakyat akibat kebijakan penguasa yang tidak pro rakyat hanyalah salah satu persoalan dari sekian banyak persoalan lainnya. Pengurangan subsidi BBM yang belum lama diterapkan hanya satu di antara sekian banyak derita yang akan dihadapi masyarakat Indonesia, termasuk kaum ibu dan anak-anak dalam rezim pemerintahan neoliberalime.
Pemerintahan yang telah tumpul rasa kasih sayangnya terhadap rakyat, terutama kalangan papa : perempuan, anak-anak, lansia dan kalangan pinggiran (marginal). Pemerintah yang tega memposisikan diri sebagai perpanjangan kepentingan asing untuk melancarkan penjajahan gaya baru, neoimperialisme. Gaya pemerintahan neoliberal yang dipraktikkan pada kebijakan pemerintah adalah: politik tidak berdaulat, ekonomi tak mandiri, bahkan bangsa yang tak miliki kepribadian. Penguasa neolib tidak sungguh-sungguh berpihak dan melayani kebutuhan rakyatnya.
Neoliberalisme tidak dapat dipisahkan dari keberadaan ideologi Kapitalisme. Karakter liberal telah menjadi ciri inheren ajaran yang mendewakan kebebasan ini. Akibatnya kebebasan untuk memiliki dan menomorsatukan kepentingan individu menjadikan kegiatan ekonomi berjalan seperti hukum rimba. Kebebasan kepemilikan merupakan prinsip dasar sistem ekonomi Kapitalisme yang menonjolkan kepemilikan individu dalam perekonomian. Oleh karena itu, jamak terjadi jika perekonomian berjalan dengan cara menindas yang lemah dan memfasilitasi pihak kuat.
Ketika masa pemerintahan Soeharto, neoimperialis AS sangat terasa melalui penandatanganan perjanjian kontrak karya dengan perusahaan asing secara besar-besaran. Kebijakan itu dipermudah melalui perantaraan pemuda Indonesia yang disekolahkan di kampus terkemuka Amerika, seperti MIT, Cornell, Berkeley, dan Harvard melalui program Marshal Plan yang melibatkan Ford Foundation.
Alumnus AS yang dikenal sebagai Mafia Berkeley ini mendapatkan kedudukan strategis sejak awal Orba dalam meliberalisasi ekonomi Indonesia. Sejak itu, perusahaan-perusahaan asing ramai-ramai merampok kekayaan alam Indonesia. Perusahaan asal Amerika, Freeport merupakan korporasi asing pertama yang masuk diterima dengan sukarela untuk menjarah emas Papua.
Selanjutnya perusahaan-perusahaan asing lainnya mengeruk SDA di Indonesia seperti Newmont menjarah tambang emas dan tembaga di kawasan NTT dan NTB. Chevron, memiliki jatah menggarap tiga blok, dan memproduksi 35 persen migas Indonesia. ConocoPhilips, Perusahaan produsen migas terbesar ketiga di Tanah Air menjarah enam blok migas. ExxonMobil menjarah sumber minyak di Cepu, Jawa Tengah. Perusahaan asal Inggris, British Petroleum (BP) merampok blok gas Tangguh di Papua. Perusahaan migas asal Perancis, Total E&P Indonesie mengelola blok migas Mahakam, Kalimantan Timur. Masih banyak lagi perusahan asing yang merampok kekayaan alam negeri ini seperti Petro China, Canadian International Development Agency (CIDA), Nico Resources, Calgary, Sheritt International, Vale, Eramet, dll.
Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD (Organization for Economic Co-operation and Development) untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan. Negara tidak lagi berperan sebagai pelayan rakyat yang menyediakan semua hajat hidup masyarakat secara layak dan murah, bahkan gratis. Alhasil penderitaan rakyat semakin mengenaskan.
Di awal 1990-an, Indonesia sangat menggalakkan investasi asing dan swasta untuk menggenjot pertumbuhan. Akibatnya hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak dari US$ 1,8 miliar pada tahun 1975 menjadi US$ 18,8 pada 1990. Tujuh tahun kemudian hutang luar negeri swasta Indonesia membengkak 4,5 kali lipat menjadi US$ 82,2 miliar. Beban hutang yang sangat besar inilah yang membuat perekonomian Indonesia rentan terhadap krisis dan meledak pada pertengahan 1997 (Muttaqin: 2002). Sementara itu tekanan beban hutang Orba mendorong pemerintah melakukan privatisasi sejumlah BUMN di pasar modal Indonesia dan internasional sejak tahun 1991 hingga 1997. Dana hasil privatisasi pada periode tersebut sebagian digunakan untuk membayar cicilan hutang pemerintah (Muttaqin: 2008).
Indonesia juga terlibat dalam liberalisasi perdagangan dan pasar bebas khususnya setelah bergabung dengan World Trade Organization (WTO), APEC, dan AFTA. Kebijakan neoliberal di Indonesia semakin tidak terkendali dengan masuknya IMF dalam penataan ekonomi sejak akhir 1997. Melalui kontrol yang sangat ketat, IMF memaksa Indonesia menjalankan kebijakan neoliberal, termasuk menalangi hutang swasta melalui BLBI dan merekapitalisasi sistem perbankan nasional yang tengah ambruk dengan biaya Rp 650 trilyun. Momen ini juga dimanfaatkan Bank Dunia, ADB, USAID, dan OECD untuk meliberalisasi ekonomi Indonesia melalui program pinjaman yang mereka berikan.
Indonesia merupakan korban penjajahan Kapitalisme, baik Kapitalisme Keynes pada masa awal Orba maupun Kapitalisme Neoliberal pada saat ini. Karena itu sangat memprihatinkan pejabat negara yang sesungguhnya memiliki peran penting dalam mengubah negeri ini menjadi lebih baik justru menjadi kepanjangan tangan asing. Bahkan agenda liberalisasi yang mereka jalankan jauh lebih liberal dibandingkan negara-negara Kapitalis besar sekali pun.
Ini pelajaran yang sangat berharga bagi kita bahwa negara-negara penjajah tidak akan pernah rela melepaskan daerah jajahannya. Mereka senantiasa merancang dan memperbaharui bentuk penjajahan. Jika pada awal Orba penjajahan tersebut diwujudkan dalam “topeng” pembangunan, maka kini penjajahan dibungkus dalam kerangka globalisasi, pasar bebas, investasi, privatisasi, termasuk demokratisasi dalam ranah politik, liberalisasi agama dan sosial budaya masyarakat.[]