Menyelesaikan Perkara Menurut Apa Yang Allah Turunkan
Oleh: Hadi Sasongko
Allah SWT. telah menyeru Rasul saw:
﴿فَاحْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ عَمَّا جَاءَكَ مِنَ الْحَقِّ﴾
“Putuskanlah perkara mereka menurut apa yang Allah turunkan dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka dengan meninggalkan kebenaran yang telah datang kepadamu.” (QS. al-Maidah [5]: 48)
﴿وَأَنِ احْكُمْ بَيْنَهُمْ بِمَا أَنْزَلَ اللَّهُ وَلَا تَتَّبِعْ أَهْوَاءَهُمْ وَاحْذَرْهُمْ أَنْ يَفْتِنُوكَ عَنْ بَعْضِ مَا أَنْزَلَ اللَّهُ إِلَيْكَ﴾
“Hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka. Dan berhati-hatilah kamu terhadap mereka, supaya mereka tidak memalingkan kamu dari sebahagian apa yang telah diturunkan Allah kepadamu.” (QS. al-Maidah [5]: 49).
Seruan kepada Rasul saw untuk memutuskan perkara diantara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah juga merupakan seruan bagi umat Beliau saw. Mafhum-nya adalah hendaknya umat Beliau mewujudkan seorang hakim setelah Rasulullah saw untuk memutuskan perkara di antara mereka sesuai dengan apa yang diturunkan oleh Allah. Perintah dalam seruan ini bersifat tegas (jazim). Karena yang menjadi obyek seruan adalah wajib. Sebagaimana dalam ketentuan ushul, ini merupakan indikasi yang menunjukkan jazm (tegas). Hakim yang memutuskan perkara di antara kaum muslim setelah wafatnya Rasulullah saw adalah Khalifah. Karena itu, sistem pemerintahan menurut aspek ini adalah sistem Khilafah.
Terlebih lagi, bahwa penegakan hudud (sanksi) dan seluruh ketentuan hukum syara’ merupakan sesuatu yang wajib. Kewajiban ini sendiri tidak akan terlaksana tanpa adanya penguasa. Sementara kewajiban yang tidak sempurna, kecuali dengan sesuatu, maka sesuatu itu hukumnya menjadi wajib. Artinya, mewujudkan penguasa yang menegakkan syariat itu hukumnya wajib. Penguasa menurut aspek ini, tak lain adalah Khalifah, dan sistem pemerintahannya adalah sistem khilafah.[]